Sunday, 8 December 2013

Kebahagiaan sebagai Tujuan Akhir Manusia?? Pemikiran Filsafat Yunani dalam Hubungannya dengan Kekristenan

      I.  PENDAHULUAN
Dari apa yang telah kita pelajari sepanjang satu semester ini, kita tahu bahwa sebagian besar dalam ajaran Filsafat Yunani menekankan KEBAHAGIAAN sebagai tujuan akhirnya. Yang menjadi fokus utama dalam pembahasan makalah tugas akhir ini adalah memperlihatkan bagaimana konsep kebahagiaan dalam ajaran Filsafat Yunani sedikit banyak juga mempengaruhi konsep kebahagiaan dalam ajaran Kekeristenan; tentang bagaimana Kekristenan hidup dan menerapkan arti kebahagiaan yang sebenarnya dalam pemikiran yang bersifat Kristiani di setiap kehidupannya.


   II. KEBAHAGIAAN SEBAGAI PENCAPAIAN TERTINGGI DALAM AJARAN FILSAFAT YUNANI
Sejak dari sadarnya para filsuf bahwa mitos-mitos saja tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang alam dan sekitarnya, mereka kemudian mulai mencari tahu dan mempelajari hal-hal yang ada disekitarnya untuk mendapatkan penjelasan yang lebih masuk akal. Perkembangan ilmu yang terjadi sangatlah menakjubkan. Semua ilmu yang dikembangkan oleh para Filsuf pada akhirnya bertujuan untuk mencari tahu bagaimana cara manusia mencapai “kebahagiaan”.
Sokrates 469-399 SM
Dalam ajaran Sokrates mengenai jiwa manusia hal ini sangat ditekankan. Sokrates mengemukakan bahwa jiwa manusia bukanlah nafasnya saja, tetapi merupakan unsur terpenting dalam hidup manusia. Jiwa merupakan inti sari manusia. Karena jiwa merupakan inti sari manusia, maka manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya (eudaimonia = memiliki daimồn atau jiwa yang baik), lebih daripada kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah. Manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin.[1] Nah, untuk mencapai eudaimonia diperlukan kebajikan atau keutamaan (arête), seperti perdirian Sokrates yang terkenal: “Keutamaan adalah pengetahuan”. Keutamaan di bidang hidup baik tentu menjadikan seseorang dapat hidup baik. Hidup baik berarti menerapkan pengetahuannya tentang hidup baik itu. Jadi baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan keinginan manusia. Maka menurut Sokrates, tidak mungkin orang dengan sengaja melakukan hal yang salah. Kalau orang berbuat salah, hal itu disebabkan karena ia tidak berpengetahuan.[2] Jadi kebahagiaan dapat dicapai dengan pengetahuan.
Plato 427-347 SM
Karena Plato merupakan murid Sokrates yang paling banyak menuliskan pemikiran-pemikiran gurunya, maka kemungkinan besar pemikiran Plato tidak berbeda jauh dengan pemikiran Sokrates dalam beberapa hal. Sama seperti pemikiran Sokrates, Plato juga mengemukakan bahwa eudaimonia merupakan tujuan hidup manusia. Bagi Plato manusia harus mengupayakan kebahagiaannya (eudaimonia) itu.[3] Menurutnya kebahagiaan/kesenangan itu tidak hanya kepuasan hawa nafsu selama hidup di dunia (indrawi) saja tetapi kebahagiaan juga harus dilihat dalam hubungan ke dua dunia (dunia indrawi/jasmani dan dunia Idea). Maksudnya, dengan kata lain disamping kebahagiaan indrawi kebahagiaan yang hakiki yang berkaitan erat dengan batin yakni dunia Ide juga perlu diupayakan. Untuk itu, untuk mencapai pada kebahagiaan (eudaimonia) dalam dunia Ide, manusia harus selalu melakukan apa yang baik, sebab bagi Plato semua kebaikan dan kebajikan ada di dunia Ide (dunia Ide adalah realitas yang sesungguhnya, sedangkan yang indrawi itu merupakan realitas bayangan).
Aristoteles 384-322 SM
Aristoteles memulai ajarannya tentang kebahagiaan dari mempertanyakan bagaimana manusia mencapai hidup yang baik. Menurutnya, manusia untuk mencapai kebahagiaannya adalah dengan hidup yang baik. Hidup yang baik di sini maksudnya ialah hidup bermakna, suatu hidup yang terasa penuh dan menentramkan. Untuk dapat hidup bermakna seseorang harus mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Pertanyaannya sekarang adalah apa yang menjadi tujuan hidup manusia? Menurut Aristoteles jawabannya adalah, kebahagiaan (eudaimonia).[4] Sama dengan pendahulunya, kebahagiaan yang dimaksud di sini bukan hanya terbatas pada perasaan subjektif seperti senang atau gembira yang adalah aspek emosional, melainkan lebih mendalam dan objektif menyangkut pengembangan seluruh aspek kemanusiaan suatu individu (aspek moral, sosial, emosional, rohani). Menurut Aristoteles kebahagiaan dapat dicapai dengan hidup secara bermoral (hidup baik), karena itulah jalan menuju kebahagiaan. Tujuan moralitas adalah untuk mengantar manusia ke tujuan akhirnya, yakni kebahagiaan.[5] Kebahagiaan diwujudkan oleh setiap orang dengan jalannya masing-masing. Kemampuan setiap orang untuk mewujudkan kebahagiaan juga tidak sama. Semakin seseorang memandang kebahagiaan sebagai tujuan akhir dalam hidupnya, maka semakin terarah dan mendalam aktivitas-aktivitas yang dilakukannya untuk “hidup baik”. Dalam hal ini, Aristoteles menempatkan keutamaan dalam posisi istimewa. Menurutnya supaya manusia bahagia, ia harus menjalankan aktivitasnya menurut keutamaannya.
Epikuros 341-271 SM
Ajaran Epikuros diarahkan kepada satu tujuan akhir, yakni menjamin kebahagiaan manusia dengan Etika sebagai inti pemikirannya. Etika Epikuros hendak memberikan ketenangan hati (ataraxia) kepada manusia, sebab menurut Epikuros ketenangan hati ini terancam oleh rasa takut – diantaranya rasa takut terhadap dewa-dewi, rasa takut terhadap kematian, dan rasa takut terhadap nasib – yang sebenarnya tidak mendasar dan tidak masuk akal.[6] Epikuros menekankan bahwa tujuan hidup manusia adalah hedone (kenikmatan, kepuasan) yang dapat kita miliki bila hati kita tenang dan tubuh kita sehat. Namun kata hedone sering disalah artikan oleh kebanyakan orang. Hedone yang ditekankan oleh Epikuros bukan berarti bahwa kita harus secara membabi buta mengikuti hasrat kita. Bahkan sebaliknya, kesenangan yang sesungguhnya tidak tercapai dengan mencari pengalaman nikmat sebanyak mungkin, tetapi dengan menjaga kesehatan dan berusaha hidup sedemikian rupa hingga jiwa bebas dari keresahan. Untuk itu manusia yang mau bahagia justru harus membatasi diri. Ia harus dapat senang dengan yang sederhana.[7]
Stoa (Stoa baru pada Zaman Romawi) ± 50-200 M
Etika Stoa juga mengajarkan jalan menuju kebahagiaan. Menurut Stoa, kebahagiaan datang dari keberhasilan hidup seseorang. Kehidupan manusia berhasil apabila ia dapat mempertahankan diri, sebab manusia ditentukan oleh hukum alam semesta (point penting: bagi kaum Stoa Tuhan = alam), ia mampu mempertahankan diri apabila ia dapat menyesuaikan diri dengan hukum alam. Menurut Stoa, dalam kehidupan manusia: perbuatan baik = menyesuaikan diri dengan hukum alam, perbuatan buruk = tidak mau menyesuaikan diri. Di sini terlihat Stoa menentang kebebasan bahwa manusia bebas dari takdir. Menurut Stoa, manusia yang bijaksana adalah mereka yang menerima takdirnya serta mampu melakukan keutamaannnya. Keutamaan bagi Stoa terdiri dalam kesadaran akan kewajiban dan melepaskan diri dari segala ketergantungan terhadap benda-benda duniawi – dimana manusia harus menaklukkan hawa nafsu dan hal-hal rendah lainnya, sebab orang yang mengikuti hawa nafsunya akan kehilangan autarkia-nya (manusia sama sekali berdiri pada dirinya sendiri = manusia yang tak terbingungkan) – Dengan begitu manusia dapat sampai kepada ketenangan batin. Bedanya dengan Epikuros, Stoa mengemukakan bahwa ketenangan batin justru memampukan seseorang untuk mengambil bagian aktif dalam kehidupan bermasyarakat, serta bersikap positif dan bertanggung jawab terhadap masyarakat disekelilingnya.[8] Di sini Stoa memperlihatkan sisi kemanusiaan yang bersifat universal. Ia mangajarkan bahwa terhadap siapa pun kita hendaknya bersikap baik hati, tidak pamrih, toleransi, dan mengekang hawa nafsu.

III. KEBAHAGIAAN DALAM PERSPEKTIF KEKRISTENAN
Apa yang telah saya paparkan diatas tentunya memberi pengaruh penting dalam ajaran Kekristenan, terkhususnya pada Perjanjian Baru. Kita tidak bisa menghindari bahwa ternyata pengaruh filsafat sangat kuat dalam etika moral Kristiani. Konsep kebahagiaan dalam Kekristenan merupakan salah satu bagian yang cukup dipengaruhi oleh pengaruh filsafat. Perikop dalam Mat.5:1 – 12 tentang ucapan bahagia jelas-jelas memperlihatkan kepada kita bagaimana konsep kebahagiaan yang dipegang oleh orang-orang Kristen. Kata berbahagialah (Yunani: Μακάριοι) dalam perikop ini menunjukkan satu ungkapan yang lebih dari sekedar ungkapan happy/senang/gembira tetapi blessed (diberkati). Dalam hal ini terlihat kesamaan antara konsep kebahagiaan yang dicetuskan dalam Filsafat Yunani dan ajaran Kekristenan bahwa keduanya sama-sama tidak melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang bersifat subjektif – kebahagiaan sebagai sebuah perasaan – tetapi yang objektif. Namun, bukan berarti ajaran Kekristenan menolak makna subjektifnya. Orang-orang Kristen tentu saja boleh menikmati hidup ini dengan merasakan kesenangan dan sukacita, tetapi unsur utama yang dipentingkan adalah dari sisi objektifnya.

Selanjutnya dalam perikop ini kita juga bisa menemukan satu unsur penting lainnya yang ditekankan yakni kelemah-lembutan (ay.5), kemurahan hati (ay.7), serta kesucian/kemurnian hati (ay.8) yang dalam Filsafat Yunani merupakan jalan menuju kebahagiaan. Plato mengemukakan bahwa manusia bisa bahagia apabila ia mementingkan kebahagiaan batinnya ketimbang indrawi. Aristoteles mengemukakan bahwa manusia bisa bahagia apabila ia mampu hidup dengan baik, dengan mempraktekkan keutamaan-keutamaannya sebagaimana ia mengembangkan potensi diri semaksimal mungkin untuk kebaikan komunitasnya. Begitu juga dengan Epikuros dan Stoa yang menekankan aspek batiniah (ketenangan hati) ketimbang duniawi (materi); walaupun Epikuros sifatnya lebih individual sedangkan Stoa lebih universal (komunitas masyarakat). Keduanya secara tidak langsung mengemukakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan hal-hal ini merupakan syarat; walaupun dalam ajaran Kristen hal ini bukan untuk dirinya sendiri tetapi berfokus kepada Allah. Point penting yang ingin di tekankan di sini adalah bahwa dalam tradisi Kekristenan kita diajarkan tentang iman, pengharapan, dan kasih yang justru mengarahkan orang-orang Kristen ke luar dari dirinya sendiri dan berorientasi pada Allah dan sesamanya.

Bila kita cermati perikop ini, apa yang disampaikan oleh Yesus dalam khotbahNya dibukit menekankan akan iman dan pengharapan dalam menyikapi penderitaan dan kesusahan (lih. ay. 10-12). Umat dituntut untuk tetap sabar dan “berbahagia” walau ditengah-tengah penderitaan. (seperti yang kita ketahui) hal ini tentu saja berbeda dengan ajaran Stoa yang menunjukkan bunuh diri adalah pilihan yang sah dalam kondisi penderitaan dan kesusahan yang berat. Selain itu masalah mengenai respon perasaan atau emosi yang dimiliki manusia. Dalam ajaran Filsafat Yunani (walau tidak semua) kebahagiaan berarti lepas dari dukacita, perasaan sedih, sebab orang yang bijak dalam pengertian Filsafat Yunani adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya terhadap hal-hal duniawi, termasuk perasaannya. Tidak begitu kebahagiaan yang dimaksud dalam ajaran Kekristenan. Walaupun bahagia, bukan berarti kesedihan/dukacita itu dilarang (lih. ay. 4). Yesus dalam kehidupanNya pun pernah merasa sedih (con. Ketika Yesus menangis di taman Getsemani). Untuk itu dalam ajaran Kekrsitenan perasaan-perasaan seperti sedih bukanlah sesuatu yang salah melainkan sesuatu yang wajar.[9]

Walaupun dari luar kita melihat banyak kesamaan, ternyata dalam beberapa hal terdapat perbedaan disana-sini. Point yang ingin ditekankan adalah bagaimana dalam ajaran Kristen kita kita diajarkan tentang kecukupan diri yang berada dalam ketergantungan atas anugrah Allah – inilah yang membedakan ajaran Kekristenan dan Filsafat – Kecukupan diri disini maksudnya tidak berpusat pada diri sendiri tetapi merupakan sebuah “kepuasan” yang memampukan seseorang untuk melayani sesamanya.

       IV. KESIMPULAN
Kekristenan tentu saja memandang kebahagiaan bukan sebagai pencapaian duniawi. Kebahagiaan yang sebenarnya dicapai  setelah kehidupan ini (bersama dengan Tuhan), untuk itu dalam ajaran Kekristenan manusia diajarkan untuk tidak berfokus mencari kebahagiaannya di dunia ini saja tetapi justru hidup sedemikian rupa sehingga sesudah hidup ini ia betul-betul bahagia. Jadi hidup ini menjadi suatu perjalanan ke tujuan manusia yang sebenarnya, yakni kepada Tuhannya. Namun bukan berarti manusia tidak diperbolehkan untuk menikmati apa yang ada di dunia ini. Dalam ajaran Kekristenan segala apa yang ada di dunia ini, yang dapat dinikmati oleh manusia merupakan suatu berkat dari Allah kepada umatNya. Walaupun tentu saja manusia diajarkan untuk tidak memusatkan diri pada kehidupan duniawinya (materi) saja, melainkan juga kepada kehidupan spiritualnya (batin).

Selain itu, kita juga tahu bahwa ternyata tidak semua ajaran Filsafat Yunani tentang kebagiaan relevan dengan Kekristenan; beberapa diantaranya memang sejalan namun beberapa diantara tidak. Pola hidup yang diterapkan dalam ajaran Filsafat Yunani menurut saya menunujukkan beberapa kesamaan dalam pola hidup Kekristenan; hidup sederhana, saling berbagi dan aktif dalam kehidupan masyarakat, serta hidup tidak dengan mengikuti kedagingannya (keinginan hawa nafsu) saja melainkan juga hidup kudus.   Selain itu ajaran-ajaran Filsafat ini juga ternyata mampu mengingatkan kita orang-orang Kristen di zaman sekarang bahwa kebahagiaan utama kita bukan pada kehidupan duniawi, tetapi ada dalam  relasi kita dengan Yesus Sang Penebus yang telah mengundang kita masuk dalam Kerajaan Allah.


[1] bdk. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius. 1999, p.106
[2] lih. Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Kanisius. 1980, p.36-37
[3] bdk. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius. 1999, p.141
[4] lih. Franz Magnis-Suseno. 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta:Kanisius. 1997,p. 29-30
[5] bdk. Franz Magnis-Suseno. Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta:Kanisius. 2009,p. 4-7
[6] lih. Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Kanisius. 1980, p.54-56
[7] bdk. Delfgaauw, Bernard. Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Yogyakarta:Tiara Wacana. 1992,p. 38-40
[8] lih. Franz Magnis-Suseno. 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta:Kanisius. 1997,p. 56-61
[9] Bisa dilihat juga di Roma 12:15, “Bersukacitalah dengan ornag yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!”

No comments:

Post a Comment