Wednesday, 28 August 2013

Pandangan Teologis Terhadap Tato

Setelah berbicara panjang lebar tentang pengertian budaya populer, sejarah tato, perkembangan tato di Indonesia, dan tato sebagai seni melukis tubuh, maka saat ini saya akan mencoba melihat bagaimana pandangan teologi terhadap tato yang berkembang luas di kalangan muda saat ini. Tentulah bahwa pandangan teologis tersebut tidak terlepas dari padangan masyarakat pada umumnya. Jika melihat dari sejarahnya, tato mengalami fluktuasi disebabkan oleh berbagai faktor dan juga kepentingan pihak-pihak tertentu (sebagaimana telah dijelaskan di atas). Tetapi keadaan ini berubah seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi. Tato mendapat tempat yang populer di kalangan masyarakat pada umumnya tidak terkecuali kaum muda. Apakah dengan perkembangan tato yang cukup signifikan saat ini, maka pelabelan negatif terhadap tato juga akan menghilang? Saya berharap hal ini terjadi, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan harapan saya. Di Halmahera, khususnya tato masih menjadi momok yang menjijikkan dan menakutkan, sehingga anak muda yang bertato sering dihindari. Hal ini sering dikaitkan dengan perbuatan yang menyimpang, karena pada umumnya anak muda (khususnya laki-laki) yang bertato ialah mereka yang sudah putus sekolah, suka nongkrong di tempat-tempat tertentu, tidak mau bergabung dengan persekutuan pemuda gereja dan suka mabuk-mabukan (meskipun tidak semua anak muda bertato melakukan hal demikian). Tetapi ada beberapa perempuan yang berani menato tubuh mereka meskipun mereka dianggap sebagai perempuan yang tidak benar.[1] Salah satunya yang berhasil saya wawancarai mengatakan bahwa:  
“tujuan saya untuk menato tubuh saya karena sebenarnya saya ingin menunjukkan kepada keluarga saya khususnya mama saya yang terlalu memandang negatif terhadap tato. Mama saya sangat membenci orang yang bertato bahkan saya dilarang keras untuk bergaul dengan teman-teman yang bertato. Selain itu saya mau memperlihatkan bahwa orang yang bertato tidak selama buruk atau jahat. Mereka juga bisa bergaul dengan siapa saja dan bahkan mau mengikuti ajakan kita asalkan mereka kita dekati. Jujur saja, saya melakukan hal ini karena ketertarikan saya terhadap seni dan model-model tato yang unik dan bagus yang berkembang saat ini. Tetapi saya menato tubuh saya di bagian tubuh yang tersembunyi, karena tidak ingin orang banyak melihatnya dan mulai berpikir yang tidak benar. Tetapi seandainya suatu saat hal ini ketahuan maka saya siap untuk menerima resiko dinilai buruk oleh masyarakat. Setidaknya saya dapat membuktikan lewat perbuatan saya bahwa saya bukanlah perempuan yang tidak benar baik kepada masyarakat terlebih khusus kepada mama saya”.[2]
Karena itu saya setuju dengan pendapat Olong  yang mengatakan bahwa tato merupakan salah satu bentuk protes terhadap kelompok dominan atau penguasa dalam hal ini orang tua, kalangan masyarakat elite, norma sosial yang ketat dan sebagainya.[3]



            Secara sosiologis, ada tiga kriteria yang menjadi tolok ukur sehingga suatu perbuatan dianggap sebagai tindakan yang menyimpang. Pertama, perbuatan tersebut dianggap sebagai perilaku yang buruk, menjijikkan atau suatu penampilan yang tidak biasa sehingga tidak pantas dalam masyarakat. Dengan kata lain perbuatan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang mengancam dan membahayakan lingkungan masyarakat. Kedua, perbuatan buruk dipahami dapat menyesatkan orang lain. Ketiga, penyimpangan sosial selalu dikaitkan dengan perilaku, pikiran dan penampilan yang buruk. Akibatnya orang yang berbuat buruk mendapat reaksi negatif dari masyarakat.[4] Berdasarkan pandangan tersebut, maka tidaklah mengherankan jika tato dianggap sebagai perbuatan yang menyimpang, karena dianggap sebagai perbuatan buruk yang tidak biasa dalam lingkungan masyarakat tertentu, yang dapat membahayakan bahkan menyesatkan menyesatkan orang. Secara teologis[5] pun pemahaman tersebut tidak jauh berbeda. Tato secara teologis dipandang sebagai perbuatan yang menodai atau merusak karya Allah.[6] Tubuh merupakan Bait Allah karena itu harus dijaga dengan baik, tidak boleh dinodai bahkan merusaknya. Tato dianggap sebagai perbuatan yang merusak tubuh, karena itu orang yang bertato dapat disamakan dengan orang yang tidak menghargai atau tidak taat lagi terhadap Allah. Hal ini dikarenakan pada umumnya anak muda yang bertato jarang sekali ikut dalam persekutuan dengan jemaat dan kurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja. Ada pun ayat-ayat Alkitab yang sering dipakai untuk menyerang orang-orang bertato ialah Imamat 19:28: “Janganlah kamu menggoresi tubuhmu karena orang mati dan janganlah merajah tanda-tanda pada kulitmu: Akulah Tuhan”. Juga I Korintus 6:19-20: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu”.[7] Dengan pandangan teologis seperti ini, maka apa yang harus dilakukan gereja? Apakah gereja akan mengeluarkan kaum muda yang bertato dari keanggotaan gereja, dalam hal ini membiarkan bahkan tidak mengakui mereka lagi? Menurut saya, ayat-ayat tersebut dapat diinterpretasi secara berbeda oleh setiap orang. Dalam hal ini gereja menggunakan ayat-ayat tersebut untuk melegitimasi ajarannya dan menghakimi jemaat, karena tidak ada aturan yang jelas atau pasti yang melarang orang Kristen untuk bertato. Mungkin saja karena ketidaksukaan (memandang negatif) terhadap tato maka gereja berusaha mencari ayat-ayat Alkitab untuk ditetapkan sebagai hukum yang melarang tato. Kedua ayat tersebut bagi saya tidak secara langsung melarang umat untuk membuat tato, persoalan yang ditekankan di dalam ayat tersebut ialah tentang moralitas atau tindakan yang memuliakan Allah. Menurut saya, memuliakan Allah tidak hanya dilakukan dalam peribadahan tetapi juga dalam tindakan yang dilakukan seseorang dan dapat dipertanggungjawabkan olehnya. Itulah sebabnya saya tidak setuju jika tato diidentikkan dengan perbuatan jahat, karena belum tentu perilaku orang yang tidak bertato lebih baik daripada orang yang bertato.  Dari sini jelas bahwa pendekatan teologis yang diberlakukan dalam gereja ialah pendekatan aplikasionis. Kebenaran berasal dari Alkitab dan ajaran gereja, sehingga budaya populer (baca: tato) dinilai berdasarkan kebenaran yang terkandung dalam Alkitab dan ajaran gereja tersebut. Alkitab (ajaran gereja) menjadi penentu sekaligus sebagai penilai baik-buruknya suatu produk budaya populer.[8] Dalam hal ini teologi yang dikembangkan oleh gereja merupakan teologi hitam-putih masih menganggap gereja dan ajarannya yang lebih benar sehingga segala sesuatu harus didasarkan pada keduanya. 
            Pandangan teologis yang dikemukakan oleh gereja saat ini (baca: GMIH), menurut saya bersifat konservatif. Berabad-abad yang lalu sampai saat ini pandangan teologisnya tetap sama. Pandangan demikian secara implisit merupakan tindakan penghakiman yang membuat jemaat tidak berkembang bahkan gereja tidak ada bedanya dengan lembaga yudikatif. Menurut hemat saya, sikap gereja yang demikian disebabkan karena gereja belum siap atau bahkan tidak menerima eksistensi budaya populer yang berkembang saat ini. Budaya populer masih dianggap sebagai ancaman atau saingan gereja, sehingga patut untuk dimusuhi. Sebenarnya jika gereja berani untuk membuka diri bahkan menerima budaya populer maka aka ada hal-hal baru yang dapat dimanfaatkan oleh gereja untuk menjaring atau merangkul jemaat. Secara tidak langsung maka gereja pun terlibat dalam tindakan yang mendiskreditkan kaum muda yang bertato. Kaum muda sangat energik, kreatif, mempunyai jiwa seni yang tinggi dan selalu mengikuti perkembangan (baik itu perkembangan teknologi maupun mode), karena itu dianggap sebagai kaum yang mudah terpengaruh terhadap hal-hal baru. Hal ini dikarenakan mereka selalu ingin memanifestasikan diri terhadap sesuatu yang baru untuk menjawab kegelisahan dalam diri mereka yang terkait dengan harapan mereka akan citra diri yang serba ideal dan indah.[9]
            Identitas kaum muda ini, dapat menjadi senjata bagi gereja untuk melakukan perubahan dan merangkul kaum muda (khususnya yang berato) untuk masuk dalam persekutuan bersama dengan jemaat. Gereja harus memberi peluang terhadap budaya populer, karena tidak selamanya budaya populer itu membawa dampak buruk bagi kehidupan jemaat. Bahkan gereja dapat belajar dari budaya populer dan begitu pun sebaliknya, keduanya dapat saling belajar dan saling memperkaya satu sama lain.[10] Gereja tidak perlu merasa bahwa fenomena tato yang berkembang luas di kalangan muda sebagai hal yang harus diperangi, setidaknya hal tersebut menjadi tantangan bagi gereja yang harus dihadapi dengan bijak. Tugas gereja sekarang ialah menyediakan sarana yang dapat membantu kaum muda mengekspresikan atau menyalurkan kecintaan mereka terhadap seni (tato), sehingga mereka merasa dianggap dan diperhatikan oleh gereja. Gereja tidak perlu takut dengan penilaian sebagian besar jemaat yang belum dapat menerima fenomena tersebut. Bukankah sesuatu yang menyimpang (menurut masyarakat) akan memberikan hal baru bagi sistem masyarakat tersebut? Itulah sebabnya untuk dapat menghasilkan hal baru maka kita harus berani melakukan perbuatan atau tindakan yang tidak biasanya sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat (jemaat) pada umumnya.   

Imel Dalensang☺


[1] Ini merupakan realitas yang terjadi di jemaat tempat saya tinggal yaitu jemaat GMIH khususnya Bait-El Kao. Gereja Kao merupakan salah satu gereja besar di Kecamatan Kao dengan jumlah anggota jemaat yang banyak sekitar 2.603 jiwa dengan jumlah kepala Keluarga 525. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah jemaat di desa-desa sekitarnya. Sumber data statistik jemaaat tahun 2012, via email 22 April 2013.
[2] NL wawancara via Facebook tanggal 26 April 2013
[3] Hatib A K Olong, Tato, p.26
[4] Clinton R. Sanders & D. Angus Vail, Customizing…, p.2
[5] Pandangan teologis ini, penulis mencoba mendeskripsikannya berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis ketika berada di jemaat.
[6] Sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada pembahasan tentang sejarah tato, dimana penggunaan tato dilarang pada saat kedatangan para misionaris Protestan. Ternyata pemahaman ini masih hidup dan berkembang sampai saat ini.
[7] Wawancara Pdt. B J Rajangolo, via telepon tanggal 22 April 2013
[8] Bdk Gordon Lynch, Understanding Theology and Popular Culture, (Malden: Blackwell, 2005), p.101
[9]Bdk Idi Subandy Ibrahim, Kritik Budaya Komunikasi: Budaya Media dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), p.297
[10] Sebagaimana pendekatan Resived Korelasional yang ditawarkan oleh David Tracy, Don Browning. Lih Gordon Lynch, Understanding Theology…, p.

4 comments:

  1. Sebagai pemuda kristen yang bertato juga (tapi sekarang udah berhenti) mungkin dibanding ayat Imamat 19:28 dan 1 Kor 6:19-20, ayat yang lebih cocok untuk merenungkan kembali tentang mentatto tubuh adalah 1 Kor 10:23 " Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.". Jadi mungkin sebelum mentato perlu direnungkan dulu apakah dengan mentato tubuh kita bisa memenangkan orang kepada Kristus dan membangun mereka, ataukah kita malah menjadi batu sandungan mengingat di lingkungan kita masih seringkali ada pandangan negatif tentang tattoo. Ya kembali lagi ke prinsip penyangkalan diri, lebih baik kita menahan hak-hak kita demi menjangkau lebih banyak orang kepada Kristus dibanding kita mengunakan hak-hak kita tapi justru menghambat kita menjangkau orang kepada Kristus.

    ReplyDelete