I.
PENDAHULUAN
Gelar Anak ALLAH dan Anak Manusia dalam Tradisi Yahudi
dan Kristen
Dalam tradisi keyahudian kedua gelar atau penyebutan ini
sering digunakan untuk merujuk kepada orang-orang pilihan Allah. Sebutan anak
Allah bisanya diberikan kepada bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah, serta
kepada raja-raja Israel yang telah di urapi Imam untuk menjadi pemimpin bangsa
Israel sebagai orang pilihan Allah. Dengan kata lain ungkapan anak Allah
dipahami sebagai bentuk khiasan dalam tradisi keyahudian. Di dalam
tulisan-tulisan Yahudi, pemakaian gelar anak Allah tidak pernah diartikan bahwa
orang yang menyandangnya mengambil bagian di dalam kodrat ilahi.[1] Begitupun dengan gelar anak manusia. Gelar ini
harus di lihat secara kontekstual bersamaan dengan zaman pembuangan yang
digambarkan oleh para nabi perjanjian lama; ada pengharapan eskatologis yang
ditinggal oleh nabi terkait dengan konteks zamannya. Dari sana kemudian muncul
nubuat-nubuat akan lahirnya seorang mesias yang akan membebaskan bangsa Israel
dari perbudakan dan penjajahan. Sama seperti yang digambarkan oleh nabi Yesaya
terkait dengan akan lahirnya Sang Mesias itu. Yesaya menggambarkan sosok Mesias
sebagai seorang manusia (utusan Allah) yang datang membebaskan bangsa Israel
dari perbudakan (dengan jelas digambarkan bahwa Sang Mesias yang akan lahir itu
dari keturunan Daud), sehingga dalam tradisi Yahudi seterusnya konsep akan
Mesias (Almasih) yang berarti: “Yang terurapi” menjadi bagian yang terus
melekat dalam pengharapan bangsa Israel.[2]
Dalam tradisi keKristenan konsep tentang anak Allah dan
anak manusia sering kali menjadi perdebatan. Kelompok-kelompok tertentu
terkadang bersikap keras bahwa Yesus adalah anak Allah, atau Yesus sebagai anak
manusia saja. Namun keempat injil dengan jelas menyakatakan tujuannya yang
menggambarkan Yesus sebagai Kristus, anak Allah. Markus mengungkapkan imannya
lewat kesaksian akan riwayat hidup Yesus dengan tujuan untuk menekankan bahwa
Yesus adalah Kristus dan anak Allah dalam penderitaanNya, dalam sengsara dan
wafatNya. Matius juga kurang lebih menekankan hal yang sama, berdasarkan
konteksnya sendiri ia ingin menekankan bahwa “Kristus adalah penggenapan hukum
taurat” dengan menggambarkan gereja sebagai pemenuhan cita-cita dan harapan
Israel. Begitu pula dengan Yohanes. Agaknya injil yang satu ini benar-benar
menekankan sosok Yesus dalam keunikanNya sebagai anak Bapa; ia menekankan
kesatuan Yesus dengan Allah Bapa. Antara kedua pola ini, Yesus sebagai manusia
dan Yesus sebagai Allah, terwujudkan misteri Yesus dari Nazaret yang oleh
Gereja purba imani sebagai Kristus, Anak Allah.[3]
Dengan kata lain, konsep Anak Allah dan anak manusia dalam tradisi kekristenan
lahir dari pemahaman akan injil yang menggambarkan sosok Yesus dengan Sang Bapa
serta karyaNya (kematian dan kebangkitanNya) yang mendapat arti Ilahi dalam
pengalaman iman Kristen.
II.
YESUS SANG ANAK ALLAH DAN ANAK MANUSIA DALAM PERSPEKTIF
TEOLOGI INJIL YOHANES 1:1
Logos dan Daging (Yohanes 1:1)
Yohanes 1:1 menjadi fokus teologi penulis dalam
mengungkapkan imannya. Yohanes menekankan kata logos yang sepertinya telah
dipahami konteks pembacanya. Kata “logos” merupakan kata dalam bahasa Yunani
yang memiliki makna yang cukup luas; biasanya diterjemahkan secara umum sebagai
“kata”, “pesan”, “uraian”, atau “kisah”. Sepertinya kata “logos” memang lazim
digunakan pada zaman penulis, maraknya istilah ini berkembang dikalangan
(Filsafat Helenis Romawi) umum sepertinya menjadikan istilah ini lebih mudah digunakan
untuk menjelaskan teologi penulis Yohanes tentang Kristus di tengah-tengah
pembacanya. Penggunaan kata “logos” dalam Yohanes 1:1 tidak lantas menjadikan
penulis Yohanes jatuh dalam konsep “logos” yang berkembangan di kalangan umum
konteks Helenis Romawi. Ia menegaskan bahwa “logos” yang hendak ia jelaskan
adalah logos yang sudah ada sebelum penciptaan dan yang berinkarnasi.
James Dunn menjelaskan bahwa sepertinya Yohanes telah
menyatukan dua cara yang agak berbeda untuk memahami Kristus dalam kekristenan
abad pertama. Di satu sisi, ada konsep Hikmat dan Logos yang mengidentifikasi
Kristus sebagai hikmat-Logos yang
pre-existent dan personal. Di
sisi lain, ada pemikiran bahwa Kristus adalah Anak Allah yang diutus oleh Bapa.
Menurutnya penulis Yohanes kemudian menyatukan kedua konsep tersebut (pribadi
yang berpraeksistensi dan Anak Allah yang diutus) dan kemudian berbicara
perihal tentang Kristus sebagai anak yang diutus dari atas, serta sebagai
pribadi yang diutus keluar dari kemuliaanNya, yang memiliki pra-eksistensi.[4]
Dengan kata lain sepertinya Yohanes 1:1, dimana penulis
menyebut kata “logos” sebagai Allah (Theos)
kadalah karena Dialah Anak Allah yang menyatakan Bapa dan kemuliaanNya kepada
umat manusia. Logos adalah Allah justru karena Ia adalah penyataan diri Allah,
dan sebagai Anak Allah, Ia menanggung dan menyatakan kemuliaan yang sama dengan
Allah. Untuk itulah sejak awal Yohanes telah menyoroti sifat penyataan Allah
dalam Logos dengan menempatkan “Theos”
dalam posisi yang menonjol dengan pernyataan tegas bahwa καὶ θεὸς ἦν ὁ λόγος. Sepertinya Yohanes ingin membuat
Allah yang dapat dikenal oleh manusia, dalam diri Yesus, yakni Logos yang
berinkarnasi dan ditinggikan sama seperti Allah.[5]
Penjelasan
tentang Yesus sebagai Anak Allah dan Anak Manusia dalam Yohanes 1:1
Di atas telah di jelaskan bagaimana pemikiran Yohanes
terhadap konsep “logos” yang ia gunakan dalam merumuskan teologinya. Bagi
Yohanes “logos” adalah utusan Allah (Anak Allah) yang hadir ke dalam dunia
sebagai bentuk manifestasi Allah dengan tujuan karya penyelamatanNya. Injil
Yohanes yang begitu menekankan keallahan Yesus, entah sebagai Anak Allah atau
bahkan sebagai Anak Manusia, tidak bisa dimulai dari hanya tanda-tanda yang
dilakukanNya, atau dari kelahiranNya saja, tetapi dimulai dari “surga” dan bukan
di dunia. Namun pekerjaanNya di dunia juga tidak bisa di abaikan begitu saja.
Dalam injil Yohanes digambarkan pekerjaan Yesus di dunia, lewat tanda-tanda dan
mujizatNya. Yohanes ingin memang memulai dasar pemahaman teologinya dari
“logos” yang bersama-sama dengan Allah, namun penekanan selanjutnya ada pada
logos yang hidup dan tinggal bersama-sama dengan manusia. Ia mau menjelaskan
bahwa tidak ada seornag pun yang pernah melihat Allah, tetapi Anak Tunggal,
yang adalah Allah sendiri itu menyatakan diriNya, dan memperlihatkan
kemuliaanNya.
Yohanes 1:1 diungkapkan di awal sebagai dasar yang
menekankan Yesus betul-betul berasal dari Allah, dan Ia hadir di dunia sebagai
Anak Allah yang menyatakan kemuliaanNya. “Pada
mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu
adalah Allah.” Bila coba di perhatikan baik-baik, ayat ini ingin mengatakan
bahwa Firman adalah Allah, yang dengan kata lain Firman itu tidak sama dengan
Allah, Firman terbedakan dari Allah. Tetapi, Firman itu adalah Allah. Berikutnya,
Firman bersama-sama dengan Allah, yang menunjukkan bahwa pada mulanya memang
adalah Firman (tidak ada apa-apa sebelum Firman). Firman hanya ada pada
mulanya, yang menunjukkan kalau Dia “bersama-sama dengan Allah”, kalau Dia sama
“pada mulanya” seperti Allah, kalau Dia “adalah Allah” (sama dengan Allah),
serta kalau tidak ada pembedaan antara Allah dan Firman dalam hidup bersama
yang sejak semula. Barrett mengemukakan bahwa Firman adalah Allah, tetapi bukan
pribadi yang demikian (sama).[6]
Sebagai pribadi mereka memang terbedakan tetapi sebagai “Allah” dalam arti
sebagai yang “pada mulanya” mereka sama: “Firman adalah Allah.” Namun kemudian
Allah menyatakan diri, menjadi Firman: bahwa Firman adalah Pewahyuan Allah. Kesatuan
Yesus dengan Allah secara eksplisit dihubungkan dengan pewahyuannNya; Yesus
hadir sebagai bentuk penyataan Allah.
Yesus yang hadir sebagai pewahyuan Allah merupakan
penggambaran yang eksplisit dalam Yohanes 1:1. Yohanes 1:1 hanya merupakan
dasar yang menjadi perkenalan akan siapa Yesus itu sebenarnya yang nantinya
diterangkan oleh penulis Yohanes dalam bagian-bagain berikutnya. Yesus yang
hadir sebagai pewahyuan Allah hadir di tengah-tengah manusia. Yohanes
menggambarkan dengan jelas siapa Yesus. Tanda-tanda dan mujizat yang dilakukanNya
merupakan sebuah bentuk penyataan kemuliaanNya kepada manusia yang belum juga
disadari oleh manusia. Hingga pada puncaknya, kematian dan kebangkitanNya (demi
menebus dosa manusia), kemulian Allah benar-benar nyata dan dapat disadari oleh
seluruh umat manusia. Sama seperti Tomas yang mengakui kemuliaan Yesus sebagai
Tuhan dan Allah menjadi sebuah bentuk bahwa Anak Manusia adalah Mesias yang
akan dimuliakan melalui salibNya.
III.
REFLEKSI
Penjelasan di atas sudah cukup menggambarkan bagaimana
konsep Yesus Anak Allah dan Yesus Anak Manusia menjadi sebuah pemikiran
teologis yang hingga sekarang pun masih ramai di diskusikan. Saya rasa Yohanes
dengan cukup jelas memaparkan pemahaman teologinya ke dalam sebuah penggambaran
akan sosok Yesus baik bagi dirinya maupun bagi konteks jemaatnya. Kita tidak
bisa menapik bahwa pemikiran Yohanes ini pun juga menyesuaikan pada konteks
zamannya; dimana budaya Helenis sangat berkembang dengan pemikiran-pemiran
filsafat serta ajaran gnostik. Namun dibalik itu semua Yohanes mampu mengatasi
konteks zaman dengan tetap fokus dan jelas dalam mengungkapkan apa yang menjadi
pengakuan imannya.
Yohanes 1:1 menjadi sebuah pijakan yang unik dalam
pemikiran teologisnya. Ia menjelaskan pemahaman imannya kepada jemaat dengan
menyesuaikan penggunaan bahasa yang umum di gunakan di zamannya untuk lebih
mudah menjelaskan pemikiran dan imannya tetang siapa Yesus dan bagaimana pekerjaanNya
di dunia ini. Saya rasa dalam Yohanes 1:1 cukup jelas bahwa Firman adalah
Allah, dengan kata lain Firman sama dengan Allah (Yesus adalah Anak Allah).
Firman menyatakan kemuliaan Allah di dunia dalam diri Yesus Kristus. Di sini
Yohanes memang “agak keras” dalam menjelaskan pemahaman teologisnya. Pemikiran
Yahudi sejauh ini masih menjadi bagian dari penggambaran Yohanes, namun Firman
yang menjadi manusia sepertinya agak sulit untuk diterima oleh orang-orang
Yahudi. Bila melihat kembali ke belakang maka kita akan menemukan bagaimana
konteks penulisan Yohanes (bagaimana ketegangan yang terjadi antara orang-orang
Yahudi dan orang-orang Kristen). Monotheisme Yahudi dirasa mulai terusik,
sehingga mengakibatkan ketegangan di antara keduanya. Uniknya, menurut saya
penulis Yohanes hadir sebagai penyemangat bagi orang-orang Kristen yang
tertindas dan mampu menguatkan iman mereka. Pengakuan Tomas di Yoh 20:28
menjadi sebuah dasar pengakuan iman yang menyebutkan bahwa Yesus adalah Tuhan
dan Allah dan sekaligus menggenapi dasar teologi Yohanes yang telah disampaikan
dalam Yoh 1:1.
Dibalik konteks yang melarbelakangi penulisan Yohanes,
satu hal yang ingin ia tekankan bahwa Yesus dengan segala unsur keilahian dan
kemanusiaanNya hadir di tengah manusia dengan satu tujuan, yakni menyelamatkan
manusia dari dosa. Ia yang mati, berkorban demi menebusa dosa-dosa manusia dan
bangkit untuk menyatakan kuasa dan kemuliaanNya sebagai Allah yang berkuasa. Saya
rasa inilah yang menjadi titik yang ingin dicapai oleh penulis Yohanes untuk
dapat dimengerti oleh jemaat pembacanya; bahwa Allah yang berkuasa itu hadir di
tengah-tengah mereka.
[1] Eckardt, A.Roy. Menggali ulang Yesus Sejarah: kristologi masa kini. Jakarta:BPK
Gunung Mulia. 1996,p. 32-33
[4] Dunn, James D.G. Christology in the
Making: An Inquiry into the Origins of the Doctrine of Incarnation. London:
SCM Press.1980,p. 213-250
[5] bdk.Yoh20:28, dimana kita dapat menemukan sebuah pengakuan iman yang disampaikan lewat
mulut Tomas.
No comments:
Post a Comment