I. PENDAHULUAN
Dari apa yang
telah kita pelajari sepanjang satu semester ini, kita tahu bahwa sebagian besar
dalam ajaran Filsafat Yunani menekankan KEBAHAGIAAN sebagai tujuan akhirnya.
Yang menjadi fokus utama dalam pembahasan makalah tugas akhir ini adalah memperlihatkan
bagaimana konsep kebahagiaan dalam ajaran Filsafat Yunani sedikit banyak juga
mempengaruhi konsep kebahagiaan dalam ajaran Kekeristenan; tentang bagaimana
Kekristenan hidup dan menerapkan arti kebahagiaan yang sebenarnya dalam
pemikiran yang bersifat Kristiani di setiap kehidupannya.
II. KEBAHAGIAAN SEBAGAI PENCAPAIAN TERTINGGI DALAM
AJARAN FILSAFAT YUNANI
Sejak dari
sadarnya para filsuf bahwa mitos-mitos saja tidak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang alam dan sekitarnya, mereka kemudian mulai
mencari tahu dan mempelajari hal-hal yang ada disekitarnya untuk mendapatkan
penjelasan yang lebih masuk akal. Perkembangan ilmu yang terjadi sangatlah
menakjubkan. Semua ilmu yang dikembangkan oleh para Filsuf pada akhirnya
bertujuan untuk mencari tahu bagaimana cara manusia mencapai “kebahagiaan”.
Sokrates
469-399 SM
Dalam ajaran
Sokrates mengenai jiwa manusia hal ini sangat ditekankan. Sokrates mengemukakan
bahwa jiwa manusia bukanlah nafasnya saja, tetapi merupakan unsur terpenting
dalam hidup manusia. Jiwa merupakan inti sari manusia. Karena jiwa merupakan
inti sari manusia, maka manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya (eudaimonia = memiliki daimồn atau jiwa yang baik), lebih
daripada kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah. Manusia harus
membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin.[1] Nah, untuk mencapai eudaimonia diperlukan kebajikan atau keutamaan (arête), seperti perdirian Sokrates yang
terkenal: “Keutamaan adalah pengetahuan”. Keutamaan di bidang hidup baik tentu
menjadikan seseorang dapat hidup baik. Hidup baik berarti menerapkan pengetahuannya
tentang hidup baik itu. Jadi baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan,
bukan dengan keinginan manusia. Maka menurut Sokrates, tidak mungkin orang
dengan sengaja melakukan hal yang salah. Kalau orang berbuat salah, hal itu
disebabkan karena ia tidak berpengetahuan.[2]
Jadi kebahagiaan dapat dicapai dengan pengetahuan.
Plato
427-347 SM
Karena Plato
merupakan murid Sokrates yang paling banyak menuliskan pemikiran-pemikiran
gurunya, maka kemungkinan besar pemikiran Plato tidak berbeda jauh dengan
pemikiran Sokrates dalam beberapa hal. Sama seperti pemikiran Sokrates, Plato
juga mengemukakan bahwa eudaimonia
merupakan tujuan hidup manusia. Bagi Plato manusia harus mengupayakan
kebahagiaannya (eudaimonia) itu.[3]
Menurutnya kebahagiaan/kesenangan itu tidak hanya kepuasan hawa nafsu selama
hidup di dunia (indrawi) saja tetapi kebahagiaan juga harus dilihat dalam
hubungan ke dua dunia (dunia indrawi/jasmani dan dunia Idea). Maksudnya, dengan
kata lain disamping kebahagiaan indrawi kebahagiaan yang hakiki yang berkaitan
erat dengan batin yakni dunia Ide juga perlu diupayakan. Untuk itu, untuk
mencapai pada kebahagiaan (eudaimonia)
dalam dunia Ide, manusia harus selalu melakukan apa yang baik, sebab bagi Plato
semua kebaikan dan kebajikan ada di dunia Ide (dunia Ide adalah realitas yang
sesungguhnya, sedangkan yang indrawi itu merupakan realitas bayangan).
Aristoteles
384-322 SM
Aristoteles
memulai ajarannya tentang kebahagiaan dari mempertanyakan bagaimana manusia mencapai
hidup yang baik. Menurutnya, manusia untuk mencapai kebahagiaannya adalah
dengan hidup yang baik. Hidup yang baik di sini maksudnya ialah hidup bermakna,
suatu hidup yang terasa penuh dan menentramkan. Untuk dapat hidup bermakna
seseorang harus mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Pertanyaannya
sekarang adalah apa yang menjadi tujuan hidup manusia? Menurut Aristoteles jawabannya
adalah, kebahagiaan (eudaimonia).[4]
Sama dengan pendahulunya, kebahagiaan yang dimaksud di sini bukan hanya
terbatas pada perasaan subjektif seperti senang atau gembira yang adalah aspek
emosional, melainkan lebih mendalam dan objektif menyangkut pengembangan
seluruh aspek kemanusiaan suatu individu (aspek moral, sosial, emosional,
rohani). Menurut Aristoteles kebahagiaan dapat dicapai dengan hidup secara
bermoral (hidup baik), karena itulah jalan menuju kebahagiaan. Tujuan moralitas
adalah untuk mengantar manusia ke tujuan akhirnya, yakni kebahagiaan.[5] Kebahagiaan
diwujudkan oleh setiap orang dengan jalannya masing-masing. Kemampuan setiap
orang untuk mewujudkan kebahagiaan juga tidak sama. Semakin seseorang memandang
kebahagiaan sebagai tujuan akhir dalam hidupnya, maka semakin terarah dan
mendalam aktivitas-aktivitas yang dilakukannya untuk “hidup baik”. Dalam hal
ini, Aristoteles menempatkan keutamaan dalam posisi istimewa. Menurutnya supaya
manusia bahagia, ia harus menjalankan aktivitasnya menurut keutamaannya.
Epikuros
341-271 SM
Ajaran Epikuros
diarahkan kepada satu tujuan akhir, yakni menjamin kebahagiaan manusia dengan
Etika sebagai inti pemikirannya. Etika Epikuros hendak memberikan ketenangan
hati (ataraxia) kepada manusia, sebab
menurut Epikuros ketenangan hati ini terancam oleh rasa takut – diantaranya
rasa takut terhadap dewa-dewi, rasa takut terhadap kematian, dan rasa takut
terhadap nasib – yang sebenarnya tidak mendasar dan tidak masuk akal.[6]
Epikuros menekankan bahwa tujuan hidup manusia adalah hedone (kenikmatan, kepuasan) yang dapat kita miliki bila hati kita
tenang dan tubuh kita sehat. Namun kata hedone
sering disalah artikan oleh kebanyakan orang. Hedone yang ditekankan oleh Epikuros bukan berarti bahwa kita harus
secara membabi buta mengikuti hasrat kita. Bahkan sebaliknya, kesenangan yang
sesungguhnya tidak tercapai dengan mencari pengalaman nikmat sebanyak mungkin,
tetapi dengan menjaga kesehatan dan berusaha hidup sedemikian rupa hingga jiwa
bebas dari keresahan. Untuk itu manusia yang mau bahagia justru harus membatasi
diri. Ia harus dapat senang dengan yang sederhana.[7]
Stoa
(Stoa baru pada Zaman Romawi) ± 50-200 M
Etika Stoa juga
mengajarkan jalan menuju kebahagiaan. Menurut Stoa, kebahagiaan datang dari
keberhasilan hidup seseorang. Kehidupan manusia berhasil apabila ia dapat
mempertahankan diri, sebab manusia ditentukan oleh hukum alam semesta (point
penting: bagi kaum Stoa Tuhan = alam), ia mampu mempertahankan diri apabila ia dapat
menyesuaikan diri dengan hukum alam. Menurut Stoa, dalam kehidupan manusia:
perbuatan baik = menyesuaikan diri dengan hukum alam, perbuatan buruk = tidak
mau menyesuaikan diri. Di sini terlihat Stoa menentang kebebasan bahwa manusia
bebas dari takdir. Menurut Stoa, manusia yang bijaksana adalah mereka yang
menerima takdirnya serta mampu melakukan keutamaannnya. Keutamaan bagi Stoa
terdiri dalam kesadaran akan kewajiban dan melepaskan diri dari segala
ketergantungan terhadap benda-benda duniawi – dimana manusia harus menaklukkan
hawa nafsu dan hal-hal rendah lainnya, sebab orang yang mengikuti hawa nafsunya
akan kehilangan autarkia-nya (manusia
sama sekali berdiri pada dirinya sendiri = manusia yang tak terbingungkan) – Dengan
begitu manusia dapat sampai kepada ketenangan batin. Bedanya dengan Epikuros,
Stoa mengemukakan bahwa ketenangan batin justru memampukan seseorang untuk
mengambil bagian aktif dalam kehidupan bermasyarakat, serta bersikap positif
dan bertanggung jawab terhadap masyarakat disekelilingnya.[8] Di
sini Stoa memperlihatkan sisi kemanusiaan yang bersifat universal. Ia
mangajarkan bahwa terhadap siapa pun kita hendaknya bersikap baik hati, tidak
pamrih, toleransi, dan mengekang hawa nafsu.
III. KEBAHAGIAAN DALAM PERSPEKTIF KEKRISTENAN
Apa yang telah
saya paparkan diatas tentunya memberi pengaruh penting dalam ajaran
Kekristenan, terkhususnya pada Perjanjian Baru. Kita tidak bisa menghindari
bahwa ternyata pengaruh filsafat sangat kuat dalam etika moral Kristiani.
Konsep kebahagiaan dalam Kekristenan merupakan salah satu bagian yang cukup
dipengaruhi oleh pengaruh filsafat. Perikop dalam Mat.5:1 – 12 tentang ucapan
bahagia jelas-jelas memperlihatkan kepada kita bagaimana konsep kebahagiaan
yang dipegang oleh orang-orang Kristen. Kata berbahagialah (Yunani: Μακάριοι) dalam perikop ini menunjukkan
satu ungkapan yang lebih dari sekedar ungkapan happy/senang/gembira tetapi blessed
(diberkati). Dalam hal ini terlihat kesamaan antara konsep kebahagiaan yang
dicetuskan dalam Filsafat Yunani dan ajaran Kekristenan bahwa keduanya
sama-sama tidak melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang bersifat subjektif –
kebahagiaan sebagai sebuah perasaan – tetapi yang objektif. Namun, bukan
berarti ajaran Kekristenan menolak makna subjektifnya. Orang-orang Kristen
tentu saja boleh menikmati hidup ini dengan merasakan kesenangan dan sukacita,
tetapi unsur utama yang dipentingkan adalah dari sisi objektifnya.
Selanjutnya
dalam perikop ini kita juga bisa menemukan satu unsur penting lainnya yang ditekankan
yakni kelemah-lembutan (ay.5), kemurahan hati (ay.7), serta kesucian/kemurnian
hati (ay.8) yang dalam Filsafat Yunani merupakan jalan menuju kebahagiaan.
Plato mengemukakan bahwa manusia bisa bahagia apabila ia mementingkan
kebahagiaan batinnya ketimbang indrawi. Aristoteles mengemukakan bahwa manusia
bisa bahagia apabila ia mampu hidup dengan baik, dengan mempraktekkan
keutamaan-keutamaannya sebagaimana ia mengembangkan potensi diri semaksimal
mungkin untuk kebaikan komunitasnya. Begitu juga dengan Epikuros dan Stoa yang
menekankan aspek batiniah (ketenangan hati) ketimbang duniawi (materi);
walaupun Epikuros sifatnya lebih individual sedangkan Stoa lebih universal
(komunitas masyarakat). Keduanya secara tidak langsung mengemukakan bahwa untuk
mencapai kebahagiaan hal-hal ini merupakan syarat; walaupun dalam ajaran
Kristen hal ini bukan untuk dirinya sendiri tetapi berfokus kepada Allah. Point
penting yang ingin di tekankan di sini adalah bahwa dalam tradisi Kekristenan
kita diajarkan tentang iman, pengharapan, dan kasih yang justru mengarahkan orang-orang
Kristen ke luar dari dirinya sendiri dan berorientasi pada Allah dan sesamanya.
Bila kita
cermati perikop ini, apa yang disampaikan oleh Yesus dalam khotbahNya dibukit
menekankan akan iman dan pengharapan dalam menyikapi penderitaan dan kesusahan
(lih. ay. 10-12). Umat dituntut untuk tetap sabar dan “berbahagia” walau
ditengah-tengah penderitaan. (seperti yang kita ketahui) hal ini tentu saja
berbeda dengan ajaran Stoa yang menunjukkan bunuh diri adalah pilihan yang sah
dalam kondisi penderitaan dan kesusahan yang berat. Selain itu masalah mengenai
respon perasaan atau emosi yang dimiliki manusia. Dalam ajaran Filsafat Yunani
(walau tidak semua) kebahagiaan berarti lepas dari dukacita, perasaan sedih,
sebab orang yang bijak dalam pengertian Filsafat Yunani adalah orang yang mampu
mengendalikan dirinya terhadap hal-hal duniawi, termasuk perasaannya. Tidak
begitu kebahagiaan yang dimaksud dalam ajaran Kekristenan. Walaupun bahagia,
bukan berarti kesedihan/dukacita itu dilarang (lih. ay. 4). Yesus dalam
kehidupanNya pun pernah merasa sedih (con. Ketika Yesus menangis di taman
Getsemani). Untuk itu dalam ajaran Kekrsitenan perasaan-perasaan seperti sedih
bukanlah sesuatu yang salah melainkan sesuatu yang wajar.[9]
Walaupun dari
luar kita melihat banyak kesamaan, ternyata dalam beberapa hal terdapat
perbedaan disana-sini. Point yang ingin ditekankan adalah bagaimana dalam
ajaran Kristen kita kita diajarkan tentang kecukupan diri yang berada dalam ketergantungan
atas anugrah Allah – inilah yang
membedakan ajaran Kekristenan dan Filsafat – Kecukupan diri disini maksudnya
tidak berpusat pada diri sendiri tetapi merupakan sebuah “kepuasan” yang
memampukan seseorang untuk melayani sesamanya.
IV. KESIMPULAN
Kekristenan
tentu saja memandang kebahagiaan bukan sebagai pencapaian duniawi. Kebahagiaan
yang sebenarnya dicapai setelah
kehidupan ini (bersama dengan Tuhan), untuk itu dalam ajaran Kekristenan
manusia diajarkan untuk tidak berfokus mencari kebahagiaannya di dunia ini saja
tetapi justru hidup sedemikian rupa sehingga sesudah hidup ini ia betul-betul
bahagia. Jadi hidup ini menjadi suatu perjalanan ke tujuan manusia yang
sebenarnya, yakni kepada Tuhannya. Namun bukan berarti manusia tidak
diperbolehkan untuk menikmati apa yang ada di dunia ini. Dalam ajaran
Kekristenan segala apa yang ada di dunia ini, yang dapat dinikmati oleh manusia
merupakan suatu berkat dari Allah kepada umatNya. Walaupun tentu saja manusia
diajarkan untuk tidak memusatkan diri pada kehidupan duniawinya (materi) saja,
melainkan juga kepada kehidupan spiritualnya (batin).
Selain
itu, kita juga tahu bahwa ternyata tidak semua ajaran Filsafat Yunani tentang
kebagiaan relevan dengan Kekristenan; beberapa diantaranya memang sejalan namun
beberapa diantara tidak. Pola hidup yang diterapkan dalam ajaran Filsafat
Yunani menurut saya menunujukkan beberapa kesamaan dalam pola hidup
Kekristenan; hidup sederhana, saling berbagi dan aktif dalam kehidupan
masyarakat, serta hidup tidak dengan mengikuti kedagingannya (keinginan hawa
nafsu) saja melainkan juga hidup kudus. Selain itu ajaran-ajaran Filsafat ini juga
ternyata mampu mengingatkan kita orang-orang Kristen di zaman sekarang bahwa
kebahagiaan utama kita bukan pada kehidupan duniawi, tetapi ada dalam relasi kita dengan Yesus Sang Penebus yang
telah mengundang kita masuk dalam Kerajaan Allah.
[4] lih. Franz Magnis-Suseno.
13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai
Abad ke-19. Yogyakarta:Kanisius. 1997,p. 29-30
[5] bdk. Franz Magnis-Suseno. Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles.
Yogyakarta:Kanisius. 2009,p. 4-7
[7] bdk. Delfgaauw, Bernard.
Sejarah Ringkas Filsafat Barat.
Yogyakarta:Tiara Wacana. 1992,p. 38-40
[8]
lih. Franz Magnis-Suseno. 13 Tokoh
Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta:Kanisius. 1997,p. 56-61
[9] Bisa dilihat juga di Roma 12:15,
“Bersukacitalah dengan ornag yang bersukacita, dan menangislah dengan orang
yang menangis!”
No comments:
Post a Comment