A. PENDAHULUAN
Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu,
antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi
satu sama lain yang hubungannya melintasi batas negara. Globalisasi sebagai sebuah proses sejarah dan
sekaligus sebuah proyek ekonomi tentu saja memberi pengaruh terhadap struktur sosial dan
tingkat kesejahteraan manusia. Ada pengaruh
yang bersifat positif seperti tersedianya informasi yang dapat diakses
secara cepat, massif, dan ekonomis serta terjalinnya kehidupan manusia oleh
jaringan komunikasi dan transaksi global. Namun ada pula pengaruh yang bersifat
negatif seperti persaingan sosial, budaya, agama, politik, dan bisnis.
Dalam konteks perubahan inilah kita akan
mengkaji secara positif, kritis, dan konstruktif peran agama-agama sebagai
sumber moral, etika, dan spiritual bagi
kehidupan manusia. Namun sebelum itu, kita akan mencoba untuk memahami realitas
dan permasalahan globalisasi yang aktual sekarang ini. Makalah ini akan
diakhiri dengan paparan tentang solusi etik yang ditawarkan oleh agama-agama
pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam meredam dampak negatif
globalisasi terhadap kehidupan manusia.
B. PEMBAHASAN
1.
Pengaruh
Globalisasi Ekonomi dalam Agama
Menurut Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD), globalisasi dapat dilihat
sebagai suatu proses sejarah yang multi wajah dan sebagai suatu proyek ekonomi
dan politik kapitalisme global yang destruktif. Ia sedang mendekatkan dan
menyatukan semua orang di “globe” ini ke dalam sebuah sistem ekonomi, sosial,
budaya, politik yang terintegrasi dan termediasi oleh teknologi dan
komputerisasi informasi.
· Masalah
Kemiskinan dan Kesenjangan di era Globalisasi.
Krisis
ekonomi yang melanda dunia, khususnya di Eropa pada pasca Perang Dunia II telah
memunculkan sebuah konsep ekonomi yang baru yang disebut Neo-liberalisme. Konsep ekonomi ini lebih mementingkan modal
swasta yang dinamakan “pasar” yang tidak terkekang untuk mengalokasikan sumber
daya secara efisien dan meningkatkan pertumbuhan. Ia kemudian menggerakan kapitalisme
neoliberal dan globalisasi neoliberal sehingga pemerintahan nasional tidak berdaya melindungi
barang dan jasa publik. Dengan demikian fungsi negara dan pemerintah sebagai
penyelenggara kesejahteraan sosial yang berdasarkan prinsip keadilan,
kesetaraan, dan kesetiakawanan hilang.[1] Ideologi politik ekonomi inilah yang
menjadikan orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Atau dengan
kata lain, ia telah memperlebar kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta
memperjelas ketimpangan dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Para pengusaha
mendapat keuntungan yang berlipat ganda sementara para buruh menderita di dalam
kemiskinan mereka.
Peran
pemerintah dalam mengawasi sistem produksi dan sistem distribusi barang/jasa
demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat menjadi lemah oleh liberalisasi
ekonomi dan sistem pasar bebas. Data
yang dikeluarkan oleh UNICEF menunjukan dengan jelas bahwa seperlima orang
terkaya di dunia mengkonsumsi 45 persen sumber protein dunia, sementara
seperlima orang termiskin hanya mengkonsumsi 5 persen. Seperlima orang terkaya
mengkonsumsi 58 persen dari total energi, sementara seperlima orang miskin
mengkonsumsi kurang dari 4 persen.[2]
· Masalah
Pluralisme dan Eksklusifisme Agama.
Dalam
konteks sosial keagamaan, globalisasi melahirkan masyarakat polisentris yang
multi kultural dan multi religius. Istilah-istilah ini menunjuk tersedianya
ruang publik yang lapang bagi keberadaan ragam identitas sosial seperti budaya,
agama, ras, dan gender dalam proses interaksi yang setara dan koperatif. Dalam
konteks kehidupan semacam ini maka satu-satunya jalan bagi terciptanya
keadilan, perdamaian, dan integritas ciptaan adalah persaudaraan dan
persahabatan di dalam perbedaan. Namun sayang sekali, di beberapa tempat visi
ini tidak dapat diwujudkan, karena alih-alih menumbuhkan semangat dan
sikap toleransi yang inklusif
transformatif, komunitas-komunitas primordial justru mempertebal kesadaran
subjektif universalistik dan eksklusifisme yang radikal. Karena itu tidak
jarang masyarakat mengalami konflik terbuka atas nama identitas primordial
seperti agama.
Di pihak
lain, globalisasi dengan visi multi-kultural dan multi-religiusnya mengancam
identitas-identitas lokal dan primordial. Tidak sedikit orang yang mengalami
krisis identitas dan kehilangan orientasi nilai-nilai moral, etika, dan
spiritual. Dalam konteks inilah peluang bagi lahirnya gerakan-gerakan keagamaan
baru terbuka dengan lapang. Sistem kepercayaan dan komunitas iman yang lama
ditanggalkan dan ditinggalkan lalu berpaling pada agama-agama modern yang
bersifat mistik personalistik atau sebaliknya rasionalistik materialistik.
Kedua kategori agama modern ini bersifat artifisial dan menjauhkan manusia dari
eksistensi dan transendensi dirinya. David Ray Griffin mengatakan bahwa
globalisasi telah membuat kita terancam oleh bahaya kehilangan banyak kualitas
penting. Manusia dapat terlempar di dalam kekosongan tak bermakna dan menjadi
makhluk asing bagi dirinya dan bagi lingkungannya.[3]
2.
Dampak Positif
Globalisasi Ekonomi terhadap Agama
Ada banyak hal yang kita temukan yang merupakan dampak positif dari
globalisasi ekonomi terhadap agama. Beberapa diantaranya akan saya paparkan
dibawah ini :
·Gereja, jemaat dan organisasi pelayanan diajak untuk
menyejajarkan manejemen ekonomi dan struktur investasi mereka dengan prinsip
ekonomi AGAPE (yang menekankan bahwa bumi dan semua kehidupan berasal dari
Allah dan adalah milik Allah).
·Gereja menjadi lebih terpacu untuk terlibat dalam
kerjasama antar iman dalma mencari dan mengupayakan alternatif seperti “ekonomi
cukup” sebagai tantangan bagi ekonomi ketamakan dan persaingan.
·Gereja lebih merasa terpanggil dalam mewujudkan
aksinya keluar, melihat kondisi masyarakat yang terkena dampak dari globalisasi
ekonomi tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya deklarasi Accra, yang
didalamnya membicarakan tentang globalisasi ekonomi, dan komitmen untuk
mentransformasi sistem.[4]
3.
Dampak Negatif
Globalisasi Ekonomi terhadap Agama
Tidak hanya dampak positif saja yang diberikan globalisasi ekonomi terhadap
agama. Kita juga dapat menemukan dampak negatifnya. Beberapa diantaranya akan
saya paparkan dibawah ini:
·
Meningkatnya jumlah kemiskinan akibat maraknya
perdagangan dan perekonomian yang tidak adil dikalangan pemerintah dan
pengusaha.
·
Perilaku
konsumtif. Di bidang sosio kultural, globalisasi menghasilkan ragam media konsumsi baru yang segera menjadi godaan dan tantangan bagi setiap
individu dan masyarakat dewasa ini.[5] Proses sejarah dan proyek ekonomi yang sedang
berjalan dewasa ini melahirkan sebuah gaya hidup dan budaya global (Global Culture) yang merasuki setiap
sudut dunia dan mempengaruhi setiap orang.[6] Budaya ini biasa disebut sebagai budaya pop (Pop culture) yang menyebar ke seluruh
dunia dalam hitungan detik melalui reklame di media TV dan internet. Budaya pop
inilah yang menjadi momentum utama menguatnya paham dan gaya hidup konsumerisme
ala Amerika.[7] Hal ini mampu membuat kita
terperangkap pada kebutuhan diri sendiri dan tidak memperhatikan kehidupan
saudara-saudara kita lainnya yang berkekurangan. Otomatis prinsip ekonomi AGAPE
pun tidak berjalan.
4.
Cara
Menanggulangi Dampak Negatif Globalisasi Ekonomi terhadap Agama
Globalisasi dan agama memang tidak dapat
dipisahkan. Baik secara historis maupun ideologis agama akan selalu ada di
balik setiap proses dan peristiwa sosial di era globalisasi ini. Bahkan
disinyalir bahwa globalisasi adalah misi agama itu sendiri. Oleh sebab itu adalah benar apabila
membicarakan globalisasi dalam hubungan dengan agama dan adalah suatu keharusan
untuk meminta pertanggungjawaban moral, etika dan spiritual dari agama-agama
tentang ragam persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam yang terjadi dewasa
ini.
Agar semua agama benar-benar dapat efektif membendung arus
globalisasi, maka komunitas-komunitas ummat beragama semestinya dapat
bekerjasama dengan baik. Dengan demikian, yang wajib dilakukan saat ini adalah
bagaimana komunitas antarumat beragama lebih mendalami semangat etis dan
paradigma perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Sebagai langkah awal, perlu
dilakukan perubahan kultur yang serba-eksklusif menjadi serba-inklusif.
Komunitas antarumat beragama harus membuang jauh konsepsi agama yang sempit dan
eksklusif yang cenderung membatasi kebajikan sebagai milik “kita” saja, dan
“mereka” tak punya. Mahasiswa sebagai bagian dari komunitas ilmiah dan
komunitas beragama yang akan mewarisi masa depan sudah seharusnya memahami
realitas globalisasi dan permasalahannya serta diperkenalkan dengan
solusi-solusi konseptual agar mereka dapat mengambil sikap positif, kritis,
realistis, dan konstruktif terhadap globalisasi itu sendiri.
C. KESIMPULAN
Dari
paparan sebelumnya menjadi jelas bagi kita bahwa globalisasi sudah menjadi
sebuah realitas yang objektif. Bahkan kita semua sedang hidup dan bergelut di
dalamnya. Globalisasi tidak dapat kita hindari, karena itu globalisasi mau
tidak mau harus dihadapi. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya kita
menyikapi globalisasi ini secara konseptual dan normatif sehingga di satu pihak
ia memberi manfaat yang baik bagi manusia dan di lain pihak dampak negatifnya
dapat diredam.
Berangkat dari kesadaran, komitmen, dan
panggilan tersebut komunitas agama sedunia merumuskan prinsip-prinsip etik
global sbb:
Ø Tidak aka nada tatanan dunia baru yang adil
apabila tidak ada etika global.
Ø Setiap orang harus diperlakukan secara
manusiawi.
Ø Empat petunjuk yang tak terbatalkan: komitmen
pada budaya non kekerasan dan hormat pada kehidupan, komitmen pada budaya
solidaritas dan tata ekonomi yang adil, komitmen pada budaya toleransi dan
hidup yang tulus, komitmen pada budaya kesetaraan dan kerja sama.
Dengan etik global tersebut diharapkan
terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dengan kebijaksanaan, penerapan teknologi yang didasari oleh
kekuatan spiritual, kemajuan industri yang dibarengi dengan perlindungan
ekologi, dinamika demokrasi dengan moral, dan terciptanya masyarakat
multi-kultural religius dengan semangat persaudaraan.[8]
Pada waktu yang hampir bersamaan komunitas
Kristen sedunia yang terhimpun dalam organisasi oikumenis Dewan Gereja-Gereja
se-Dunia (DGD) dalam Sidang Rayanya di Harare (1998) menggumuli pertanyaan bagaimana
gereja-gereja dan keluarga oikumenis harus menanggapi tragedi-tragedi
kemanusiaan yang berakar pada proyek globalisasi ekonomi. Atas dasar pergumulan
etis tersebut maka lahirlah sebuah program oikumenis yang disebut “Alternative Globalization Addressing Peoples
and Earth (AGAPE)” (Globalisasi Alternative Mengutamakan Rakyat dan Bumi).
Proses awal tersebut ditindaklanjuti oleh
Sidang Raya DGD di Porto Alegre pada tahun 2006 yang menghasilkan desakan untuk
segera melakukan beberapa aksi, antara lain:
Ø Menegakkan tata ekonomi dunia yang adil.
Ø Mempromosikan perdagangan yang adil.
Ø Memperjuangkan sistem keuangan yang adil.
Ø Melakukan aksi transformatif dan alternative
kehidupan.
Ø Mengembangkan kehidupan multi-kultural
religius yang inklusif transformatif.
Dokumen tersebut dijadikan sebagai pola dasar
pelayanan gereja di tengah masyarakat termasuk di Indonesia. Semua usaha ini
adalah sikap yang berhasil dirumuskan dan akan terus diperjuangkan oleh
agama-agama pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam konteks proses
sejarah dan proyek ekonomi global yang sedang bergulir. Tantangan utama
terhadap upaya ini datang dari paham-paham materialisme, individualisme,
liberalisme, konsumerisme, eksklusifisme, radikalisme, dan militerisme. Karena
itu, globalisasi harus juga dihadapi dengan sebuah transformasi yang mendasar
akan pandangan hidup, sistem kepercayaan, ideologi, dan gaya hidup. Hanya
dengan demikian kehidupan manusia di planet ini akan terhindar dari tragedi dan
kehancuran yang datang belum pada waktunya.
[1] World Council of Churches, Alternative
Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), A Background Document. Geneva: WCC, 2006,p. 13.
[2] Jeremy Seabrook, Kemiskinan
Global, Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme. Yogyakarta: Resist Book,
2006,p.
21.
[3] David Ray Griffin, Tuhan dan
Agama dalam Dunia Postmodern. Diterjemahkan oleh A. Gunawan Admiranto.
(Yogyakarta: Kanisius, 2005),p.
30.
[4] World Council of Churches, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), A Background Document. Geneva: WCC, 2006,p. 74
[5] George Ritzer, “The
Postmodern Social Theory”.
Diterjemahkan oleh Muhammad Taufik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004),p. 368.
[7] Untuk mengetahui
lebih jauh tentang budaya pop dan materialisme Amerika yang mengglobal melalui
media iklan, lihat: James B. Teitchell, Lead Us into Temptation: The Triumph of
American Materialism. (Columbia
University Press, 2003).
[8] Hans Kung dan karl Josef Kuschel, Etik Global. Diterjemahkan oleh Ahmad Murtajib. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999,p. 58-59
[9] Einar Sitompul (Ed.) Globalisasi
Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi. Diterjemahkan oleh Boni Sagi &
Nina Hutagalung. Jakarta: PMK HKBP.
2006,p. 69
No comments:
Post a Comment