Sunday, 22 March 2015

Teologi Agama-agama Model Penerimaan, “Banyak Agama yang Benar: Biarlah Begitu”

Model penerimaan adalah model termuda dari keseluruhan model teologi agama-agama yang sebelumnya telah dibahas. Model ini berkembang selama dua dekade terakhir abad ke-20. Model ini mencoba memberi pendekatan baru terhadap cara pandang agama satu dengan yang lainnya; dan berusaha menyeimbangkan papan jungkat-jungkit yang telah kita duduki selama ini antara universalitas dan partikularitas. Jika model Mutualitas berdialog dari kesamaan, model penerimaan justru berangkat dari perbedaan. Model penerimaan mencoba memberi jalan tengah, tidak dengan menjunjung tinggi superioritas dalam semua agama, tidak pula dengan mencari satu kesamaan yang membuat semua agama valid, tetapi dengan menerima diversitas nyata dari semua agama.[1] Artinya, kita menerima berbagai macam tradisi agama yang berbeda-beda itu sebagai sebuah perbedaan yang nyata di tengah konteks kehidupan kita.

Konteks: Dunia Postmodern Kita
Berawal dari pengaruh besar periode sejarah Pencerahan pemikiran Barat, hingga akhirnya muncullah istilah postmodernitas. Agaknya memang istilah postmodernitas lebih banyak digambarkan secara negatif dibandikan dengan positif. Gerakan postmodernitas merupakan reaksi yang menentang optimisme berlebihan dari abad Pencerahan. Mereka berusaha memaksakan berbagai otoritas eksternal ke dalam pemikiran manusia; otoritas tradisi dan gereja. Bagi mereka apabila kita dapat mengatasi rintangan dari otoritas eksternal ini dan membebaskan pikiran agar bisa mencari kebenaran secara jujur tanpa dibatasi, maka manusia akan dimerdekakan dan dimampukan untuk memperoleh kemajuan dalam menyejahterakan umat manusia yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam sejarah penciptaan.[2] Kelompok postmodernitas sangat menghindari pemikiran “pencerahan”, seperti:1. keyakinan berlebihan terhadap kemampuan berfikir. Menurut mereka pikiran tidak bisa secara murni membebaskan kita dari pembatasan otoritas eksternal; pikiran bisa dieksploitasi dan dieksplorasi, pikiran bisa mengacu pada berbagai hal berbeda dalam budaya yang berbeda-beda. 2. Selain itu bagi mereka tidak ada yang namanya data empirikal primer dan terandalkan (fakta), sebab fakta itu selalu datang dari berbagai samaran kultural yang berbeda-beda. 3. Penyangkalan terhadap berbagai pandangan mitos-mistik tentang dunia. Bagi kelompok modern di zaman pencerahan segalanya bisa dicari dan dibuktikan dengan sains, namun bagi kelompok postmodern ada banyak cara lain untuk mengetahui bagaimana segala sesuatu terjadi, dan semua itu tidak bisa dirumuskan; seperti pengalaman mistik. 4. Mencari kebenaran-kebenaran universal. Bagi kelompok postmodern, usaha itu sulit untuk dicapai (karena setiap manusia dan kebudayaannya akan lebih berbeda daripada sama) tetapi juga berbahaya.[3]

Perbedaan adalah pilar utama kelompok postmodern, bagi mereka menerima perbedaan akan lebih baik dibanding mencari-cari persamaan. Karena perbedaan adalah anugerah kehidupan maka “yang banyak” tidak bisa digodok menjadi “yang satu”. Walaupun perbedaan-perbedaan kecil ini mungkin bisa saja berkumpul dan membuat persekutuan, namun tetap ada diversitas di dalamnya. Begitupun dengan kebenaran dari kebenaran-kebenaran lainnya, kita tidak bisa menemukan satu kebenaran yang absolut di tengah konteks kehidupan manusia saat ini, artinya tidak ada kebenaran yang dapat merangkul kebenaran lain, karena ini akan mengakibatkan dominasi dari diversitas (dimana satu kebenaran ini mencoba mendominasi kebenaran lain). Tiap orang memandang dunia melalui kacamata kultural-religius masing-masing dan anda tidak bisa melihat pandangan dunia seseorang melalui sudut pandang orang lain, tetapi hanya dari sudut pandang anda sendiri, saringan sendiri (budaya, agama, pengalaman) juga menjadi alat yang berlaku bagi kelompok tertentu dalam melihat kelompok lain; jadi masing-masing kelompok memiliki saringannya sendiri. Dengan kata lain, kita tidak bisa menetapkan satu pandangan universal bagi semua orang, sebab satu pandangan universal hanya bisa universal bagi satu saringan tertentu. Kehidupan dan latar belakang setiap orang berbeda-beda, dan kita tidak bisa menghakimi satu sudut pandang kelompok dengan sudut pandang kelompok kita sendiri (bdk. Mat 7:1, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi”). Untuk itu penganut postmodernisme begitu berhati-hati terhadap berbagai anggapan kebenaran universal; dengan menggunakan istilah lain yakni “meta-naratif” – sebuah naratif yang berada di atas semua budaya dan berlaku untuk semua, bisa dikatakan satu super-naratif. Jadi, nartif atau anggapan kebenaran tidak boleh menjadi universal agar tdak terjadi pemaksaan saringan yang mengarah pada terjadinya eksploitasi budaya yang satu terhadap yang lain.[4] Demikianlah bagi teolog Model penerimaan, di satu pihak kelompok postmodern telah memberikan sudut pandang positif tentang keindahan, nilai, dan kesempatan menjadi beraneka ragam, berbuah dan mengandung rahmat kehidupan dari pada persamaan. Hal serupa juga diungkapkan oleh George Lindbeck, seorang teolog Kristen Model Penerimaan, pertama yang menangkap pesan postmodernisme dan meluruskankan ke dalam pemikiran teologi Kristen. Menurutnya umat Kristiani berkesempatan bukan hanya untuk memfokuskan dan menegaskan kembali identitas khusus agama Kristiani yang telah diterbangkan oleh angin modernitas, tetapi juga menjernihkan dan menilai kekhususan agama-agama lain.[5]
Agama: Kata Mendahului Pengalaman
Lindbeck yang menggunakan gagasan postmodernisme mengungkapkan tiga cara berbeda memahami agama, dan semuanya berhubungan dengan cara bagaimana seseorang menghubungkan bahasa dan agama. 1. Pemahaman agama yang kognitif-proposisional. Menurut pandangan ini agama merupakan masalah mengetahui apa yang benar tentang Tuhan/Yang ilahi lewat berbagai pernyataan yang jelas dan dapat dimengerti. Jadi seperti melihat apakah antara konsep tentang kebenaran Allah yang kita mengerti sama seperti apa yang kita ditemukan lewat kehidupan sehari-hari.[6] Contohnya Alkitab yang dipegang teguh oleh orang Kristen sebagai Firman Allah, di dalamnya kita telah memiliki konsep bahwa Alkitab adalah Firman Allah dan oleh sebab itu segala yang tertulis di dalamnya adalah benar, dan ketika kita menaati apa yang tertulis dalam Alkitab maka kita telah berada di jalan yang benar. Bagi Linbeck sendiri ini keliru, karena pandangan semacam ini dapat mengabaikan begitu banyak saringan yang menentukan apa yang kita tahu.  2. Pemahaman akan “gagasan eksperiensial-ekspresif tentang agama”. Pemahaman ini lebih melihat bahwa Allah/Yang Ilahi merupakan perasaan/pengalaman iman masing-masing orang. Sejak awal manusia telah memiliki pengalaman itu, namun baru mulai disadari ketika dihidupkan oleh pengungkapan (simbol atau kata-kata) tentang pengalaman akan Yang Ilahi tersebut. Dalam hal ini jika kita berbicara soal agama-agama lain, maka kesimpulannya adalah Yang Ilahi itu satu, namun dengan pengungkapan iman yang berbeda-beda setiap agama. Sama seperti yang diungkapkan oleh John Hick dengan “satu Yang Nyata” atau Raimundo Pannikar bahwa ada satu Misteri yang terbuat dari dari semua jalan agama yang berbeda-beda.[7] Namun pandangan ini bagi Lindbeck juga tersesat sebab mereka lupa atau tidak sadar akan peranan sentral yang dimainkan oleh bahasa dalam semua pengalaman dan pengetahuan manusia. Saringan bahasa tidak mengikuti pengalaman tetapi mendahului pengalaman sehingga model terakhir (3), linguistik-kultural lebih dari sebelumnya. Pemahaman ini melihat bahwa agama merupakan medium (kultural/linguistik) yang mengajarkan ajaran-ajaran tentang hidup yang benar. Dalam hal ini agama memiliki peran dan citra religius yang “meyakinkan” dan membawa jemaatnya pada keyakinan penuh terhadap agama. Dengan kata lain, kata-kata yang digunakan oleh agama (bahasa agama) mampu menarik kita pada sebuah keyakinan utuh akan kebenaran sebuah agama/kepercayaan. Seperti kata Linbeck bahwa  “kata-kata eksternal”-lah (seperti agama dan budaya) yang mendahuli “kata-kata internal” di dalam pikiran dan hati kita.[8] Sama seperti bahasa yang mengartikulasikan pengalaman, jadi bahasa agama yang terbentuk dari budayalah yang kemudian membentuk pengalaman agama yang kita miliki. Dengan kata lain menurut Lindbeck dan Hans Frei (mantan rekannya) kata-kata agama kita melahirkan/membentuk dunia agama kita, membuatnya menjadi baik dan bernilai, demikian bahasa agama dan berbagai cerita menciptakan dunia tempat kita tinggal. Oleh karena itu bagi Lindbeck saringan/kacamata menjadi penting untuk tidak saja memahami dan memandang dunia ini, tetapi juga yang bisa menentukan apa yang kita lihat, yang bisa memberi makna pada apa yang kita lihat, kacamata yang tidak hanya menengahi tetapi menciptakan.

Tidak Ada Asas Bersama
Dari apa yang kita dapatkan di atas, bisa dikatakan bahwa tidak ada yang benar-benar sama bagi semua agama. Setiap bahasa masing-masing agama terbentuk dari satu budayanya sendiri-sendiri, dan hal inilah yang kemudian membentuk pengalaman iman masing-masing umatnya. Linbenck mengemukakan bahwa tiap agama memiliki pengalaman yang berbeda tentang “yang tak dapat dibandingkan). Menurut Linbeck kita tidak bisa menerjemahkan sebuah bahasa agama ke dalam bahasa agama lainnya. Walaupun kata-kata yang dipakai dalam berbagai agama sama, namun makna kata-kata tersebut berbeda, karena tiap kata itu bermakna hanya didalam teks tertentu atau sistem bahasa dari agama tertentu. Sebagai contoh “kasih” dalam agama Kristen berbeda dengan dalam agama Budha.[9] Bukan berarti bahwa “kasih” tidak bisa didialogkan, namun membicarakan hal ini menurutnya adalah suatu kedangkalan yang tidak menarik seperti kalau dikatakan dalam semua bahasa yang digunakan. Artinya, “kasih” tetap bisa di dialogkan hanya saja, masing-masing agama punya konteksnya tentang makna “kasih” dan pastinya hanya dapat dimengerti oleh agama tersebut, jangan sampai yang terjadi dalam dialog nantinya adalah kebingunmgan, karena fungsi dan makna “kasih” yang ebrbeda dari masing-masing agama.[10] Jadi pada akhirnya, agama satu tidak bisa menilai agama lainnya dengan menggunakan tolak ukur agamanya dan tidak ada satu agama yang dapat memahami /menghakimi agama lain.

Dialog: Sebuah Kebijakan Bertetangga yang Baik
Dalam hal ini Linbeck mengumpamakan dialog antar-agama seperti hubungan bertetangga yang baik. Agama-agama harus bisa menjadi tetangga-tetangga yang baik, dan pagar menjadi batas yang jelas antar tetangga. Setiap agama harus mengenal identitas siapa dirinya dengan baik, menjaga dan merawat halaman belakangnya masing-masing tanpa harus menyebrang ke halaman belakang tetangga lain untuk mencari kesamaan-kesamaan yang mungkin dimiliki agama lain. Dialog antar-agama bisa tetap terjalin dari masing-masing sisi pagar yang membatasi. William Placher menggambarkan dialog sebagai satu keberhasilan dalam hal yang bersifat baik dan umum meskipun tidak terorganisir.[11] Dalam hal ini diaolg antar-agama bisa terjadi begitu saja, di mana agama satu dengan yang lain “saling bertukar cerita” tentang apa yang mereka rasa penting, apapun hasilnya, kita lihat saja nanti. Dalam dialog seperti ini kita saling bertukar, belajar, dan bekerja sama, dari sana kemudian kita bisa melihat kembali pada diri kita, apa yang perlu kita benahi di halaman belakang kita. Kita berdialog dan tetap mempertahankan identitas kita rupanya tetap mampu memberi dampak positif; walaupun kita berbeda dengan yang lainnya, dialog yang kita lakukan bisa sangat membangun sebuah perspektif baru bagi saya dan keyakinan agama saya. Seperti yang dikatakan Wittgenstein bahwa permainan bahasa bisa saling melengkapi; berbicara kepada seseorang yang menggunakan bahasa yang berbeda bisa memperkaya bahasa saya.[12]

Apologi untuk Apologetika
Paul Griffiths membuat apologinya bagi apologetika. Sama seperti Linbeck, ia juga menyetujui bahwa agama memiliki nilai-nilai kebenaran yang bagi penganutnya memiliki dampak besar bagi kehidupan mereka, tetapi tidak bisa digunakan dengan tujuan untuk mengungguli/mendominasi agama lain. Namun pada kenyataannya, agama seperti poros kehidupan seseorang atau kelompok ini, memang bisa  membuat dia mampu berdialog, tetapi tetap dengan anggapan bahwa agama saya dapat mengungguli agama lain. Apologi yang dijelaskan oleh Griffiths menjelaskan bahwa setiap dialog antar-agama harus menjadi apologi antar-agama, namun bukan dalam arti “mengaku salah” tetapi lebih pada “pertahanan” atau “pembenaran formal”, mengakui kebenaran agama lain juga sebagai kebenaran agama tersebut. Dalam proses dialognya, kita bisa saling bertukar pikiran, berargumentasi, dan mempertentangkan; untuk mendapatkan hasil dialog yang baru, maka harus ada dialog yang dialogis antar-agama seperti yang dikemukakan Hegel dan Marx, dari pandangan yang berbeda kemudian menghasilkan hal yang baru (“tesis” dan “antitesis” menghasilkan “sintesis”). Dialog yang apologetik harus bisa menghasilkan hasil dialog yang produktif.

Banyak Agama, Banyak Keselamatan
S. Mark Heim satu teolog penganut model penerimaan, menganggap model penerimaan adalah model yang paling menjanjikan untuk mencapai (atau mendekati) keseimbangan, karena penekanaan pada “penerimaan” yang semaksimal mungkin mengenai perbedaan akan hal-hal yang menyangkut jiwa mereka, tujuan terakhir, dan “pemenuhan” mereka. Baginya “nirwana dan persekutuan dengan Tuhan saling bertentangan hanya kalau kita menganggap bahwa salah satunya harus menjadi takdir manusia.”[13] Karena memang keselamatan agama Kristiani dan pencerahan agama Budha memang merupakan titik-tujuan yang berbeda-bed, dua “pemenuhan” yang berbeda, karena itu dua realitas berbeda.
Terkait dengan keselamatan bagi orang-orang non-Kristiani, Heim kemudian menunjuk satu kata bagi semua agama, yaitu salvations (jamak). Tiap agama pastilah mengarah kepada tujuan yang berbeda, jadi bagi Heim, tidak ada hanya “satu takdir tunggal bagi umat manusia”. “Tujuan” yang dimaksud oleh Heim sendiri adalah “tujuan akhir”. Maka dari perbedaan-perbedaan mengenai tujuan akhir tersebut dapat dikatakan pula bahwa perbedaan tersebut akan tetap berlangsung hingga pemenuhan eskatologis, karena disini Heim sendiri juga berbicara mengenai eskatologis dalam tiap-tiap agama. Manusia akan “berbahagia” dalam berbagai cara yang berbeda-beda.[14]
Berangkat dari hal tersebut, maka kita dapat melihat bahwa Heim sendiri ingin mengatakan bahwa mungkin saja ada lebih dari satu Tuhan (wujud Ilahi).[15] Mungkin memang bagi umat Kristiani, hal ini sangat tidak bisa diterima. Tetapi sebenarnya, dalam kekristenan-pun Tuhan tidaklah hanya ada satu. Disini Heim menunjuk kepadaTritunggal. Melalui wahyu Yesus sebagai Kristus dan di dalam apa yang dialami Yesus sebagai yang ilahi, umat Kristiani merasa bahwa yang ilahi itu bukanlah satu realitas.[16]
Heim menjelaskan mengapa umat Kristiani berbicara mengenai Tuhan dalam bentuk baik tunggal maupun jamak. Umat Kristiani mengakui apa yang diajarkan Yesus tentang “sifat manusia” juga benar tentang “sifat Ilahi”: dalam keberadaan manusia sebagai “ada”, itu berarti juga bahwa manusia ada di dalam hubungan. Dalam keberadaan manusia, manusia juga tidak dapat berada sendiri, manusia harus berada dengan manusia lainnya. Karena dimana ada hubungan, itu berarti ada manusia. Disini ditekankan bahwa manusia haruslah menjadi “manusia”, dan hal tersebut menjelaskan siapa manusia (kita) dan siapa Tuhan. Di dalam hubungan yang terjadi antar manusia itu juga disebut dengan persekutuan. Hal ini membenarkan keberadaan Tuhan yang haruslah berbentuk Trinitas, satu komunitas berbeda yang berada dalam hubungan. Hal itu juga menegaskan bahwa semua makhluk harus menimba keberadaan dan kehidupan mereka dari perbedaan yang memunculkan hubungan.[17] Karena tidak ada keberadaan tanpa perbedaan dan persatuan. Manusia harus hidup dalam hubungan, dimana dalam hubungan tersebut terdapat perbedaan. Seperti halnya trinitas yang mengakui adanya “banyak” Tuhan, maka juga diakui banyak agama. Jika demikian, itu berarti juga diakui adanya keragaman hubungan di antara Tuhan, dan keragaman hubungan dengan Tuhan.
Permasalahan yang mungkin timbul dari hal ini adalah pertanyaan mengenai surga, apakah memang surga itu berbeda-beda? Tetapi sepanjang tiap-tiap agama mengakui adanya perbedaan, Heim membiarkan masing-masing agama memahami hal tersebut melalui perspektifnya sendiri. Sebagai seorang Kristiani, Heim sendiri mengatakan akan adanya peringkat dalam keselamatan yang berujung pada adanya hierarki dari berbagai tujuan akhir ini. Artinya, tujuan akhir dalam tiap-tiap agama itu ada yang berada di atas, dan ada juga yang lebih rendah. Namun, sekali lagi perlu diingat bahwa hal ini dilihat dari pandangan umat Kristiani, dan mungkin bukan pandangan Tuhan. Umat Kristiani membiarkan diri menerima misteri Tuhan yang merangkul perbedaan. Karena penyelenggaraan Allah adalah penyelenggaraan yang luar biasa dan misterius. Segala perbedaan, berbagai pilihan yang dibuat oleh tiap-tiap agama, adalah kebebasan dari manusia itu sendiri untuk memilih. Kehendak Tuhan memungkinkan sesuatu yang tidak dikehendakinya, pilihan-pilihan itu bisa saja adalah kehendak Tuhan, tetapi bisa juga tidak. Kalau manusia memilih kurang dari tawaran Tuhan, bukan berarti bahwa manusia memilih yang tidak dikehendaki oleh Tuhan. Dan manusia harus menerima misteri Tuhan yang merangkul berbagai diversitas, berkaitan dengan tempat kehidupan sesudah kematian. Jika model mutualitas mengharuskan tiap-tiap agama untuk melepas kebenaran absolutnya, maka model ini justru tidak boleh melepas kebenaran absolutnya. Kebenaran absolut, menurut Heim, justru merupakan substansi dan energi untuk berdialog. Setiap orang dapat setuju maupun tidak setuju ketika berdialog dengan mempertahankan kebenaran absolut, dari situlah orang yang berdialog itu dapat sadar akan kebenaran agama “yang nyata dan alternatif”, dan juga sadar untuk membuka diri untuk mempelajari sesuatu yang baru.[18] Tentu juga, karena kebenaran absolut, orang yang berdialog, pastilah akan mempertahankan keyakinannya, dan menganggap agamanya lebih superior, hal itu membuatnya menjadi inklusivis yang mana tidak dapat dihindari. Justru akan menjadi usaha yang kontraproduktif jika inklusivis berusaha untuk dihindari. Karena kita hanya akan mengejar kebenaran dengan cara memperkuat kebenaran kita sendiri.[19] Kita hanya bisa mengatasi hal tersebut dengan cara menerimma dan mengakui kebenaran yang terdapat dalam agama lain yakni dengan saling bertukar: memberi kesaksian dan diberi kesaksian.[20] Tentu saja dari bentuk ini, kompetisi tidak akan terelakkan. Tetapi bentuk ini mungkin tetap menguntungkan bagi mereka yang dapat melihat kesaksian yang berbeda dari yang lain. Dan jika ada hadiah dalam kompetisi ini, maka hadiahnya akan dimenangkan oleh mereka yang paling mampu menghimpun semua agama bersama-sama.[21]
Tempat Kristus
Bagi Linbeck dan Joseph DiNoia, sebagai umat Kristiani, percaya bahwa Kristus-lah (Christus solus) jalan keselamatan bukan berarti kita harus menyangkali keselamatan yang dipercayai dalam agama-agama lain. agama lain juga punya pemahaman keselamatan yang lain. Kebanyak penafsiran terhadap ajaran/doktrin dan kitab dalam agama kita masing-masing pasti mempengaruhi pola pikir kita dalam melihat agama-agama lain. Sehingga ketika membaca teks-teks keagamaan kita masing-masing disarankan agar membacanya dalam konteks plural, ini merupakan salah satu contoh dimana penafsiran pembaca juga bisa berkembang di tengah konteksnya.[22] Bila berfikir dalam perspektif Kristen, lantas bagimana mereka bisa mencapai keselamatan, bila keselamatan hanya ada di dalam Kristus? Berbicara mengenai hal ini, para teolog mengaku bahwa mereka tidak dapat mengatakan dengan pasti bagaimana hal itu bisa terjadi. Paul Griffits mencoba lebih berspekulasi, kita tidak tahu akan hal ini, di satu sisi kita percaya bahwa keselamatan ada pada Kristus, tetapi di sisi lain Allah mengasihi manusia dan mengkehendaki keselamatan bagi semua orang; semua berada di luar pemahaman manusia.

Heim yang melangkah melampaui Lindbeck mengakui adanya posibilitas, yaitu banyak cara yang berbeda-beda untuk memperoleh pemenuhan dan kebahagiaan kekal. Tetapi Heim sendiri tetap memandangnya sebagai seorang Kristiani, dimana menurutnya umat Kristiani-lah, yang berorientasi pada Yesus Kristus. Disini dia menunjuk kepada Kristosentris. Umat Kristiani melalui Kristus, telah mengalami dan memahami Allah Trituggal. Dari hal tersebut Kristus telah menunjukkan dengan jelas bahwa karena Allah itu begitu personal dan relasional, Ia bisa berkarya melalui partikularitas dan perbedaan di dalam usahanya untuk menghubungkan diri-Nya dengan ciptaan-Nya. Karena ciptaan Allah berbeda-beda, maka hubungan Allah juga akan berbeda-beda pula. Jadi saat umat Kristiani memutuskan untuk mengikuti Kristus dengan segenap hati dan akal budinya, mereka juga harus membuka hati dan akal budi mereka itu bagi apa yang mungkin Allah lakukan melalui Budha atau Muhammad atau Krishna. Dalam hal ini umat Kristiani mencoba membuka pemahamannya tentang juruselamat lain sebagaimana mereka mengakui Yesus sebagai Juru Selamat dunia, demikian pula mengakui integritas dari berbagai umat Budha bahwa Budha merupakan juruselamat dunia. Jadi dapat dimengerti bahwa Yesus Kristus mengakui pentingnya dan validitasnya partikularitas, yaitu Allah yang mentransformasi kehidupan. Hal ini mampu menyeimbangkan antara komitmen penuh terhadap Yesus dan keterbukaan penuh penuh terhadap agama-agama lain. Sebagai seorang Kristiani, melalui imannya akan Tirinitas, ia percaya bahwa Allah memakai berbagai sistem yang ada untuk menyampaikan wahyu dan menyelamatkan. [23]  
Pada tahap ini ia juga mengkritik penganut Kristen Anonim yang menganggap bahwa Kristuslah yang menyelamatkan, dan menjadikan Kristus sebagai tujuan akhir mereka. Dia mengingatkan bahwa fungsi dari tiap agama adalah untuk mencapai tujuan akhir dari masing-masing agama, bukan menjadikan Yesus sebagai tujuan akhir. Heim sendiri menunjukkan fenomena yang tidak bisa dihindari oleh umat Kristiani sebagai orang yang melihat dari kacamata/saringan Kristiani bahwa Yesus merupakan ungkapan yang sangat jelas dan efektif dari siapa Allah sebenarnya (personal dan tritunggal), dan inilah yang umat Kristiani saksikan saat mereka berdialog dengan umat beragama lain, serta akan menjadi pengharapan mereka bagi apa yang mereka perkirakan akan terjadi, atau bisa terjadi dari dialog tersebut. Namun Heim mengingatkan sekali lagi bahwa ini bukanlah keharusan, karena gunung agama Kristiani tidak akan lebih tinggi dari yang lainnya dan tiap gunung agama-agama cukup tinggi bagi mereka yang diam didalamnya sehingga mereka benar-benar dipuaskan. Keberagaman puncak gunung ini memperlihatkan kepada kita akan perbedaan kehidupan ilahi.[24] Inilah keunikan Keunikan Kristus yang tidak selalu sempurna didalam keunikan lainnya yang abadi. Disamping itu mungkin untuk umat beragama lain akan terarah pada Kristus hanya apabila ia menunjukkan perbedaan Yang Ilahi yang terungkap secara penuh dalam Kristus.

Teologi Komparatif
Jika semua model yang telah dibahas dimulai dengan tradisi Kristiani, maka teologi Komparaif justru memulainya dari titik yang paling akhir. Teologi ini membalikkan seluruh proses dari semua model yang telah dibahas. Semua bentuk teologi agama-agama Kristiani adalah hasil dari berdialog, dan bukan pendahuluannya.
Clooney dan Fredericks menggambarkan teori dan teologi agama-agama yang dibangun oleh teolog masa kini seperti antropolog “kursi malas” yang membuat generalisasi tentang suatu budaya itu berfungsi tanpa pernah mengunjunginya. Data, bagi teologi agama-agama bukan hanya berasal atau dimulai dari teologi saja, tetapi juga dari agama-agama. Teologi itu seperti mikroskop dimana umat Kristiani meneliti dan memahami agama-agama lain, tetapi studi tentang dan berdialog dengan agama-agama lain justru menempatkan agama-agama lain sebagai data yang ditaruh dibawah mikroskop. Fredericks menunjuk kepada tiga model, model penggantian, penerimaan, dan pemenuhan, yang menghalangi umat Kristiani untuk memahami kekuatan dan sesuatu yang baru.
Memahami diri sendiri melalui perbandingan dengan yang lain.
Menurut Frederick untuk memahami diri sendiri (iman agama Kristiani) yang lebih baik maka kita perlu memiliki pemahaman yang baik tentang yang lain.[25] Agama lain bukan sekadar ‘data baru’ yang diletakkan dibawah mikroskop kristiani tetapi juga materi untuk menghasilkan mikroskop baru artinya wawasan dari agama-agama non Kristiani tepatnya sebagai sumber. Teologi komparatif yang berarti juga dialog bagi Clooney haruslah dialog antara teks agamanya dan teks agamamu, jika demikian maka pemahaman tentang agama Kristiani bukan saja menjadi luas, tetapi juga tertransformasikan.[26] Dalam hal ini Da’Costa menjelaskan bahwa masing-masing teks-teks agama yang di dialogkan tidak bisa diperbandingkan begitu saja, justru dalam proses dialognya teks agama kita juga perlu memperhitungkan “pengungkapan pengalaman”. Ini merupakan upaya pluralis untuk menghargai pengalaman orang lain sebagai “pengalaman mereka” dan pengalaman kita sebagai “pengalaman kita”. Perlu disadari walaupun berbeda, tetapi dalam proses transformasi itu ada refleksi dari hasil dialog.[27]  
Pertama-tama tentu dimaksudkan membawa perubahan dalam diri agama Kristen itu sendiri sebelum berpikir tentang perubahan dalam agama lain. Dalam melakukan dialog ini perlu untuk tidak melakukan perbandingan yang telalu besar seperti teks khusus, ritual, kepercayaan, teolog terkenal, konteks terbatas,atau beberapa periode historis. Melainkan beberapa hal yang perlu untuk didialogkan adalah masalah-masalah konkret seperti tema-tema besar dan abstrak seperti yang terakhir, atau sifat manusia, atau tujuan sejarah. [28] Juga masalah-masalah konkret dalam pengakuan iman, peraturan agama, atau upacara agama.[29] Oleh karena itu sifat kerendahatian seorang dialog dalam membatasi diri untuk tidak mendialogkan semua hal sangat dibutuhkan disini. Tujuan dialog yang baik juga tidak hanya sekadar mencari pengamahaman ataupun pengertian tetapi juga mengetahui apakah kepercayaan tersebut benar, singkatnya mendapatkan masalah baru, wawasan baru dan kebenaran baru.[30] Oleh karena itu banyak hal dipertaruhkan termasuk iman seseorang maupun komunitasnya.[31] Ini bukanlah suatu pekerjaan yang langkah-langkahnya dapat di direncanakan atau yang hasilnya dapat diketahui sebelumnya.
Clooney dan Fredericks setuju bahwa ketegangan dalam tarik menarik antar kebenaran adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari dalam dialog. Lebih jelas Frederick menyebut krisis atau ketegangan ini adalah antara benar-benar terbuka terhadap yang lain dan siap untuk perubahan disatu pihak atau kerapuhan terhadap kuasa transformatif dari Yang Lain, namun dilain pihak tetap berpegang pada dan agamanya sendiri atau kesetiaan terhadap tradisi Kristiani.[32] Walaupun sangat terlihat bahwa terjadi berat sebelah karena upaya mendengarkan ini hanya dari pihak Kristiani, tetapi inilah yang memang ingin dilakukan penganut model penerimaan, yaitu mereka ingin mengakui agama lain tradisi dan penganut agama lain seperti adanya mereka tanpa mengatakan kepada mereka apa yang harus mereka perbuat.[33]
Sementara itu sisi lebih dari teologi komparatif yang menurut Frederick mengarah pada teologi dialogis adalah membangun persahabatan: mengenal, menghargai dan mengasihi penganut agama lain. Mengasihi umat beragama lain disini bagi Frederick bukanlah Agape sebagaimana pengikut Krsitus, sehingga kepedulian dan kasih sayang harus kita berikan kepada semua orang, melainkan kasih preferensial, kasih yang muncul dan memenuhi kita karena adanya berbagai kualitas khusus yang kita temukan dalam diri orang lain yang disebut dengan filia. Jadi bukan karena perintah Yesus untuk mengasihi tetapi karena adanya kebaikan dan kebajikan seseorang sejak dilahirkan.[34] Dengan demikian persahabatan abadi menjadi cara bermanfaat untuk berselisih pendapat secara jujur dan mendalam.
Dalam berselisih pendapat yang demikian ini, kita masih mampu berkomitmen pada Yesus,  dan komitmen ini tidak hanya terjadi sebelum kita mengalami kerapuhan terhadap yang lain, tetapi komitmen ini juga mengatasi kerapuhan tersebut. Kalau diperhatikan maka akan terlihat bertolak belakang antara komitmen terhadap Yesus tetapi disisi lain mengalami kerapuhan akan yang lain. Oleh karena itu bagi Frederick sendiri berkomitmen kepada Yesus sebagai anak Allah yang unik tidak mengurangi kerapuhan umat Kristiani terhadap agama-agama lain atau kesediaan mereka untuk digoncang dan ditransformasikan oleh berbagai teks dan simbol lainnya. Bagi para teolog komparatif, teks (menurut Clooney sebagaimana dalam agama Kristiani yaitu Injil dan tradisi) dan konteks (teks-teks dan tradisi agama lainnya) hendaknya dibaca secara timbal balik. Mempelajari dan menerima teks-teks ini (konteks) hendaknya dari sudut pandang mereka sendiri (si penerima). Oleh karenanya seseorang dalam memandang agama lain agar “seperti apa adanya haruslah menggunakan kacamata agamanya sendiri. Kalau tidak maka sama saja dengan membohongi diri sendiri. Begitu juga dengan umat Kristen yang menemukan sesuatu diluar Kristus maka harus memahaminya dari dalam dan mengintegrasikannya kedalam agama Kristen sendiri. sebegitu dalamnya umat Kristiani terbentuk dan tergengam bahkan terbatasi oleh kultur dan bahasa agama kita sendiri sehingga tidaklah mungkin teks-teks agama lain (dalam hal ini Hindu) menjadi sentrum dan Alkitab menjadi tepi melainkan sebaliknya.[35]
TANGGAPAN
Model Penerimaan menurut kelompok merupakan satu-satunya model yang memang benar-benar berada di tengah-tengah papan jungkat-jungkit. Model ini disatu sisi bisa dibilang lebih unggul dari model-model lainnya dalam hal keterbukaan dialogis. Salah satu kelebihan model ini adalah perbedaan sangat diterima, perbedaan yang ada itu dihargai dan disyukuri sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Perbedaan inilah yang menimbulkan dialog antar-agama. Dialog yang terjadi juga harus merupakan dialog yang dialogis, masing-masing agama tetap berdiri pada identitasnya namun harus bisa terbuka dan menerima kritik dari satu sama lain untuk bisa menjadi lebih baik. Dalam dialog tidak perbolehkan mencari kesamaan-kesamaan yang hanya untuk “cari jalan damai” dan tidak membangun. Sama seperti perumpamaan yang ditawarkan oleh Linbeck, dalam dialog kita harus bisa seperti seorang tetangga. Berdialog dari masing-masing sisi pagar kita, tidak boleh mencari kesamaan-kesamaan tanaman untuk kita samakan dengan tanaman halaman belakang rumah kita.
Dalam proses dialog antar-agama ini, kita bisa menggunakan bahasa agama, namun tidak dengan maksud untuk mendominasi/mengklaim/menguasai agama lain. Dalam hal ini kita menerima agama lain dengan kebenaran yang ia miliki. Masalah keselamatan, sifatnya lebih pada Allah sebagai pemberi keselamatan. Kita sebagai penganut agama punya pemahaman masing-masing mengenai keselamatan, dan untuk itu dalam dialog antar-agama kita juga menerima dan menghargai konsep keselamatan yang miliki oleh agama lain. Menarik bahwa Yesus dalam hubungannya dengan Trinitas merupakan salah satu pewahyuan Allah yang dapat dikatakan sejajar dengan Budha juga Krishna dalam agama Budha dan Hindu sebagai Juru Selamat dunia. Model penerimaan ini menantang umat Kristiani sebagai yang memilih mengikut (memegang kepercayaan penuh pada) Yesus untuk mau menerima Budha dan Krishna jika ternyata setelah Budha dan Krishna didialogkan dan akhirnya ada sesuatu yang baik dan benar dalam Budha yang belum terdapat dalam agama Kristiani. Apakah kita bersedia jatuh pada konsekuensi kemungkinan untuk memegang atau menerima Budha sebagai juga adalah Juru Selamat? Atau dengan kata lain dapatkah seseorang memegang dua kepercayaan sekaligus? Apakah ini sesuatu yang bagus atau justru merupakan masalah baru seperti bagi umat Kristiani, seperti keberlangsungan ajaran agama Kristiani itu sendiri?

Selain kelebihan yang telah diungkapkan diatas kelompok melihat kekurangan dan kritik terhadap model ini, yakni seperti yang diucapkan oleh Heim dalam bukunya: model ini mengarah pada relativisme di mana apa yang benar dalam istana agama saya mungkin saja benar dalam agama anda, atau juga mengarah pada solipisisme di mana kita tidak bisa melihat sesuatu lebih daripada apa yang ada dalam istana kita.[36] Disamping itu kelompok juga menyadari kelemahan lain yang belum disebutkan dalam buku yaitu kelompok merasa bahwa model ini bisa dibilang bersifat paradoks. Karena keadaan model ini kadang kala bisa universal dan bisa partikular, membuat kelompok bingung akan menegaskan mana batasan model penerimaan dan yang bukan. Kelompok merasa ada ketidakkonsistenan mengenai bagian-bagian yang perlu didialogkan. Salah satu ketidakkonsistenan dalam model ini yang kelompok dapati adalah dalam pembahasan mengenai “keadialan”. Keadilan dalam tiap agama memiliki pijakan yang berbeda-beda dalam mengambil putusan dan oleh karena itu menurut Heim, sebaiknya keadilan tidak didialogkan, karena keadilan adalah cara ekslusif untuk merancang pokok permasalahan.[37] Namun dipenjelasan berikutnya Heim mengaskan bahwa dialog etika dimungkinkan, padahal “keadilan” sendiri dapat dibahas dalam ranah etika, sehingga mau tidak mau “keadialan” harusnya dapat terbuka untuk didialogkan. Ketidakkonsistenan lain yang kelompok temukan dan dapat didiskusikan adalah dalam masalah  bahasa agama. Disini kelompok mempertanyakan apakah kemudian dalam dialog antar agama yang menggunakan bahasa agama (misalnya kasih dalam pemahaman Kristiani dan dalam pemahaman Islam) bisa didialogkan dalam/dari sudut pandang budaya (budaya  yang dimaksud adalah budaya sehari-hari katakan dalam konteks budaya jawa )? Apakah dialog hanya dapat dilakukan sebatas dalam bahasa agama? Jika tetap mau berangkat dari sudut pandang budaya apakah akan tetap bisa terjalin dialog yang dialogis?



[1]Ibid. p. 205
[2]Ibid. p. 206
[3]Ibid. p. 207
[4]Ibid. p. 210
[5]Ibid. p. 211
[6]Ibid. p. 212
[7]Ibid. p. 213
[8]Ibid. p. 213; lihat juga D’Costa, Gavin. Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen:Mitos Teologi Pluralis Agama-agama.Jakarta: Gunung Mulia. 2002. p.124
[9]Ibid. p. 215
[10]Bdk. p. 215-216
[11]Ibid. p. 219
[12]Ibid. p. 219
[13]Ibid. p. 227
[14] Ibid p. 228
[15] Ibid p. 229
[16]Ibid. p. 230
[17]Ibid. p.230
[18]Ibid. p.233
[19] Ibid. p. 234
[20] Ibid. p. 235.
[21]Ibid. p.237
[22]Bdk. D’Costa, Gavin. Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen:Mitos Teologi Pluralis Agama-agama.Jakarta: Gunung Mulia. 2002. p.125-129
[23]Ibid. p.238
[24]Ibid. p.239
[25]Ibid. p.242
[26]Ibid. p.243
[27] Bdk. D’Costa, Gavin. Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen:Mitos Teologi Pluralis Agama-agama.Jakarta: Gunung Mulia. 2002. p.141-142
[28]Ibid. p. 244
[29]Ibid. p. 245.
[30]Ibid. p. 247
[31]Ibid. p. 245
[32]Ibid. p. 246
[33]Ibid. p. 247
[34]Ibid. p. 248
[35]Bdk. p.249- 251
[36] Ibid p.233-234
[37] Ibid p. 236.

No comments:

Post a Comment