Tiru-meniru merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan
dari diri manusia. Dengan kemampuannya, ia mencoba mengokohkan pribadinya
walaupun sebenarnya tidak real; yang
ada adalah pembuktian untuk dapat “mengalahkan” rivalnya (hasrat segitiga).
Pembuktian bahwa ia dapat mengalahkan idolanya. Namun menurut Girard, sistem
hasrat segitiga tidak hanya sampai di situ saja. Kaum novelis memperlihatkan
bahwa hasrat segitiga membawa manusia pada dua pilihan hidup; mati dalam arti
benar-benar mati dan mati untuk hidup. Kirilov justru memilih pilihan yang
pertama. Bunuh diri ia dijadikan sebagai cara untuk membuktikan bahwa ia mampu
menyaingi mediatornya, terutama Tuhan (ia melakukan hal paling di takuti oleh
manusia, yakni kematian). Ia ingin membuktikan keunggulan dirinya dengan bunuh
diri sebagai tanda bahwa ia tidak takut pada kematian. Namun apakah dengan
bunuh diri berarti ia dapat menjadi Tuhan? Sebaliknya, menurut Girard bunuh
diri justru memperlihatkan ketidakberdayaannya di hadapan Tuhan,[1]
dan terjerumus pada peniadaan diri (ia gagal). Kirilov yang menginginkan
kehidupan lewat kematian salah mengartikan imitatio
Christi-nya. Dalam ajaran Rasul Paulus tentang Kristus kita juga menemukan
pemahaman yang menyinggung masalah ini; bahwa kematian adalah jalan menuju pada
kehidupan baru (lih. 1Tes 4:14).
Kematian Kristus, memberikan hidup baru bagi manusia. Di sini saya bisa melihat
pemahaman Kirilov salah, bahwa dengan bunuh diri ia dapat hidup kekal (menjadi
ilahi – seperti Kristus), sedangkan Paulus menurut saya benar karena hidup
dengan mengikut Kristus hingga rela mati (martir).
Menurut Girard, akhir dari hasrat metafisik adalah
kematian.[2]
Kematian membawa manusia pada kehidupan, tetapi juga bisa pada kematian yang
menghancurkan (apokaliptis Dostojevsky). Menurut Girard, kaum novelis
sebenarnya ingin memperlihatkan pertobatan tokoh-tokohnya dalam
ketidakberdayaannya menghadapi kematian. Lewat pertobatan dalam
ketidakberdayaannya mereka menemukan kehidupan baru. Sama seperti Rahmat biji
gandum yang dijelaskan oleh Sindhunata dalam bukunya.[3]
Jika biji gandum yang ditabur tidak mati di tanah, ia akan tinggal sendiri,
tetapi jika ia mati, ia akan menhasilkan buah banyak dan berlimpah-limpah (Yoh
12:24). Dalam pertobatan itu, para tokoh menang dalam kekalahannya. Ketidakmampuan,
kelemahan fisik yang akan membawanya kepada kematian membuat mereka sadar dan
bertobat dari hasrat segitiganya, sehingga walaupun mereka telah mati mereka
mendapatkan kehidupan “kebahagiaan” (atau sama seperti : walaupun mereka telah
mati, mereka tetap dikenang).
Keseluruhan konsep hasrat segitiga Girard merupakan isi
dari pengertian “mimesis”. Hasrat segitiga itulah mimesis. Seperti yang telah
kita ketahui bahwa hasrat segitiga adalah bagian yang membelenggu kehidupan
manusia. Manusia tidak bisa dipisahkan dari hasrat segitiga, yakni hubungan
subjek – mediator – objek. Subjek mengidolakan mediator dan menganggap mediator
sebagai sesuatu yang tidak terkalahkan. Namun, secara bersamaan ia juga
membenci mediator dan menganggapnya sebagai rival yang harus bisa ia kalahkan.
Ketiganya memiliki hubungan yang kompleks. Konsep Girard ini tentu saja
berbanding terbalik dengan konsep subjek yang otonom (Girard pro novelis –
kontra romantik). Menurut Girard, individu hidup dalam masyarakat. Keduanya
berbaur; individu di dalam masyarakat dan di dalam masyarakat ada individu
sehingga lahirlah mimesis dalam masyarakat dan individu. Individu meniru
masyarakat namun masyarakat juga meniru individu. Menurut Girard, sistem yang
tiru-meniru ini bisa di lihat negatifnya namun juga ada positifnya. Mimesis
dapat menghancurkan, namun juga dapat mengidupkan lewat pertobatan yang
membahagiakan. Girard menyebutnya “visi”, visi filosofis-metafisik yang
apokaliptis.[4]
Girard agaknya tidak setuju dengan Plato. Menurutnya
Plato terlalu idealis dengan membedakan antara idea dan benda-benda jasmani.
Idea sempurna, sehingga yang jasmani harus meniru idea. Yang jasmani harus bisa
meniru yang idea supaya bisa sempurna seperti idea. Yang jasmani tidak bisa
berada tanpa idea, karena yang idea hadir dalam jasmani itu. Menurut Girard
masalahnya lebih kompleks dari itu. Mimesis menghidupkan hubungan subjek dan
mediator. Subjek meniru mediator; di sana ada masalah serta persaingan yang
sifatnya sangat kompleks yang juga dapat menimbulkan konflik antar keduanya.[5]
Begitu juga dengan dialog konsep Girard dan Hegel. Teori
Hegel tentang “kesadaran yang tak membahagiakan” menurut Girard tidak bisa
merangkum apa yang ia maksud dengan mimesis. Dalam teori Hegel “desiring the desire of the others” di
sini manusia harus bisa mendapatkan pengakuan dari orang lain dengan
menunjukkan bahwa dirinya memiliki hasrat yang dihasratkan orang lain (dia
harus bisa menjadi mediator bagi orang lain). Sedangkan dalam teori Girard “I desire according to the other” di sini
justru malah sebaliknya hasrat saya diatur oleh apa yang dihasaratkan orang
lain (dia sebagai objek dengan orang lain sebagai mediatornya).[6]
“kesadaran yang tak berbahagia”-nya Hegel justru merupakan bagian yang hidup
dalam diri subjek (dalam sistem hasrat segitiga-nya Girard). Kecenderungan
subjek yang tidak bisa menyaingi mediatornya membuatnya jatuh dalam kehancuran
diri. Sedangkan “dialektika tuan dan budak”-nya Hegel berdasarkan keberanian
fisik (siapa tidak takut menjadi tuan dan siapa takut menjadi budak) dilihat
berbeda oleh para novelis. Sebaliknya, kaum novelis melihat dialektika tuan dan
budak tidak atas dasar keberanian fisik, oleh karena itu budak tidak boleh
menunjukkan kelemahannya bila tidak ingin kalah, karena ia sadar ia juga menginginkan
apa yang diinginkan oleh tuannya. Keberanian fisik bagi Girard bukan tanda
kemenangan tuan, tetapi tanda kekalahan budak.[7]
Hegel melupakan konflik yang terjadi dalam hubungan antara subjek dan mediator
yang menginginkan objek yang sama. Mimesis memang dapat menghancurkan manusia,
tetapi juga menyediakan kebahagiaan untuk mengatasi kehancuran bagi manusia
(visi mimesis yang apokaliptik)[8].
No comments:
Post a Comment