Friday, 16 August 2013

Dampak Positif/Negatif Globalisasi Ekonomi terhadap Agama

A.  PENDAHULUAN
Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang hubungannya melintasi batas negara. Globalisasi sebagai sebuah proses sejarah dan sekaligus sebuah proyek ekonomi tentu saja  memberi pengaruh terhadap struktur sosial dan tingkat kesejahteraan manusia. Ada pengaruh  yang bersifat positif seperti tersedianya informasi yang dapat diakses secara cepat, massif, dan ekonomis serta terjalinnya kehidupan manusia oleh jaringan komunikasi dan transaksi global. Namun ada pula pengaruh yang bersifat negatif seperti persaingan sosial, budaya, agama, politik, dan bisnis.

Dalam konteks perubahan inilah kita akan mengkaji secara positif, kritis, dan konstruktif peran agama-agama sebagai sumber  moral, etika, dan spiritual bagi kehidupan manusia. Namun sebelum itu, kita akan mencoba untuk memahami realitas dan permasalahan globalisasi yang aktual sekarang ini. Makalah ini akan diakhiri dengan paparan tentang solusi etik yang ditawarkan oleh agama-agama pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam meredam dampak negatif globalisasi terhadap kehidupan manusia. 



B.  PEMBAHASAN
1.   Pengaruh Globalisasi Ekonomi dalam Agama
Menurut Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD), globalisasi dapat dilihat sebagai suatu proses sejarah yang multi wajah dan sebagai suatu proyek ekonomi dan politik kapitalisme global yang destruktif. Ia sedang mendekatkan dan menyatukan semua orang di “globe” ini ke dalam sebuah sistem ekonomi, sosial, budaya, politik yang terintegrasi dan termediasi oleh teknologi dan komputerisasi informasi.
·      Masalah Kemiskinan dan Kesenjangan di era Globalisasi.
Krisis ekonomi yang melanda dunia, khususnya di Eropa pada pasca Perang Dunia II telah memunculkan sebuah konsep ekonomi yang baru yang disebut Neo-liberalisme.  Konsep ekonomi ini lebih mementingkan modal swasta yang dinamakan “pasar” yang tidak terkekang untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan meningkatkan pertumbuhan. Ia kemudian menggerakan kapitalisme neoliberal dan globalisasi neoliberal sehingga  pemerintahan nasional tidak berdaya melindungi barang dan jasa publik. Dengan demikian fungsi negara dan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan sosial yang berdasarkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan kesetiakawanan hilang.[1] Ideologi politik ekonomi inilah yang menjadikan orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Atau dengan kata lain, ia telah memperlebar kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta memperjelas ketimpangan dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Para pengusaha mendapat keuntungan yang berlipat ganda sementara para buruh menderita di dalam kemiskinan mereka.

Peran pemerintah dalam mengawasi sistem produksi dan sistem distribusi barang/jasa demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat menjadi lemah oleh liberalisasi ekonomi  dan sistem pasar bebas. Data yang dikeluarkan oleh UNICEF menunjukan dengan jelas bahwa seperlima orang terkaya di dunia mengkonsumsi 45 persen sumber protein dunia, sementara seperlima orang termiskin hanya mengkonsumsi 5 persen. Seperlima orang terkaya mengkonsumsi 58 persen dari total energi, sementara seperlima orang miskin mengkonsumsi kurang dari 4 persen.[2]
·      Masalah Pluralisme dan Eksklusifisme Agama.
Dalam konteks sosial keagamaan, globalisasi melahirkan masyarakat polisentris yang multi kultural dan multi religius. Istilah-istilah ini menunjuk tersedianya ruang publik yang lapang bagi keberadaan ragam identitas sosial seperti budaya, agama, ras, dan gender dalam proses interaksi yang setara dan koperatif. Dalam konteks kehidupan semacam ini maka satu-satunya jalan bagi terciptanya keadilan, perdamaian, dan integritas ciptaan adalah persaudaraan dan persahabatan di dalam perbedaan. Namun sayang sekali, di beberapa tempat visi ini tidak dapat diwujudkan, karena alih-alih menumbuhkan semangat dan sikap  toleransi yang inklusif transformatif, komunitas-komunitas primordial justru mempertebal kesadaran subjektif universalistik dan eksklusifisme yang radikal. Karena itu tidak jarang masyarakat mengalami konflik terbuka atas nama identitas primordial seperti agama.

Di pihak lain, globalisasi dengan visi multi-kultural dan multi-religiusnya mengancam identitas-identitas lokal dan primordial. Tidak sedikit orang yang mengalami krisis identitas dan kehilangan orientasi nilai-nilai moral, etika, dan spiritual. Dalam konteks inilah peluang bagi lahirnya gerakan-gerakan keagamaan baru terbuka dengan lapang. Sistem kepercayaan dan komunitas iman yang lama ditanggalkan dan ditinggalkan lalu berpaling pada agama-agama modern yang bersifat mistik personalistik atau sebaliknya rasionalistik materialistik. Kedua kategori agama modern ini bersifat artifisial dan menjauhkan manusia dari eksistensi dan transendensi dirinya. David Ray Griffin mengatakan bahwa globalisasi telah membuat kita terancam oleh bahaya kehilangan banyak kualitas penting. Manusia dapat terlempar di dalam kekosongan tak bermakna dan menjadi makhluk asing bagi dirinya dan bagi lingkungannya.[3]

2.    Dampak Positif Globalisasi Ekonomi terhadap Agama
Ada banyak hal yang kita temukan yang merupakan dampak positif dari globalisasi ekonomi terhadap agama. Beberapa diantaranya akan saya paparkan dibawah ini :
·Gereja, jemaat dan organisasi pelayanan diajak untuk menyejajarkan manejemen ekonomi dan struktur investasi mereka dengan prinsip ekonomi AGAPE (yang menekankan bahwa bumi dan semua kehidupan berasal dari Allah dan adalah milik Allah).
·Gereja menjadi lebih terpacu untuk terlibat dalam kerjasama antar iman dalma mencari dan mengupayakan alternatif seperti “ekonomi cukup” sebagai tantangan bagi ekonomi ketamakan dan persaingan.
·Gereja lebih merasa terpanggil dalam mewujudkan aksinya keluar, melihat kondisi masyarakat yang terkena dampak dari globalisasi ekonomi tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya deklarasi Accra, yang didalamnya membicarakan tentang globalisasi ekonomi, dan komitmen untuk mentransformasi sistem.[4]

3.    Dampak Negatif Globalisasi Ekonomi terhadap Agama
Tidak hanya dampak positif saja yang diberikan globalisasi ekonomi terhadap agama. Kita juga dapat menemukan dampak negatifnya. Beberapa diantaranya akan saya paparkan dibawah ini:
·       Meningkatnya jumlah kemiskinan akibat maraknya perdagangan dan perekonomian yang tidak adil dikalangan pemerintah dan pengusaha.
·       Perilaku konsumtif. Di bidang sosio kultural, globalisasi menghasilkan ragam  media konsumsi baru yang segera  menjadi godaan dan tantangan bagi setiap individu dan masyarakat dewasa ini.[5]  Proses sejarah dan proyek ekonomi yang sedang berjalan dewasa ini melahirkan sebuah gaya hidup dan budaya global (Global Culture) yang merasuki setiap sudut dunia dan mempengaruhi setiap orang.[6]  Budaya ini biasa disebut sebagai budaya pop (Pop culture) yang menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik melalui reklame di media TV dan internet. Budaya pop inilah yang menjadi momentum utama menguatnya paham dan gaya hidup konsumerisme ala Amerika.[7] Hal ini mampu membuat kita terperangkap pada kebutuhan diri sendiri dan tidak memperhatikan kehidupan saudara-saudara kita lainnya yang berkekurangan. Otomatis prinsip ekonomi AGAPE pun tidak berjalan.

4.    Cara Menanggulangi Dampak Negatif Globalisasi Ekonomi terhadap Agama
Globalisasi dan agama memang tidak dapat dipisahkan. Baik secara historis maupun ideologis agama akan selalu ada di balik setiap proses dan peristiwa sosial di era globalisasi ini. Bahkan disinyalir bahwa globalisasi adalah misi agama itu sendiri.  Oleh sebab itu adalah benar apabila membicarakan globalisasi dalam hubungan dengan agama dan adalah suatu keharusan untuk meminta pertanggungjawaban moral, etika dan spiritual dari agama-agama tentang ragam persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam yang terjadi dewasa ini.

Agar semua agama benar-benar dapat efektif membendung arus globalisasi, maka komunitas-komunitas ummat beragama semestinya dapat bekerjasama dengan baik. Dengan demikian, yang wajib dilakukan saat ini adalah bagaimana komunitas antarumat beragama lebih mendalami semangat etis dan paradigma perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Sebagai langkah awal, perlu dilakukan perubahan kultur yang serba-eksklusif menjadi serba-inklusif. Komunitas antarumat beragama harus membuang jauh konsepsi agama yang sempit dan eksklusif yang cenderung membatasi kebajikan sebagai milik “kita” saja, dan “mereka” tak punya. Mahasiswa sebagai bagian dari komunitas ilmiah dan komunitas beragama yang akan mewarisi masa depan sudah seharusnya memahami realitas globalisasi dan permasalahannya serta diperkenalkan dengan solusi-solusi konseptual agar mereka dapat mengambil sikap positif, kritis, realistis, dan konstruktif terhadap globalisasi itu sendiri.

C.  KESIMPULAN
Dari paparan sebelumnya menjadi jelas bagi kita bahwa globalisasi sudah menjadi sebuah realitas yang objektif. Bahkan kita semua sedang hidup dan bergelut di dalamnya. Globalisasi tidak dapat kita hindari, karena itu globalisasi mau tidak mau harus dihadapi. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya kita menyikapi globalisasi ini secara konseptual dan normatif sehingga di satu pihak ia memberi manfaat yang baik bagi manusia dan di lain pihak dampak negatifnya dapat diredam.

Berangkat dari kesadaran, komitmen, dan panggilan tersebut komunitas agama sedunia merumuskan prinsip-prinsip etik global sbb:
Ø Tidak aka nada tatanan dunia baru yang adil apabila tidak ada etika global.
Ø Setiap orang harus diperlakukan secara manusiawi.
Ø Empat petunjuk yang tak terbatalkan: komitmen pada budaya non kekerasan dan hormat pada kehidupan, komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil, komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus, komitmen pada budaya kesetaraan dan kerja sama.

Dengan etik global tersebut diharapkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dengan kebijaksanaan,  penerapan teknologi yang didasari oleh kekuatan spiritual, kemajuan industri yang dibarengi dengan perlindungan ekologi, dinamika demokrasi dengan moral, dan terciptanya masyarakat multi-kultural religius dengan semangat persaudaraan.[8]

Pada waktu yang hampir bersamaan komunitas Kristen sedunia yang terhimpun dalam organisasi oikumenis Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) dalam Sidang Rayanya di Harare (1998) menggumuli pertanyaan bagaimana gereja-gereja dan keluarga oikumenis harus menanggapi tragedi-tragedi kemanusiaan yang berakar pada proyek globalisasi ekonomi. Atas dasar pergumulan etis tersebut maka lahirlah sebuah program oikumenis yang disebut “Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE)” (Globalisasi Alternative Mengutamakan Rakyat dan Bumi).

Proses awal tersebut ditindaklanjuti oleh Sidang Raya DGD di Porto Alegre pada tahun 2006 yang menghasilkan desakan untuk segera melakukan beberapa aksi, antara lain:
Ø Menegakkan tata ekonomi dunia yang adil.
Ø Mempromosikan perdagangan yang adil.
Ø Memperjuangkan sistem keuangan yang adil.
Ø Melakukan aksi transformatif dan alternative kehidupan.
Ø Mengembangkan kehidupan multi-kultural religius yang inklusif transformatif.
Ø Mengkampanyekan dan mempelopori aksi perlindungan dan rehabilitasi ekologi[9]

Dokumen tersebut dijadikan sebagai pola dasar pelayanan gereja di tengah masyarakat termasuk di Indonesia. Semua usaha ini adalah sikap yang berhasil dirumuskan dan akan terus diperjuangkan oleh agama-agama pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam konteks proses sejarah dan proyek ekonomi global yang sedang bergulir. Tantangan utama terhadap upaya ini datang dari paham-paham materialisme, individualisme, liberalisme, konsumerisme, eksklusifisme, radikalisme, dan militerisme. Karena itu, globalisasi harus juga dihadapi dengan sebuah transformasi yang mendasar akan pandangan hidup, sistem kepercayaan, ideologi, dan gaya hidup. Hanya dengan demikian kehidupan manusia di planet ini akan terhindar dari tragedi dan kehancuran yang datang belum pada waktunya.




[1] World Council of Churches, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), A Background Document. Geneva: WCC, 2006,p. 13.
[2] Jeremy Seabrook, Kemiskinan Global, Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme. Yogyakarta: Resist Book, 2006,p. 21. 
[3] David Ray Griffin, Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern. Diterjemahkan oleh A. Gunawan Admiranto. (Yogyakarta: Kanisius, 2005),p. 30.
[4] World Council of Churches, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), A Background Document. Geneva: WCC, 2006,p. 74
[5] George Ritzer, “The Postmodern Social Theory”.  Diterjemahkan oleh Muhammad Taufik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004),p. 368.
[6] Kelton Cobb, Theology and Popular Culture (Oxford: Blackwell Publishing, 2005),p. 27.
[7] Untuk mengetahui lebih jauh tentang budaya pop dan materialisme Amerika yang mengglobal melalui media iklan,  lihat: James B. Teitchell, Lead Us into Temptation: The Triumph of American Materialism. (Columbia University Press, 2003).
[8] Hans Kung dan karl Josef Kuschel, Etik Global. Diterjemahkan oleh Ahmad Murtajib. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999,p. 58-59
[9] Einar Sitompul (Ed.) Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi. Diterjemahkan oleh Boni Sagi & Nina Hutagalung. Jakarta: PMK HKBP. 2006,p. 69

No comments:

Post a Comment