Setelah
berbicara panjang lebar tentang pengertian budaya populer, sejarah tato,
perkembangan tato di Indonesia, dan tato sebagai seni melukis tubuh, maka saat
ini saya akan mencoba melihat bagaimana pandangan teologi terhadap tato yang
berkembang luas di kalangan muda saat ini. Tentulah bahwa pandangan teologis
tersebut tidak terlepas dari padangan masyarakat pada umumnya. Jika melihat
dari sejarahnya, tato mengalami fluktuasi disebabkan oleh berbagai faktor dan
juga kepentingan pihak-pihak tertentu (sebagaimana telah dijelaskan di atas). Tetapi
keadaan ini berubah seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan
teknologi. Tato mendapat tempat yang populer di kalangan masyarakat pada
umumnya tidak terkecuali kaum muda. Apakah dengan perkembangan tato yang cukup
signifikan saat ini, maka pelabelan negatif terhadap tato juga akan menghilang?
Saya berharap hal ini terjadi, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan harapan
saya. Di Halmahera, khususnya tato masih menjadi momok yang menjijikkan dan
menakutkan, sehingga anak muda yang bertato sering dihindari. Hal ini sering
dikaitkan dengan perbuatan yang menyimpang, karena pada umumnya anak muda
(khususnya laki-laki) yang bertato ialah mereka yang sudah putus sekolah, suka
nongkrong di tempat-tempat tertentu, tidak mau bergabung dengan persekutuan
pemuda gereja dan suka mabuk-mabukan (meskipun tidak semua anak muda bertato
melakukan hal demikian). Tetapi ada beberapa perempuan yang berani menato tubuh
mereka meskipun mereka dianggap sebagai perempuan yang tidak benar.[1]
Salah satunya yang berhasil saya wawancarai mengatakan bahwa:
“tujuan
saya untuk menato tubuh saya karena sebenarnya saya ingin menunjukkan kepada
keluarga saya khususnya mama saya yang terlalu memandang negatif terhadap tato.
Mama saya sangat membenci orang yang bertato bahkan saya dilarang keras untuk
bergaul dengan teman-teman yang bertato. Selain itu saya mau memperlihatkan
bahwa orang yang bertato tidak selama buruk atau jahat. Mereka juga bisa
bergaul dengan siapa saja dan bahkan mau mengikuti ajakan kita asalkan mereka
kita dekati. Jujur saja, saya melakukan hal ini karena ketertarikan saya
terhadap seni dan model-model tato yang unik dan bagus yang berkembang saat
ini. Tetapi saya menato tubuh saya di bagian tubuh yang tersembunyi, karena
tidak ingin orang banyak melihatnya dan mulai berpikir yang tidak benar. Tetapi
seandainya suatu saat hal ini ketahuan maka saya siap untuk menerima resiko
dinilai buruk oleh masyarakat. Setidaknya saya dapat membuktikan lewat
perbuatan saya bahwa saya bukanlah perempuan yang tidak benar baik kepada
masyarakat terlebih khusus kepada mama saya”.[2]
Karena
itu saya setuju dengan pendapat Olong yang
mengatakan bahwa tato merupakan salah satu bentuk protes terhadap kelompok
dominan atau penguasa dalam hal ini orang tua, kalangan masyarakat elite, norma
sosial yang ketat dan sebagainya.[3]
Secara sosiologis, ada tiga kriteria
yang menjadi tolok ukur sehingga suatu perbuatan dianggap sebagai tindakan yang
menyimpang. Pertama, perbuatan
tersebut dianggap sebagai perilaku yang buruk, menjijikkan atau suatu
penampilan yang tidak biasa sehingga tidak pantas dalam masyarakat. Dengan kata
lain perbuatan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang mengancam dan
membahayakan lingkungan masyarakat. Kedua,
perbuatan buruk dipahami dapat menyesatkan orang lain. Ketiga, penyimpangan sosial selalu dikaitkan dengan perilaku,
pikiran dan penampilan yang buruk. Akibatnya orang yang berbuat buruk mendapat
reaksi negatif dari masyarakat.[4]
Berdasarkan pandangan tersebut, maka tidaklah mengherankan jika tato dianggap
sebagai perbuatan yang menyimpang, karena dianggap sebagai perbuatan buruk yang
tidak biasa dalam lingkungan masyarakat tertentu, yang dapat membahayakan
bahkan menyesatkan menyesatkan orang. Secara teologis[5]
pun pemahaman tersebut tidak jauh berbeda. Tato secara teologis dipandang
sebagai perbuatan yang menodai atau merusak karya Allah.[6] Tubuh
merupakan Bait Allah karena itu harus dijaga dengan baik, tidak boleh dinodai
bahkan merusaknya. Tato dianggap sebagai perbuatan yang merusak tubuh, karena
itu orang yang bertato dapat disamakan dengan orang yang tidak menghargai atau
tidak taat lagi terhadap Allah. Hal ini dikarenakan pada umumnya anak muda yang
bertato jarang sekali ikut dalam persekutuan dengan jemaat dan kurang terlibat
dalam kegiatan-kegiatan gereja. Ada pun ayat-ayat Alkitab yang sering dipakai
untuk menyerang orang-orang bertato ialah Imamat 19:28: “Janganlah kamu
menggoresi tubuhmu karena orang mati dan janganlah merajah tanda-tanda pada
kulitmu: Akulah Tuhan”. Juga I Korintus 6:19-20: “Atau tidak tahukah kamu,
bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang
kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu
telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu muliakanlah Allah
dengan tubuhmu”.[7]
Dengan pandangan teologis seperti ini, maka apa yang harus dilakukan gereja?
Apakah gereja akan mengeluarkan kaum muda yang bertato dari keanggotaan gereja,
dalam hal ini membiarkan bahkan tidak mengakui mereka lagi? Menurut saya,
ayat-ayat tersebut dapat diinterpretasi secara berbeda oleh setiap orang. Dalam
hal ini gereja menggunakan ayat-ayat tersebut untuk melegitimasi ajarannya dan
menghakimi jemaat, karena tidak ada aturan yang jelas atau pasti yang melarang
orang Kristen untuk bertato. Mungkin saja karena ketidaksukaan (memandang
negatif) terhadap tato maka gereja berusaha mencari ayat-ayat Alkitab untuk
ditetapkan sebagai hukum yang melarang tato. Kedua ayat tersebut bagi saya
tidak secara langsung melarang umat untuk membuat tato, persoalan yang
ditekankan di dalam ayat tersebut ialah tentang moralitas atau tindakan yang
memuliakan Allah. Menurut saya, memuliakan Allah tidak hanya dilakukan dalam
peribadahan tetapi juga dalam tindakan yang dilakukan seseorang dan dapat
dipertanggungjawabkan olehnya. Itulah sebabnya saya tidak setuju jika tato diidentikkan
dengan perbuatan jahat, karena belum tentu perilaku orang yang tidak bertato
lebih baik daripada orang yang bertato. Dari sini jelas bahwa pendekatan teologis yang
diberlakukan dalam gereja ialah pendekatan aplikasionis. Kebenaran berasal dari
Alkitab dan ajaran gereja, sehingga budaya populer (baca: tato) dinilai berdasarkan
kebenaran yang terkandung dalam Alkitab dan ajaran gereja tersebut. Alkitab
(ajaran gereja) menjadi penentu sekaligus sebagai penilai baik-buruknya suatu
produk budaya populer.[8] Dalam
hal ini teologi yang dikembangkan oleh gereja merupakan teologi hitam-putih
masih menganggap gereja dan ajarannya yang lebih benar sehingga segala sesuatu
harus didasarkan pada keduanya.
Pandangan teologis yang dikemukakan
oleh gereja saat ini (baca: GMIH), menurut saya bersifat konservatif. Berabad-abad
yang lalu sampai saat ini pandangan teologisnya tetap sama. Pandangan demikian
secara implisit merupakan tindakan penghakiman yang membuat jemaat tidak
berkembang bahkan gereja tidak ada bedanya dengan lembaga yudikatif. Menurut
hemat saya, sikap gereja yang demikian disebabkan karena gereja belum siap atau
bahkan tidak menerima eksistensi budaya populer yang berkembang saat ini.
Budaya populer masih dianggap sebagai ancaman atau saingan gereja, sehingga
patut untuk dimusuhi. Sebenarnya jika gereja berani untuk membuka diri bahkan
menerima budaya populer maka aka ada hal-hal baru yang dapat dimanfaatkan oleh gereja
untuk menjaring atau merangkul jemaat. Secara tidak langsung maka gereja pun
terlibat dalam tindakan yang mendiskreditkan kaum muda yang bertato. Kaum muda
sangat energik, kreatif, mempunyai jiwa seni yang tinggi dan selalu mengikuti
perkembangan (baik itu perkembangan teknologi maupun mode), karena itu dianggap
sebagai kaum yang mudah terpengaruh terhadap hal-hal baru. Hal ini dikarenakan
mereka selalu ingin memanifestasikan diri terhadap sesuatu yang baru untuk
menjawab kegelisahan dalam diri mereka yang terkait dengan harapan mereka akan
citra diri yang serba ideal dan indah.[9]
Identitas kaum muda ini, dapat
menjadi senjata bagi gereja untuk melakukan perubahan dan merangkul kaum muda
(khususnya yang berato) untuk masuk dalam persekutuan bersama dengan jemaat.
Gereja harus memberi peluang terhadap budaya populer, karena tidak selamanya
budaya populer itu membawa dampak buruk bagi kehidupan jemaat. Bahkan gereja
dapat belajar dari budaya populer dan begitu pun sebaliknya, keduanya dapat
saling belajar dan saling memperkaya satu sama lain.[10] Gereja
tidak perlu merasa bahwa fenomena tato yang berkembang luas di kalangan muda
sebagai hal yang harus diperangi, setidaknya hal tersebut menjadi tantangan
bagi gereja yang harus dihadapi dengan bijak. Tugas gereja sekarang ialah
menyediakan sarana yang dapat membantu kaum muda mengekspresikan atau
menyalurkan kecintaan mereka terhadap seni (tato), sehingga mereka merasa
dianggap dan diperhatikan oleh gereja. Gereja tidak perlu takut dengan
penilaian sebagian besar jemaat yang belum dapat menerima fenomena tersebut.
Bukankah sesuatu yang menyimpang (menurut masyarakat) akan memberikan hal baru
bagi sistem masyarakat tersebut? Itulah sebabnya untuk dapat menghasilkan hal
baru maka kita harus berani melakukan perbuatan atau tindakan yang tidak
biasanya sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat (jemaat) pada umumnya.
Imel Dalensang☺
[1] Ini merupakan
realitas yang terjadi di jemaat tempat saya tinggal yaitu jemaat GMIH khususnya
Bait-El Kao. Gereja Kao merupakan salah satu gereja besar di Kecamatan Kao
dengan jumlah anggota jemaat yang banyak sekitar 2.603 jiwa dengan jumlah
kepala Keluarga 525. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah
jemaat di desa-desa sekitarnya. Sumber data statistik jemaaat tahun 2012, via
email 22 April 2013.
[2] NL wawancara via
Facebook tanggal 26 April 2013
[5] Pandangan teologis
ini, penulis mencoba mendeskripsikannya berdasarkan pengamatan dan pengalaman
penulis ketika berada di jemaat.
[6] Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya pada pembahasan tentang sejarah tato, dimana penggunaan
tato dilarang pada saat kedatangan para misionaris Protestan. Ternyata
pemahaman ini masih hidup dan berkembang sampai saat ini.
[7] Wawancara Pdt. B J
Rajangolo, via telepon tanggal 22 April 2013
[8] Bdk Gordon Lynch, Understanding Theology and Popular Culture,
(Malden: Blackwell, 2005), p.101
[9]Bdk Idi Subandy
Ibrahim, Kritik Budaya Komunikasi: Budaya
Media dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), p.297
[10] Sebagaimana
pendekatan Resived Korelasional yang ditawarkan oleh David Tracy, Don Browning.
Lih Gordon Lynch, Understanding Theology…,
p.
Ka melly disini!!
ReplyDeleteOke deh.....Mantaaaappppp
DeleteSiiipppp...........
ReplyDeleteSebagai pemuda kristen yang bertato juga (tapi sekarang udah berhenti) mungkin dibanding ayat Imamat 19:28 dan 1 Kor 6:19-20, ayat yang lebih cocok untuk merenungkan kembali tentang mentatto tubuh adalah 1 Kor 10:23 " Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.". Jadi mungkin sebelum mentato perlu direnungkan dulu apakah dengan mentato tubuh kita bisa memenangkan orang kepada Kristus dan membangun mereka, ataukah kita malah menjadi batu sandungan mengingat di lingkungan kita masih seringkali ada pandangan negatif tentang tattoo. Ya kembali lagi ke prinsip penyangkalan diri, lebih baik kita menahan hak-hak kita demi menjangkau lebih banyak orang kepada Kristus dibanding kita mengunakan hak-hak kita tapi justru menghambat kita menjangkau orang kepada Kristus.
ReplyDelete