Model penerimaan adalah model termuda dari keseluruhan
model teologi agama-agama yang sebelumnya telah dibahas. Model ini berkembang
selama dua dekade terakhir abad ke-20. Model ini mencoba memberi pendekatan
baru terhadap cara pandang agama satu dengan yang lainnya; dan berusaha
menyeimbangkan papan jungkat-jungkit yang telah kita duduki selama ini antara
universalitas dan partikularitas. Jika model Mutualitas berdialog dari
kesamaan, model penerimaan justru berangkat dari perbedaan. Model penerimaan
mencoba memberi jalan tengah, tidak dengan menjunjung tinggi superioritas dalam
semua agama, tidak pula dengan mencari satu kesamaan yang membuat semua agama
valid, tetapi dengan menerima diversitas nyata dari semua agama.[1]
Artinya, kita menerima berbagai macam tradisi agama yang berbeda-beda itu
sebagai sebuah perbedaan yang nyata di tengah konteks kehidupan kita.
Konteks: Dunia Postmodern Kita
Berawal dari pengaruh besar periode sejarah Pencerahan
pemikiran Barat, hingga akhirnya muncullah istilah postmodernitas. Agaknya
memang istilah postmodernitas lebih banyak digambarkan secara negatif
dibandikan dengan positif. Gerakan postmodernitas merupakan reaksi yang
menentang optimisme berlebihan dari abad Pencerahan. Mereka berusaha memaksakan
berbagai otoritas eksternal ke dalam pemikiran manusia; otoritas tradisi dan
gereja. Bagi mereka apabila kita dapat mengatasi rintangan dari otoritas
eksternal ini dan membebaskan pikiran agar bisa mencari kebenaran secara jujur
tanpa dibatasi, maka manusia akan dimerdekakan dan dimampukan untuk memperoleh
kemajuan dalam menyejahterakan umat manusia yang sebelumnya tidak pernah
terjadi dalam sejarah penciptaan.[2]
Kelompok postmodernitas sangat menghindari pemikiran “pencerahan”, seperti:1. keyakinan berlebihan terhadap kemampuan
berfikir. Menurut mereka pikiran tidak bisa secara murni membebaskan kita
dari pembatasan otoritas eksternal; pikiran bisa dieksploitasi dan
dieksplorasi, pikiran bisa mengacu pada berbagai hal berbeda dalam budaya yang
berbeda-beda. 2. Selain itu bagi mereka tidak ada yang namanya data empirikal primer dan terandalkan
(fakta), sebab fakta itu selalu datang dari berbagai samaran kultural yang
berbeda-beda. 3. Penyangkalan terhadap
berbagai pandangan mitos-mistik tentang dunia. Bagi kelompok modern di
zaman pencerahan segalanya bisa dicari dan dibuktikan dengan sains, namun bagi
kelompok postmodern ada banyak cara lain untuk mengetahui bagaimana segala
sesuatu terjadi, dan semua itu tidak bisa dirumuskan; seperti pengalaman
mistik. 4. Mencari kebenaran-kebenaran
universal. Bagi kelompok postmodern, usaha itu sulit untuk dicapai (karena setiap
manusia dan kebudayaannya akan lebih berbeda daripada sama) tetapi juga
berbahaya.[3]
Perbedaan adalah pilar utama kelompok postmodern, bagi mereka menerima
perbedaan akan lebih baik dibanding mencari-cari persamaan. Karena perbedaan
adalah anugerah kehidupan maka “yang banyak” tidak bisa digodok menjadi “yang
satu”. Walaupun perbedaan-perbedaan kecil ini mungkin bisa saja berkumpul dan
membuat persekutuan, namun tetap ada diversitas di dalamnya. Begitupun dengan kebenaran
dari kebenaran-kebenaran lainnya, kita tidak bisa menemukan satu kebenaran yang
absolut di tengah konteks kehidupan manusia saat ini, artinya tidak ada
kebenaran yang dapat merangkul kebenaran lain, karena ini akan mengakibatkan
dominasi dari diversitas (dimana satu kebenaran ini mencoba mendominasi
kebenaran lain). Tiap orang memandang dunia melalui kacamata kultural-religius
masing-masing dan anda tidak bisa melihat pandangan dunia seseorang melalui
sudut pandang orang lain, tetapi hanya dari sudut pandang anda sendiri,
saringan sendiri (budaya, agama, pengalaman) juga menjadi alat yang berlaku bagi
kelompok tertentu dalam melihat kelompok lain; jadi masing-masing kelompok
memiliki saringannya sendiri. Dengan kata lain, kita tidak bisa menetapkan satu
pandangan universal bagi semua orang, sebab satu pandangan universal hanya bisa
universal bagi satu saringan tertentu. Kehidupan dan latar belakang setiap
orang berbeda-beda, dan kita tidak bisa menghakimi satu sudut pandang kelompok
dengan sudut pandang kelompok kita sendiri (bdk. Mat 7:1, “Jangan kamu
menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi”). Untuk itu penganut postmodernisme
begitu berhati-hati terhadap berbagai anggapan kebenaran universal; dengan
menggunakan istilah lain yakni “meta-naratif” – sebuah naratif yang berada di
atas semua budaya dan berlaku untuk semua, bisa dikatakan satu super-naratif.
Jadi, nartif atau anggapan kebenaran tidak boleh menjadi universal agar tdak
terjadi pemaksaan saringan yang mengarah pada terjadinya eksploitasi budaya
yang satu terhadap yang lain.[4]
Demikianlah bagi teolog Model penerimaan, di satu pihak kelompok postmodern telah
memberikan sudut pandang positif tentang keindahan, nilai, dan kesempatan
menjadi beraneka ragam, berbuah dan mengandung rahmat kehidupan dari pada
persamaan. Hal serupa juga diungkapkan oleh George Lindbeck, seorang teolog Kristen Model
Penerimaan, pertama yang menangkap pesan postmodernisme dan meluruskankan ke
dalam pemikiran teologi Kristen. Menurutnya
umat Kristiani berkesempatan bukan hanya untuk memfokuskan dan menegaskan
kembali identitas khusus agama Kristiani yang telah diterbangkan oleh angin
modernitas, tetapi juga menjernihkan dan menilai kekhususan agama-agama lain.[5]
Agama: Kata Mendahului Pengalaman
Lindbeck yang menggunakan gagasan postmodernisme mengungkapkan
tiga cara berbeda memahami agama, dan semuanya berhubungan dengan cara
bagaimana seseorang menghubungkan bahasa dan agama. 1. Pemahaman agama yang kognitif-proposisional. Menurut
pandangan ini agama merupakan masalah mengetahui apa yang benar tentang
Tuhan/Yang ilahi lewat berbagai pernyataan yang jelas dan dapat dimengerti.
Jadi seperti melihat apakah antara konsep tentang kebenaran Allah yang kita
mengerti sama seperti apa yang kita ditemukan lewat kehidupan sehari-hari.[6]
Contohnya Alkitab yang dipegang teguh oleh orang Kristen sebagai Firman Allah, di
dalamnya kita telah memiliki konsep bahwa Alkitab adalah Firman Allah dan oleh
sebab itu segala yang tertulis di dalamnya adalah benar, dan ketika kita
menaati apa yang tertulis dalam Alkitab maka kita telah berada di jalan yang
benar. Bagi Linbeck sendiri ini keliru, karena pandangan semacam ini dapat
mengabaikan begitu banyak saringan yang menentukan apa yang kita tahu. 2. Pemahaman akan “gagasan eksperiensial-ekspresif tentang agama”.
Pemahaman ini lebih melihat bahwa Allah/Yang Ilahi merupakan perasaan/pengalaman
iman masing-masing orang. Sejak awal manusia telah memiliki pengalaman itu,
namun baru mulai disadari ketika dihidupkan oleh pengungkapan (simbol atau
kata-kata) tentang pengalaman akan Yang Ilahi tersebut. Dalam hal ini jika kita
berbicara soal agama-agama lain, maka kesimpulannya adalah Yang Ilahi itu satu,
namun dengan pengungkapan iman yang berbeda-beda setiap agama. Sama seperti
yang diungkapkan oleh John Hick dengan “satu Yang Nyata” atau Raimundo Pannikar
bahwa ada satu Misteri yang terbuat dari dari semua jalan agama yang
berbeda-beda.[7]
Namun pandangan ini bagi Lindbeck juga tersesat sebab mereka lupa atau tidak
sadar akan peranan sentral yang dimainkan oleh bahasa dalam semua pengalaman
dan pengetahuan manusia. Saringan bahasa tidak mengikuti pengalaman tetapi
mendahului pengalaman sehingga model terakhir (3), linguistik-kultural lebih dari sebelumnya. Pemahaman ini melihat
bahwa agama merupakan medium (kultural/linguistik) yang mengajarkan
ajaran-ajaran tentang hidup yang benar. Dalam hal ini agama memiliki peran dan
citra religius yang “meyakinkan” dan membawa jemaatnya pada keyakinan penuh
terhadap agama. Dengan kata lain, kata-kata yang digunakan oleh agama (bahasa
agama) mampu menarik kita pada sebuah keyakinan utuh akan kebenaran sebuah
agama/kepercayaan. Seperti kata Linbeck bahwa “kata-kata eksternal”-lah (seperti agama dan
budaya) yang mendahuli “kata-kata internal” di dalam pikiran dan hati kita.[8]
Sama seperti bahasa yang mengartikulasikan pengalaman, jadi bahasa agama yang
terbentuk dari budayalah yang kemudian membentuk pengalaman agama yang kita
miliki. Dengan kata lain menurut Lindbeck dan Hans Frei (mantan rekannya)
kata-kata agama kita melahirkan/membentuk dunia agama kita, membuatnya menjadi
baik dan bernilai, demikian bahasa agama dan berbagai cerita menciptakan dunia
tempat kita tinggal. Oleh karena itu bagi Lindbeck saringan/kacamata menjadi
penting untuk tidak saja memahami dan memandang dunia ini, tetapi juga yang
bisa menentukan apa yang kita lihat, yang bisa memberi makna pada apa yang kita
lihat, kacamata yang tidak hanya menengahi tetapi menciptakan.
Tidak Ada Asas Bersama
Dari apa yang kita dapatkan di atas, bisa dikatakan bahwa
tidak ada yang benar-benar sama bagi semua agama. Setiap bahasa masing-masing
agama terbentuk dari satu budayanya sendiri-sendiri, dan hal inilah yang
kemudian membentuk pengalaman iman masing-masing umatnya. Linbenck mengemukakan
bahwa tiap agama memiliki pengalaman yang berbeda tentang “yang tak dapat
dibandingkan). Menurut Linbeck kita tidak bisa menerjemahkan sebuah bahasa
agama ke dalam bahasa agama lainnya. Walaupun kata-kata yang dipakai dalam
berbagai agama sama, namun makna kata-kata tersebut berbeda, karena tiap kata
itu bermakna hanya didalam teks tertentu atau sistem bahasa dari agama
tertentu. Sebagai contoh “kasih” dalam agama Kristen berbeda dengan dalam agama
Budha.[9]
Bukan berarti bahwa “kasih” tidak bisa didialogkan, namun membicarakan hal ini
menurutnya adalah suatu kedangkalan yang tidak menarik seperti kalau dikatakan
dalam semua bahasa yang digunakan. Artinya, “kasih” tetap bisa di dialogkan
hanya saja, masing-masing agama punya konteksnya tentang makna “kasih” dan
pastinya hanya dapat dimengerti oleh agama tersebut, jangan sampai yang terjadi
dalam dialog nantinya adalah kebingunmgan, karena fungsi dan makna “kasih” yang
ebrbeda dari masing-masing agama.[10]
Jadi pada akhirnya, agama satu tidak bisa menilai agama lainnya dengan
menggunakan tolak ukur agamanya dan tidak ada satu agama yang dapat memahami
/menghakimi agama lain.
Dialog: Sebuah Kebijakan Bertetangga yang Baik
Dalam hal ini Linbeck mengumpamakan dialog antar-agama
seperti hubungan bertetangga yang baik. Agama-agama harus bisa menjadi
tetangga-tetangga yang baik, dan pagar menjadi batas yang jelas antar tetangga.
Setiap agama harus mengenal identitas siapa dirinya dengan baik, menjaga dan
merawat halaman belakangnya masing-masing tanpa harus menyebrang ke halaman
belakang tetangga lain untuk mencari kesamaan-kesamaan yang mungkin dimiliki
agama lain. Dialog antar-agama bisa tetap terjalin dari masing-masing sisi
pagar yang membatasi. William Placher menggambarkan dialog sebagai satu
keberhasilan dalam hal yang bersifat baik dan umum meskipun tidak terorganisir.[11]
Dalam hal ini diaolg antar-agama bisa terjadi begitu saja, di mana agama satu
dengan yang lain “saling bertukar cerita” tentang apa yang mereka rasa penting,
apapun hasilnya, kita lihat saja nanti. Dalam dialog seperti ini kita saling
bertukar, belajar, dan bekerja sama, dari sana kemudian kita bisa melihat
kembali pada diri kita, apa yang perlu kita benahi di halaman belakang kita. Kita
berdialog dan tetap mempertahankan identitas kita rupanya tetap mampu memberi
dampak positif; walaupun kita berbeda dengan yang lainnya, dialog yang kita
lakukan bisa sangat membangun sebuah perspektif baru bagi saya dan keyakinan
agama saya. Seperti yang dikatakan Wittgenstein bahwa permainan bahasa bisa
saling melengkapi; berbicara kepada seseorang yang menggunakan bahasa yang
berbeda bisa memperkaya bahasa saya.[12]
Apologi untuk Apologetika
Paul Griffiths membuat apologinya bagi apologetika. Sama
seperti Linbeck, ia juga menyetujui bahwa agama memiliki nilai-nilai kebenaran
yang bagi penganutnya memiliki dampak besar bagi kehidupan mereka, tetapi tidak
bisa digunakan dengan tujuan untuk mengungguli/mendominasi agama lain. Namun
pada kenyataannya, agama seperti poros kehidupan seseorang atau kelompok ini,
memang bisa membuat dia mampu berdialog,
tetapi tetap dengan anggapan bahwa agama saya dapat mengungguli agama lain.
Apologi yang dijelaskan oleh Griffiths menjelaskan bahwa setiap dialog
antar-agama harus menjadi apologi antar-agama, namun bukan dalam arti “mengaku
salah” tetapi lebih pada “pertahanan” atau “pembenaran formal”, mengakui
kebenaran agama lain juga sebagai kebenaran agama tersebut. Dalam proses
dialognya, kita bisa saling bertukar pikiran, berargumentasi, dan
mempertentangkan; untuk mendapatkan hasil dialog yang baru, maka harus ada
dialog yang dialogis antar-agama seperti yang dikemukakan Hegel dan Marx, dari
pandangan yang berbeda kemudian menghasilkan hal yang baru (“tesis” dan
“antitesis” menghasilkan “sintesis”). Dialog yang apologetik harus bisa
menghasilkan hasil dialog yang produktif.
Banyak Agama, Banyak Keselamatan
S.
Mark Heim satu teolog penganut model penerimaan, menganggap model penerimaan adalah model yang
paling menjanjikan untuk mencapai (atau
mendekati) keseimbangan, karena penekanaan pada “penerimaan” yang semaksimal
mungkin mengenai perbedaan akan hal-hal yang menyangkut jiwa mereka, tujuan
terakhir, dan “pemenuhan” mereka. Baginya “nirwana dan
persekutuan dengan Tuhan saling bertentangan hanya kalau kita menganggap bahwa
salah satunya harus menjadi takdir manusia.”[13]
Karena memang keselamatan agama Kristiani dan pencerahan
agama Budha memang merupakan titik-tujuan yang berbeda-bed, dua “pemenuhan”
yang berbeda, karena itu dua realitas berbeda.
Terkait
dengan keselamatan bagi orang-orang non-Kristiani, Heim kemudian menunjuk satu
kata bagi semua agama, yaitu salvations
(jamak). Tiap agama pastilah mengarah kepada tujuan yang berbeda, jadi bagi
Heim, tidak ada hanya “satu takdir tunggal bagi umat manusia”. “Tujuan” yang
dimaksud oleh Heim sendiri adalah “tujuan akhir”. Maka dari perbedaan-perbedaan
mengenai tujuan akhir tersebut dapat dikatakan pula bahwa perbedaan tersebut
akan tetap berlangsung hingga pemenuhan eskatologis, karena disini Heim sendiri
juga berbicara mengenai eskatologis dalam tiap-tiap agama. Manusia akan
“berbahagia” dalam berbagai cara yang berbeda-beda.[14]
Berangkat
dari hal tersebut, maka kita dapat melihat bahwa Heim sendiri ingin mengatakan
bahwa mungkin saja ada lebih dari satu Tuhan (wujud Ilahi).[15]
Mungkin memang bagi umat Kristiani, hal ini sangat tidak bisa diterima. Tetapi
sebenarnya, dalam kekristenan-pun Tuhan tidaklah hanya ada satu. Disini Heim
menunjuk kepadaTritunggal. Melalui wahyu Yesus sebagai Kristus dan di dalam apa
yang dialami Yesus sebagai yang ilahi, umat Kristiani merasa bahwa yang ilahi
itu bukanlah satu realitas.[16]
Heim
menjelaskan mengapa umat Kristiani berbicara mengenai Tuhan dalam bentuk baik
tunggal maupun jamak. Umat Kristiani mengakui apa yang diajarkan Yesus tentang
“sifat manusia” juga benar tentang “sifat Ilahi”: dalam keberadaan manusia
sebagai “ada”, itu berarti juga bahwa manusia ada di dalam hubungan. Dalam
keberadaan manusia, manusia juga tidak dapat berada sendiri, manusia harus
berada dengan manusia lainnya. Karena dimana ada hubungan, itu berarti ada
manusia. Disini ditekankan bahwa manusia haruslah menjadi “manusia”, dan hal
tersebut menjelaskan siapa manusia (kita) dan siapa Tuhan. Di dalam hubungan
yang terjadi antar manusia itu juga disebut dengan persekutuan. Hal ini
membenarkan keberadaan Tuhan yang haruslah berbentuk Trinitas, satu komunitas
berbeda yang berada dalam hubungan. Hal itu juga menegaskan bahwa semua makhluk
harus menimba keberadaan dan kehidupan mereka dari perbedaan yang memunculkan
hubungan.[17]
Karena tidak ada keberadaan tanpa perbedaan dan persatuan. Manusia harus hidup
dalam hubungan, dimana dalam hubungan tersebut terdapat perbedaan. Seperti
halnya trinitas yang mengakui adanya “banyak” Tuhan, maka juga diakui banyak
agama. Jika demikian, itu berarti juga diakui adanya keragaman hubungan di
antara Tuhan, dan keragaman hubungan dengan Tuhan.
Permasalahan
yang mungkin timbul dari hal ini adalah pertanyaan mengenai surga, apakah
memang surga itu berbeda-beda? Tetapi sepanjang tiap-tiap agama mengakui adanya
perbedaan, Heim membiarkan masing-masing agama memahami hal tersebut melalui
perspektifnya sendiri. Sebagai seorang Kristiani, Heim sendiri mengatakan akan
adanya peringkat dalam keselamatan yang berujung pada adanya hierarki dari
berbagai tujuan akhir ini. Artinya, tujuan akhir dalam tiap-tiap agama itu ada
yang berada di atas, dan ada juga yang lebih rendah. Namun, sekali lagi perlu
diingat bahwa hal ini dilihat dari pandangan umat Kristiani, dan mungkin bukan
pandangan Tuhan. Umat Kristiani membiarkan diri menerima misteri Tuhan yang
merangkul perbedaan. Karena penyelenggaraan Allah adalah penyelenggaraan yang
luar biasa dan misterius. Segala perbedaan, berbagai pilihan yang dibuat oleh
tiap-tiap agama, adalah kebebasan dari manusia itu sendiri untuk memilih.
Kehendak Tuhan memungkinkan sesuatu yang tidak dikehendakinya, pilihan-pilihan
itu bisa saja adalah kehendak Tuhan, tetapi bisa juga tidak. Kalau manusia
memilih kurang dari tawaran Tuhan, bukan berarti bahwa manusia memilih yang
tidak dikehendaki oleh Tuhan. Dan manusia harus menerima
misteri Tuhan yang merangkul berbagai diversitas, berkaitan dengan tempat
kehidupan sesudah kematian. Jika model mutualitas mengharuskan
tiap-tiap agama untuk melepas kebenaran absolutnya, maka model ini justru tidak
boleh melepas kebenaran absolutnya. Kebenaran absolut, menurut Heim, justru
merupakan substansi dan energi untuk berdialog. Setiap orang dapat setuju
maupun tidak setuju ketika berdialog dengan mempertahankan kebenaran absolut,
dari situlah orang yang berdialog itu dapat sadar akan kebenaran agama “yang
nyata dan alternatif”, dan juga sadar untuk membuka diri
untuk mempelajari sesuatu yang baru.[18]
Tentu juga, karena kebenaran absolut, orang yang berdialog, pastilah akan
mempertahankan keyakinannya, dan menganggap agamanya lebih superior, hal itu
membuatnya menjadi inklusivis yang mana tidak dapat dihindari. Justru akan
menjadi usaha yang kontraproduktif jika inklusivis berusaha untuk dihindari.
Karena kita hanya akan mengejar kebenaran dengan cara memperkuat kebenaran kita
sendiri.[19]
Kita hanya bisa mengatasi hal tersebut dengan cara menerimma dan mengakui
kebenaran yang terdapat dalam agama lain yakni dengan
saling bertukar: memberi kesaksian dan diberi kesaksian.[20]
Tentu saja dari bentuk ini, kompetisi tidak akan terelakkan. Tetapi bentuk ini
mungkin tetap menguntungkan bagi mereka yang dapat melihat kesaksian yang
berbeda dari yang lain. Dan jika ada hadiah dalam kompetisi ini, maka hadiahnya
akan dimenangkan oleh mereka yang paling mampu menghimpun semua agama
bersama-sama.[21]
Tempat Kristus
Bagi Linbeck dan Joseph DiNoia, sebagai umat Kristiani,
percaya bahwa Kristus-lah (Christus solus)
jalan keselamatan bukan berarti kita harus menyangkali keselamatan yang
dipercayai dalam agama-agama lain. agama lain juga punya pemahaman keselamatan
yang lain. Kebanyak penafsiran terhadap ajaran/doktrin dan kitab dalam agama
kita masing-masing pasti mempengaruhi pola pikir kita dalam melihat agama-agama
lain. Sehingga ketika membaca teks-teks keagamaan kita masing-masing disarankan
agar membacanya dalam konteks plural, ini merupakan salah satu contoh dimana
penafsiran pembaca juga bisa berkembang di tengah konteksnya.[22]
Bila berfikir dalam perspektif Kristen, lantas bagimana mereka bisa mencapai
keselamatan, bila keselamatan hanya ada di dalam Kristus? Berbicara mengenai
hal ini, para teolog mengaku bahwa mereka tidak dapat mengatakan dengan pasti
bagaimana hal itu bisa terjadi. Paul Griffits mencoba lebih berspekulasi, kita
tidak tahu akan hal ini, di satu sisi kita percaya bahwa keselamatan ada pada
Kristus, tetapi di sisi lain Allah mengasihi manusia dan mengkehendaki
keselamatan bagi semua orang; semua berada di luar pemahaman manusia.
Heim yang melangkah melampaui Lindbeck mengakui adanya posibilitas,
yaitu banyak cara yang berbeda-beda untuk memperoleh pemenuhan dan kebahagiaan
kekal. Tetapi Heim sendiri tetap memandangnya sebagai seorang Kristiani, dimana
menurutnya umat Kristiani-lah, yang berorientasi pada Yesus Kristus. Disini
dia menunjuk kepada Kristosentris. Umat Kristiani melalui Kristus, telah
mengalami dan memahami Allah Trituggal. Dari hal tersebut Kristus telah
menunjukkan dengan jelas bahwa karena Allah itu begitu personal dan relasional,
Ia bisa berkarya melalui partikularitas dan perbedaan di dalam usahanya untuk
menghubungkan diri-Nya dengan ciptaan-Nya. Karena ciptaan Allah berbeda-beda,
maka hubungan Allah juga akan berbeda-beda pula. Jadi saat
umat Kristiani memutuskan untuk mengikuti Kristus dengan segenap hati dan akal
budinya, mereka juga harus membuka hati dan akal budi mereka itu bagi apa yang
mungkin Allah lakukan melalui Budha atau Muhammad atau Krishna. Dalam hal ini
umat Kristiani mencoba membuka pemahamannya tentang juruselamat lain
sebagaimana mereka mengakui Yesus sebagai Juru Selamat dunia, demikian pula
mengakui integritas dari berbagai umat Budha bahwa Budha merupakan juruselamat
dunia. Jadi
dapat dimengerti bahwa Yesus Kristus mengakui pentingnya dan validitasnya
partikularitas, yaitu Allah yang mentransformasi kehidupan. Hal ini mampu menyeimbangkan antara komitmen penuh terhadap Yesus dan
keterbukaan penuh penuh terhadap agama-agama lain. Sebagai seorang
Kristiani, melalui imannya akan Tirinitas, ia percaya bahwa Allah memakai
berbagai sistem yang ada untuk menyampaikan wahyu dan menyelamatkan. [23]
Pada tahap ini ia juga mengkritik
penganut Kristen Anonim yang menganggap bahwa Kristuslah yang menyelamatkan,
dan menjadikan Kristus sebagai tujuan akhir mereka. Dia mengingatkan bahwa
fungsi dari tiap agama adalah untuk mencapai tujuan akhir dari masing-masing
agama, bukan menjadikan Yesus sebagai tujuan akhir. Heim sendiri menunjukkan fenomena yang tidak bisa dihindari oleh umat
Kristiani sebagai orang yang melihat dari kacamata/saringan Kristiani bahwa
Yesus merupakan ungkapan yang sangat jelas dan efektif dari siapa Allah
sebenarnya (personal dan tritunggal), dan inilah yang umat Kristiani saksikan
saat mereka berdialog dengan umat beragama lain, serta akan menjadi pengharapan
mereka bagi apa yang mereka perkirakan akan terjadi, atau bisa terjadi dari
dialog tersebut. Namun Heim mengingatkan sekali lagi bahwa ini bukanlah
keharusan, karena gunung agama Kristiani tidak akan lebih tinggi dari yang
lainnya dan tiap gunung agama-agama cukup tinggi bagi mereka yang diam
didalamnya sehingga mereka benar-benar dipuaskan. Keberagaman puncak gunung ini
memperlihatkan kepada kita akan perbedaan kehidupan ilahi.[24] Inilah keunikan Keunikan Kristus yang tidak selalu
sempurna didalam keunikan lainnya yang abadi. Disamping itu mungkin untuk umat
beragama lain akan terarah pada Kristus hanya apabila ia menunjukkan perbedaan
Yang Ilahi yang terungkap secara penuh dalam Kristus.
Teologi
Komparatif
Jika semua model yang telah dibahas
dimulai dengan tradisi Kristiani, maka teologi Komparaif justru memulainya dari
titik yang paling akhir. Teologi ini membalikkan seluruh proses dari semua
model yang telah dibahas. Semua bentuk teologi agama-agama Kristiani adalah
hasil dari berdialog, dan bukan pendahuluannya.
Clooney
dan Fredericks menggambarkan teori dan teologi agama-agama yang dibangun oleh
teolog masa kini seperti antropolog “kursi malas” yang membuat generalisasi
tentang suatu budaya itu berfungsi tanpa pernah mengunjunginya. Data, bagi
teologi agama-agama bukan hanya berasal atau dimulai dari teologi saja, tetapi
juga dari agama-agama. Teologi itu seperti mikroskop dimana umat Kristiani
meneliti dan memahami agama-agama lain, tetapi studi tentang dan berdialog
dengan agama-agama lain justru menempatkan agama-agama lain sebagai data yang
ditaruh dibawah mikroskop. Fredericks menunjuk kepada tiga model, model
penggantian, penerimaan, dan pemenuhan, yang menghalangi umat Kristiani untuk
memahami kekuatan dan sesuatu yang baru.
Memahami
diri sendiri melalui perbandingan dengan yang lain.
Menurut
Frederick untuk memahami diri sendiri (iman agama Kristiani) yang lebih baik
maka kita perlu memiliki pemahaman yang baik tentang yang lain.[25]
Agama lain bukan sekadar ‘data baru’ yang diletakkan dibawah mikroskop
kristiani tetapi juga materi untuk menghasilkan mikroskop baru artinya wawasan
dari agama-agama non Kristiani tepatnya sebagai sumber. Teologi komparatif yang
berarti juga dialog bagi Clooney haruslah dialog antara teks agamanya dan teks
agamamu, jika demikian maka pemahaman tentang agama Kristiani bukan saja
menjadi luas, tetapi juga tertransformasikan.[26]
Dalam hal ini Da’Costa menjelaskan bahwa masing-masing
teks-teks agama yang di dialogkan tidak bisa diperbandingkan begitu saja,
justru dalam proses dialognya teks agama kita juga perlu memperhitungkan
“pengungkapan pengalaman”. Ini merupakan upaya pluralis untuk menghargai
pengalaman orang lain sebagai “pengalaman mereka” dan pengalaman kita sebagai
“pengalaman kita”. Perlu disadari walaupun berbeda, tetapi dalam proses
transformasi itu ada refleksi dari hasil dialog.[27]
Pertama-tama
tentu dimaksudkan membawa perubahan dalam diri agama Kristen itu sendiri
sebelum berpikir tentang perubahan dalam agama lain. Dalam melakukan dialog ini
perlu untuk tidak melakukan perbandingan yang telalu besar seperti teks khusus,
ritual, kepercayaan, teolog terkenal, konteks terbatas,atau beberapa periode
historis. Melainkan beberapa hal yang perlu untuk didialogkan adalah
masalah-masalah konkret seperti tema-tema besar dan
abstrak seperti yang terakhir, atau sifat manusia, atau tujuan sejarah.
[28] Juga masalah-masalah konkret dalam pengakuan iman, peraturan agama, atau
upacara agama.[29] Oleh
karena itu sifat kerendahatian seorang dialog dalam membatasi diri untuk tidak
mendialogkan semua hal sangat dibutuhkan disini. Tujuan dialog yang baik juga
tidak hanya sekadar mencari pengamahaman ataupun pengertian tetapi juga
mengetahui apakah kepercayaan tersebut benar, singkatnya mendapatkan masalah
baru, wawasan baru dan kebenaran baru.[30]
Oleh karena itu banyak hal dipertaruhkan termasuk iman seseorang maupun
komunitasnya.[31]
Ini bukanlah suatu pekerjaan yang langkah-langkahnya dapat di direncanakan atau
yang hasilnya dapat diketahui sebelumnya.
Clooney
dan Fredericks setuju bahwa ketegangan dalam tarik menarik antar kebenaran
adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari dalam dialog. Lebih jelas
Frederick menyebut krisis atau ketegangan ini adalah antara benar-benar terbuka
terhadap yang lain dan siap untuk perubahan disatu pihak atau kerapuhan
terhadap kuasa transformatif dari Yang Lain, namun dilain pihak tetap berpegang
pada dan agamanya sendiri atau kesetiaan terhadap tradisi Kristiani.[32]
Walaupun sangat terlihat bahwa terjadi berat sebelah karena upaya mendengarkan
ini hanya dari pihak Kristiani, tetapi inilah yang memang ingin dilakukan
penganut model penerimaan, yaitu mereka ingin mengakui agama lain tradisi dan
penganut agama lain seperti adanya mereka tanpa mengatakan kepada mereka apa
yang harus mereka perbuat.[33]
Sementara
itu sisi lebih dari teologi komparatif yang menurut Frederick mengarah pada
teologi dialogis adalah membangun persahabatan: mengenal, menghargai dan
mengasihi penganut agama lain. Mengasihi umat beragama lain disini bagi
Frederick bukanlah Agape sebagaimana pengikut Krsitus, sehingga kepedulian dan
kasih sayang harus kita berikan kepada semua orang, melainkan kasih
preferensial, kasih yang muncul dan memenuhi kita karena adanya berbagai
kualitas khusus yang kita temukan dalam diri orang lain yang disebut dengan
filia. Jadi bukan karena perintah Yesus untuk mengasihi tetapi karena adanya
kebaikan dan kebajikan seseorang sejak dilahirkan.[34]
Dengan demikian persahabatan abadi menjadi cara bermanfaat untuk berselisih
pendapat secara jujur dan mendalam.
Dalam
berselisih pendapat yang demikian ini, kita masih mampu berkomitmen pada
Yesus, dan komitmen ini tidak hanya
terjadi sebelum kita mengalami kerapuhan terhadap yang lain, tetapi komitmen
ini juga mengatasi kerapuhan tersebut. Kalau diperhatikan maka akan terlihat
bertolak belakang antara komitmen terhadap Yesus tetapi disisi lain mengalami
kerapuhan akan yang lain. Oleh karena itu bagi Frederick sendiri berkomitmen
kepada Yesus sebagai anak Allah yang unik tidak mengurangi kerapuhan umat
Kristiani terhadap agama-agama lain atau kesediaan mereka untuk digoncang dan
ditransformasikan oleh berbagai teks dan simbol lainnya. Bagi para teolog
komparatif, teks (menurut Clooney sebagaimana dalam agama Kristiani yaitu Injil
dan tradisi) dan konteks (teks-teks dan tradisi agama lainnya) hendaknya dibaca
secara timbal balik. Mempelajari dan menerima teks-teks ini (konteks) hendaknya
dari sudut pandang mereka sendiri (si penerima). Oleh karenanya seseorang dalam
memandang agama lain agar “seperti apa adanya haruslah menggunakan kacamata
agamanya sendiri. Kalau tidak maka sama saja dengan membohongi diri sendiri.
Begitu juga dengan umat Kristen yang menemukan sesuatu diluar Kristus maka
harus memahaminya dari dalam dan mengintegrasikannya kedalam agama Kristen
sendiri. sebegitu dalamnya umat Kristiani terbentuk dan tergengam bahkan
terbatasi oleh kultur dan bahasa agama kita sendiri sehingga tidaklah mungkin
teks-teks agama lain (dalam hal ini Hindu) menjadi sentrum dan Alkitab menjadi
tepi melainkan sebaliknya.[35]
TANGGAPAN
Model
Penerimaan menurut kelompok merupakan satu-satunya model yang memang
benar-benar berada di tengah-tengah papan jungkat-jungkit. Model ini disatu
sisi bisa dibilang lebih unggul dari model-model lainnya dalam hal keterbukaan
dialogis. Salah satu kelebihan model ini adalah perbedaan sangat diterima,
perbedaan yang ada itu dihargai dan disyukuri sebagai bagian dari kehidupan
masyarakat. Perbedaan inilah yang menimbulkan dialog antar-agama. Dialog yang
terjadi juga harus merupakan dialog yang dialogis, masing-masing agama tetap
berdiri pada identitasnya namun harus bisa terbuka dan menerima kritik dari
satu sama lain untuk bisa menjadi lebih baik. Dalam dialog tidak perbolehkan
mencari kesamaan-kesamaan yang hanya untuk “cari jalan damai” dan tidak
membangun. Sama seperti perumpamaan yang ditawarkan oleh Linbeck, dalam dialog
kita harus bisa seperti seorang tetangga. Berdialog dari masing-masing sisi
pagar kita, tidak boleh mencari kesamaan-kesamaan tanaman untuk kita samakan
dengan tanaman halaman belakang rumah kita.
Dalam proses dialog antar-agama ini, kita bisa
menggunakan bahasa agama, namun tidak dengan maksud untuk
mendominasi/mengklaim/menguasai agama lain. Dalam hal ini kita menerima agama
lain dengan kebenaran yang ia miliki. Masalah keselamatan, sifatnya lebih pada
Allah sebagai pemberi keselamatan. Kita sebagai penganut agama punya pemahaman
masing-masing mengenai keselamatan, dan untuk itu dalam dialog antar-agama kita
juga menerima dan menghargai konsep keselamatan yang miliki oleh agama lain.
Menarik bahwa Yesus dalam hubungannya dengan Trinitas merupakan salah satu
pewahyuan Allah yang dapat dikatakan sejajar dengan Budha juga Krishna dalam
agama Budha dan Hindu sebagai Juru Selamat dunia. Model penerimaan ini menantang umat Kristiani sebagai yang memilih mengikut
(memegang kepercayaan penuh pada) Yesus untuk mau menerima Budha dan Krishna
jika ternyata setelah Budha dan Krishna didialogkan dan akhirnya ada sesuatu
yang baik dan benar dalam Budha yang belum terdapat dalam agama Kristiani.
Apakah kita bersedia jatuh pada konsekuensi kemungkinan untuk memegang atau
menerima Budha sebagai juga adalah Juru Selamat? Atau dengan kata lain dapatkah
seseorang memegang dua kepercayaan sekaligus? Apakah ini sesuatu yang bagus
atau justru merupakan masalah baru seperti bagi umat Kristiani, seperti
keberlangsungan ajaran agama Kristiani itu sendiri?
Selain kelebihan yang telah diungkapkan diatas kelompok
melihat kekurangan dan kritik terhadap model ini, yakni seperti yang diucapkan
oleh Heim dalam bukunya: model ini mengarah pada relativisme di mana apa yang
benar dalam istana agama saya mungkin saja benar dalam agama anda, atau juga
mengarah pada solipisisme di mana kita tidak bisa melihat sesuatu lebih
daripada apa yang ada dalam istana kita.[36]
Disamping itu kelompok juga menyadari kelemahan lain yang belum disebutkan
dalam buku yaitu kelompok merasa bahwa model ini bisa dibilang bersifat
paradoks. Karena keadaan model ini kadang kala bisa universal dan bisa
partikular, membuat kelompok bingung akan menegaskan mana batasan model
penerimaan dan yang bukan. Kelompok merasa ada ketidakkonsistenan mengenai
bagian-bagian yang perlu didialogkan. Salah satu ketidakkonsistenan dalam model
ini yang kelompok dapati adalah dalam pembahasan mengenai “keadialan”. Keadilan
dalam tiap agama memiliki pijakan yang berbeda-beda dalam mengambil putusan dan
oleh karena itu menurut Heim, sebaiknya keadilan tidak didialogkan, karena
keadilan adalah cara ekslusif untuk merancang pokok permasalahan.[37]
Namun dipenjelasan berikutnya Heim mengaskan bahwa dialog etika dimungkinkan,
padahal “keadilan” sendiri dapat dibahas dalam ranah etika, sehingga mau tidak
mau “keadialan” harusnya dapat terbuka untuk didialogkan. Ketidakkonsistenan
lain yang kelompok temukan dan dapat didiskusikan adalah dalam masalah bahasa agama. Disini kelompok mempertanyakan apakah kemudian dalam dialog antar agama
yang menggunakan bahasa agama (misalnya kasih dalam pemahaman Kristiani dan
dalam pemahaman Islam) bisa didialogkan dalam/dari sudut pandang budaya (budaya yang dimaksud adalah budaya sehari-hari
katakan dalam konteks budaya jawa )? Apakah dialog hanya dapat dilakukan
sebatas dalam bahasa agama? Jika tetap mau berangkat dari sudut pandang budaya
apakah akan tetap bisa terjalin dialog yang dialogis?
[8]Ibid. p. 213; lihat juga D’Costa,
Gavin. Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen:Mitos Teologi Pluralis
Agama-agama.Jakarta: Gunung Mulia. 2002. p.124
[9]Ibid. p. 215
[10]Bdk. p. 215-216
[11]Ibid. p. 219
[12]Ibid. p. 219
[13]Ibid. p. 227
[22]Bdk. D’Costa, Gavin.
Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen:Mitos Teologi Pluralis Agama-agama.Jakarta:
Gunung Mulia. 2002. p.125-129
[23]Ibid. p.238
[24]Ibid. p.239
[25]Ibid. p.242
[26]Ibid. p.243
[27] Bdk. D’Costa, Gavin.
Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen:Mitos Teologi Pluralis
Agama-agama.Jakarta: Gunung Mulia. 2002. p.141-142
[28]Ibid. p. 244
[29]Ibid. p. 245.
[30]Ibid. p. 247
[31]Ibid. p. 245
[32]Ibid. p. 246
[33]Ibid. p. 247
[34]Ibid. p. 248
[35]Bdk. p.249- 251
No comments:
Post a Comment