1. PENDAHULUAN
Israel dan Palestina adalah dua
negara di kawasan Timur Tengah yang populer di mata dunia karena konflik antara
keduanya yang tak kunjung mencapai jalan keluar dalam setiap kesepakatan damai.
Pertikaian kedua negara tersebut menjadi sorotan internasional sehingga banyak
pihak yang secara langsung maupun tidak langsung berpartisipasi mempengaruhi
situasi konflik, baik yang terkait dengan resolusi maupun yang turut andil
mempersulit substansi permasalahan tersebut.
Timur Tengah merupakan
kawasan yang mempunyai daya tarik tersediri bagi setiap orang dan setiap
negara. Dunia tidak akan melepaskan pandangannya dari kawasan ini, jika dilihat
dari aspek historis, kawasan ini adalah tempat diturunkannya agama-agama samawi
dengan penganut terbesar seperti Islam, Yahudi, dan Kristen. Dari aspek
ekonomi, negara-negara yang berada di kawasan ini adalah penghasil minyak dan
gas terbesar, yang selama ini menjadi penopang kebutuhan dunia akan energi, dan
dari aspek politik dan keamanan, kawasan ini memiliki letak geografis yang
sangat strategis. Dengan demikian, setiap perkembangan yang terjadi di kawasan
tersebut sangat menarik perhatian bagi Dunia Internasional, dalam hubungan
dengan konflik dan perdamaian dunia. Untuk itu dalam paper ini saya akan
membahas permasalahan dan perundingan damai yang telah terjadi selama konflik
ini terjadi.
2. ISU-ISU PENYEBAB KONFLIK ZIONIS – PALESTINA
Mengkaji gerakan-gerakan rakyat
Palestina tentu saja tidak bisa terlepas dari pembicaraan bangsa Israel. Dengan
kata lain, bahwa kebanyakan munculnya gerakan rakyat Palestina erat kaitannya
akibat adanya konflik dengan bangsa Israel. Sebenarnya, jika mau menengok kebelakang
maka konflik Palestina dan Israel telah mengalami sejarah yang begitu panjang. Secara
singkat dapat dikemukakan, bahwa penjajahan orang-orang Yahudi atas Palestina
telah terjadi sejak tahun-tahun sebelum masehi. Jatuh bangun pun dialami oleh
bangsa Yahudi, baik karena serangan bangsa Babilonia, Persia, maupun Romawi.
Sementara itu, pada era modern ini bangsa Yahudi ingin mengulang sejarah masa
lalunya, yaitu dengan mencoba menduduki wilayah Palestina dan bahkan mendirikan
negara di wilayah tersebut dengan keyakinan bahwa wilayah Palestinalah suatu
tanah air yang dijanjikan – “promised land.” Kita tidak juga tidak bisa menyalahkan Israel dan kaum Yahudi khususnya
atas apa yang mereka lakukan untuk berusaha mendirikan negaranya yang
independent, sebab pasti ada alasan mengapa mereka melakukan hal tersebut.
Tindakan-tindakan yang tidak manusiawilah yang membuat mereka seperti itu, pengalaman
akan penindasan yang mereka alami selama diaspora memberikan luka dalam bagi
orang-orang Yahudi. Nasionalisme menjadi kekuatan luar biasa pada abad 19 di
Eropa mempengaruhi orang-orang Yahudi disana untuk menciptakan gerakan Zionis.
Hampir ¾ orang Yahudi tinggal di Eropa Timur, dimana penyiksaan terus terjadi, dan disanalah
benih-benih Zionisme bersemi.[1]
Zionisme inilah suatu ide atau paham yang mendorong kemunculan negara
Israel di kawasan Palestina. Zionisme pertama kali dirumuskan oleh mantan
wartawan Theodore Herzl pada tahun
1879.[2] Zionisme
dapat didefinisikan sebagai kepercayaan tentang kembalinya orang-orang dan
bangsa Yahudi dari diaspora mereka secara berabad-abad, sehingga dapat
menyelamatkan mereka dari kekuasaan orang-orang non-Yahudi, bahaya asimilasi
dengan orang-orang non-Yahudi, dan ancaman anti Semitisme (anti Yahudi) dari
masyarakat lain. Karena itu Zionisme bertujuan untuk mewujudkan sebuah negarabangsa
yang sepenuhnya Yahudi dalam the New Hebrew (orang Ibrani yang baru)
sebagai identitas Yahudi yang otentik setelah lama berada di
diaspora, sehingga mereka mampu survive di muka bumi.[3]
Tidak
ada kepastian yang jelas kapan dan apa penyebab utama konflik ini. Namun,
disinyalir berawal ketika Yahudi Zionis datang kemudian membeli tanah-tanah dan
mulai membangun di Palestina. Mereka yang merasa terusik oleh penentangan keras
yang semakin meningkat dari orang-orang Arab Palestina, yang dinilai bersumber
dari sikap anti-semit yang inheren pada bangsa Arab, kemudian terpaksa mempertahankan
diri dan dalam satu atau lain bentuk, situasi serupa ini berlanjut sampai
sekarang. Namun penolakan orang-orang Palestina atas hal ini merupakan suatu hal yang wajar
melihat semua kekhawatiran yang sepenuhnya masuk akal tentang akan terlucutinya
bangsa mereka.[4]Sementara itu, kelumpuhan Dinasti Turki Ottoman pada Perang Dunia Pertama memberikan peluang bagi pemerintahan Inggris untuk meneruskan kekuasaan. Bencana holocaust (Shoah, “bencana”) Yahudi Eropa di tangan Nazi Jerman yang memakan jiwa yang sangat besar menjadi ingatan kolektif yang berdampak dahsyat bagi Zionisme dan bangsa Yahudi umumnya. Dalam perspektif Zionisme, Holocaust adalah puncak dari kemalangan hidup dalam diaspora. Alhasil setelah kasus ini, terjadi gelombang migrasi besar-besaran orang-orang Yahudi ke Palestina, dan munculnya kesadaran dunia mengakui gerakan Zionisme dan negara Israel.[5] Selain itu, Inggirs juga mengeluarkan Deklarasi Balfour pada 2 November 1917 yang intinya mendukung penciptaan tanah air Yahudi di Palestina dengan menghargai hak-hak orang Palestina non-Yahudi[6].
Kedatangan bangsa Yahudi ke wilayah Palestina dianggap sama saja dengan datangnya bangsa kolonial ke wilayah tersebut, karena yang terjadi adalah penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda oleh bangsa Yahudi terhadap Palestina. Pada 14 Februari 1974, Inggris mengumumkan bahwa mereka akan menarik diri dari Palestina dan menyerahkan persoalan Palestina kepada PBB[7]. Warga Pelestina di Jerusalem dan Jaffa melancarkan pemogokan umum menentang partisi itu. Pertempuran meletus di jalan-jalan Jerusalem nyaris serempak. Insiden-insiden kekerasan berkembang menjadi perang habis-habisan. Selama peristiwa April 1948, delapan dari tiga belas serangan besar militer Zionis terhadap orang Palestina terjadi di daerah yang diperuntukkan bagi negara Arab tersebut.[8]
Konflik ini mulai muncul ketika Majelis Umum PBB, mengeluarkan resolusi yang membagi wilayah Palestina menjadi tiga bagian yaitu: wilayah Arab Palestina, wilayah Israel, dan Yerusalem sebagai wilayah yang dikelolah oleh Dunia Internasional. Pemimpin-pemimpin Arab kemudian keberatan, dengan menolak pembagian tersebut.[9] Hal ini dikarenakan, pembagian tersebut memberikan bangsa Yahudi wilayah yang lebih besar dari wilayah yang diberikan untuk bangsa Palestina. Padahal, pada kenyataannya bangsa Palestina adalah bangsa mayoritas yang mendiami wilayah tersebut, sementara bangsa Yahudi hanyalah sepertiga dari seluruh penduduk. Berdasarkan partisi yang dikeluarkan oleh PBB ini, bangsa Yahudi kemudian mengambil langkah berani untuk memproklamasikan negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948 sebagai negara merdeka, dan diakui oleh Dunia Internasional, dengan wilayah teritorial yang ditentukan oleh United Nation Partition Plan.
Bangsa Yahudi ini kemudian, menyusun konsep yang matang untuk menguasai seluruh wilayah Palestina. Kepercayaan bahwa, wilayah ini merupakan tanah yang dijanjikan oleh Tuhan mereka, wilayah Palestina yang kini sudah berada dalam genggaman tidak akan mungkin untuk dilepaskan. Dilain pihak, berdirinya negara Israel ini mengakibatkan rakyat Palestina banyak yang berdiaspora untuk membebaskan diri mereka dari penjajahan Israel, ke berbagai negara-negara tetangga.[10] Israel terus berusaha untuk memperbesar wilayah kekuasaannya. Berbagai cara dihalalkan untuk mewujudkan ambisinya, mulai dari menindas penduduk Palestina sampai pada aneksasi negara-negara tetangganya. Pada peperangan ini, Israel berhasil memenangkan peperangan dan merebut + 77% dari luas total wilayah mandat PBB.[11]
Warga Palestina dan para pemimpin Arab terus menyuarakan keberatan mereka terhadap pendudukan Israel yang kian bertambah, pada apa yang mereka anggap sebagai tanah dan hak mereka. Setiap konflik yang terjadi diantaranya mengakibatkan korban yang tak terelakkan, namun dari sana ada suatu kesadaran yang kembali lahir dan suatu pembaharuan dedikasi terhadap kebenaran akan persoalan Arab. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) diakui oleh negara-negara Arab sebagai satu-satunya perwakilan orang Arab Palestina[12] dan pemerintahan bayangan ini dibentuk untuk berurusan dengan masalah-masalah kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, informasi, dan keamanan. Pada tahun 1969 PLO dipimpin oleh Yasir Arafat. Sebagai ketua, Arafat banyak mengalihkan perhatiannya untuk mencari dana kepedulian dan dukungan terhadap pengungsi dan memberikan inspirasi bagi seluruh dunia untuk masalah tersebut.[13] Keberadaan organisasi ini juga memberi kekuatan bagi orang Palestina untuk tetap bertahan di tengah-tengah konflik.
3. BENTUK – BENTUK DAN UPAYA PERUNDINGAN DAMAI
Untuk mencapai suatu
kesuksesan dalam bernegosiasi, perlu adanya persamaan pandangan dalam melihat
suatu solusi. Dalam upaya negosiasi yang dilakukan oleh Israel dan Palestina
untuk menciptakan suatu perdamaian, pada kenyataanya belum mampu membawa
perubahan. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan makna perdamaian dari
kedua belah pihak. Jimmy Carter (Presiden Amerika ke-39) menunjukkan isu
“keamanan” lebih mengemuka dibandingkan “perdamaian” dan hal ini membutuhkan
perenungan yang serius. Kata “perdamaian” merujuk pada banyak makna dan bagi
para penentangnya dengan mudah diplesetkan menjadi konsep yang kabur dan membahayakan.
Sebaliknya “keamanan” lebih mudah dipahami dan inilah yang menjadi isu utama di
Israel. Bagi Carter, faktor inilah yang akan mengurangi ketegangan dan
kekerasan di kawasan. Kemampuan pihak keamanan Palestina dan Internasional
menjaga ketertiban di Palestina dan melindungi orang Israel dari kekerasan,
akan memperluas kemungkinan bagi publik Israel berkompromi. Di sinilah peranan
besar Amerika Serikat sekalipun terbatas tetapi krusial, yaitu meyakinkan
publik Israel bahwa komitmen perdamaian dan usaha untuk menjaganya tetap
dijunjung tinggi.[1]
Melihat kompleksitas
dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, maka selain upaya negosiasi yang
dilakukan oleh kedua negara yang berkonflik tersebut, juga diperlukan dukungan
dari pihak internasional seperti negara-negara Arab di Timur Tengah, Amerika
Serikat, dan organisasi-organisasi internasional, seperti PBB dan Uni Eropa.
Elemen-elemen internasional ini mutlak diperlukan untuk menyokong terjadinya perdamaian
dengan proses negosiasi melalui pihak ketiga. Pada masa Pemerintahan Carter
(1977-1981) adalah suatu masa dalam sejarah politik luar negeri Amerika Serikat
di mana ada atmosfir yang kondusif dan komitmen yang kuat bagi perdamaian di
Timur Tengah. Ia berani melawan arus pada masanya dan sikap ini ditentang di
dalam dan luar negeri Amerika, termasuk oleh pembantu-pembantu Jimmy Carter
yang selalu memperingatkannya agar, “menjaga jarak sejauh mungkin dari
keterlibatan langsung dalam perundingan Timur Tengah”.[2]
Sejak munculnya gerakan
intifadah pada tahun 1987, masyarakat Palestina yang selama ini seakan
menerima nasib penjajahan Israel, mempunyai waktu yang tepat untuk bangkit dan
melawan. Gerakan intifadah ini kemudian menimbulkan kekhawatiran baik
itu dari pihak Israel maupun dari pihak Palestina. Berbagai serangan berbalasan
pun dilancarkan. Hingga pada akhirnya pihak-pihak yang berkonflik sudah semakin
menyadari bahwa, dengan terus melakukan konflik maka masing-masing pihak akan
mengalami kerugian yang sangat besar, kedua belah pihak akan saling terluka, bahkan,
bukan tidak mungkin pihak lain yang justru mendapatkan keuntungan selama berlangsungnya
konflik.[3]
Jika konflik dalam kondisi seperti ini, inilah saat yang paling tepat untuk
melakukan proses negosiasi. Kesadaran seperti inilah kemudian membawa Israel
dan Palestina maju ke meja perundingan untuk yang pertama kalinya pada tahun
1979.[4]
Negosiasi itu terus berlangsung hingga saat ini. Meskipun berbagai opini-opini
pesimistik, baik itu berasal dari internal kedua belah pihak, maupun opini
dunia internasional bermunculan setiap proses negosiasi itu dilakukan. Hal ini
tidak menjadi penyangga atau penghambat dari upaya kedua negara tersebut untuk
menciptakan perdamaian yang abadi, selaras dengan keinginan seluruh masyarakat
dari ke dua belah pihak. Negosiasi bilateral antara Israel dan Palestina, talah
merumuskan banyak kesepakatan dan perjanjian. Baik itu dari segi batas wilayah
yang jelas dari kedua belah pihak, pembangunan pemukiman Israel di daerah
pendudukan, nasib para diaspora Palestina, pengakuan akan eksistensi Israel
sebagai sebuah negara, dan sampai pada tukar-tawanan Israel-Palestina. salah
satu perundingan yang pernah dilakukan diantara kedua pihak adalah perundingan
Oslo, yang ditandatangani pada tanggal 13 September 1993 oleh perwakilan dari
kedua belah pihak.
Perundingan
Oslo
Konferensi Madrid di
tahun 1991 membuka peluang terhadap dilaksanakannya proses negosiasi
selanjutnya, terlihat dengan adanya kesepakatan dari pihak Palestina dan Israel
untuk kembali melakukan negosiasi langsung, dengan mengirimkan delegasi masing-masing
untuk bertemu di salah satu kota kecil Norwegia. Dalam periode dibawah
kepemimpinan Rabin yang cukup memiliki niat baik, tanpa keterlibatan Amerika
Serikat, Mentri LN Norwegia Johann Holst, Prof. Terje Larsen membantu merancang
pembicaraan rahasia tingkat tinggi antara pemerintah Israel Simon Peres dan
Deputi LN Yossi Beilin melakukan serangkaian pembicaraan dengan tim PLO Yasir
Arafat yang dipimpin oleh Mahmoud Abbas (Abu Mazen) dan Ahmad Qurei (Abu Ala).[5]
Dalam pertemuan tersebut,
Palestina membawa naskah dengan konsep kewilayahan Palestina yang ingin menguasai
seluruh Jalur Gaza dan Tepi Barat, sementara pihak Israel menginginkan pengakuan
PLO atas eksistensi Israel sebagai sebuah negara. Secara ringkas, perjanjian
Oslo mensyaratkan penarikan kekuatan militer Israel secara bertahap dari Tepi
Barat, pembentukan otoritas pemerintah Palestina dengan para pejabat yang
dipilih, dan lima tahun periode sementara, dimana isu-isu yang lebih sulit dan
lebih spesifik dinegosiasikan.[6]
Dengan adanya
kesepakatan yang tejadi pada tanggal 13 September 1993, yang diakhiri dengan
jabat tangan Yitzak Rabin dan
Yasser Arafat menjadi
simbol penyelesaian permasalahan antara dua bangsa. Penyelesaian ini didasarkan
atas kompromi mengenai pembagian Palestina. Pembagian ini pada dasarnya
bukanlah ide baru, karena sebelumnya sudah diajukan oleh PBB pada tahun 1947,
namun ditolak oleh Palestina yang pada saat itu bersikeras memiliki Palestina
secara Keseluruhan. Tapi kini dengan berhasilnya negosiasi yang melahirkan
Perjanjian Oslo ini, baik Israel maupun Palestina telah menerima rencana
pembagian Palestina tersebut. Kedua belah pihak terlihat telah mengesampingkan
perselisihan mereka mengenai siapa yang berhak atas Palestina dan beralih untuk
menemukan solusi bagi permasalahan mereka. Ide pembagian Palestina kini sudah
diterima oleh kedua belah pihak, yang telah sekian lama saling berperang untuk
memiliki tanah Palestina secara keseluruhan sebagai bagian dari wilayahnya.
Pada 28 September 1995,
perundingan diantara keduanya dilakukan kembali. Yitzhak Rabin dan Yasser
Arafat menandatangani Kesepakatan Interim Israel-Palestina. Di bawah
kesepakatan ini, para pemimpin PLO bisa kembali ke daerah pendudukan dan
memberikan otonomi kepada bangsa Palestina. Imbalannya tetap sama, yaitu
mengakui keberadaan Israel dan meninggalkan cara-cara kekerasan dalam
perjuangan. Namun, kesepakatan ini ditentang Hamas dan sejumlah faksi radikal
Palestina yang siap melakukan perjuangan bersenjata, termasuk aksi bom bunuh
diri di Israel demi membebaskan Palestina.[7]
4. REFLEKSI
Kesimpulan
Pada kenyataannya kedua negara ini
masih tetap berkonflik. Hingga saat ini perundingan dan negosiasi damai tetap
dilaksanakan baik oleh pihak dalam dan pihak luar belum menghasilkan kata damai
dan aman yang ”permanen” bagi kedua belah pihak. Namun kita tidak boleh
pesimis. Setiap perundingan damai yang pernah terjadi sejak tahun 1974 (penarikan
pasukan Israel-Syria), 1978 (persetujuan camp david), 1982 (pernyataan reagan)
1993 (perjanjian oslo), 1994 (kesepakatan antara Israel dan Jordan), 2002 (usul
perdamaian Arab) 2003 (inisiatif jenewa), serta peta jalan kuartet
internasional[8],
telah menunjukkan satu langkah awal yang lebih untuk mewujudkan perdaiaman dan
keamanan bagi keduanya dimasa yang akan datang.
Refleksi
Untuk mewujudkan perdamaian dan
keamanan dimasa yang akan datang itu, maka diperlukan suatu pandangan baru
untuk melihat permasalahan ini. Apa yang telah saya paparkan diatas kurang
lebih telah memperlihatkan kepada kita sekalian bagaimana situasi konflik dan
bentuk perdamaian yang dilakukan. Saya rasa keduanya memiliki pembelaannya
masing-masing untuk mempertahankan diri. Klaim kaum Yahudi Zionis bagi saya
disini cukup extrem, mereka mengklaim
“negara orang” untuk dijadikan sebagai milik mereka, walaupun dengan
alasan-alasan kepercayaan mereka mengenai promise
land. Tindakan kaum Zionis bagi saya agak keterlaluan, seharusnya mereka
sadar seharusnya gambaran akan “umat pilihan Allah” itu. Pertanyaannya adalah
apakah umat pilihan Allah melakukan tindakan-tindakan kekerasan untuk memiliki
sesuatu dan tidak dengan kasih? Bukankah Allah sendiri yang mengajarkan umatnya
tetang bagaimana seharusnya kita mengasihi? Tindakan pelucutan yang dilakukan
oleh kaum Zionis ini tentu saja bukan merupakan tindakan yang adil bagi rakyat
Palestina, wajar saja bila mereka melawan demi untuk mempertahankan diri dan
mempertahankan apa yang seharusnya memang menjadi milik mereka. Tetapi
penilaian ini tidak boleh dilihat hanya berdasarkan satu sudut pandang saja.
Kita juga perlu melihat apa penyebab terjadinya kebangkitan dan semangat
Zionisme muncul. Bentuk-bentuk pendiskriminasian, dan penyiksaan yang banyak
dialami oleh orang Yahudi diaspora-lah yang membuat mereka merindukan masa-masa
kejayaannya di tanah suci. Pengalaman yang menyakitkan inilah yang membuat
mereka berani untuk melawan. Namun bila dengan menggunakan alasan promise land sebagai kedok atas tindakan
mereka untuk mewujudkan keinginannya saya rasa kurang pantas. Kekerasan jika
dibalas dengan kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan yang lebih lagi.
Orang-orang Palestina hanya
menginginkan keadilan di tanah mereka, dan mereka wajib untuk mendapatkannya.
Namun tak lepas dari itu, pasti ada orang-orang diluar sana yang menetang hal
ini, orang-orang yang akan melakukan apa saja demi untuk mendapatkan tujuan
akhirnya. Namun, bagaimanapun pasti ada jalan yang bisa dilakukan untuk
memperoleh hak itu tanpa jalan kekerasan. Saya bukan mau memberikan harapan atau
iming-iming omong kosong, namun begitulah pada kenyataannya. Setiap perundingan
damai yang telah dilaksanakan memberikan sebuah langkah perubahan diantara
kedua belah pihak, hanya saja harus ada kejujuran dan kesungguhan akan
perdamaian tersebut, tidak asal damai dimulut saja.
Naim Stifan Ateek menjelaskan bahwa
kebanyakan orang Palestina, entah Islam ataupun Kristen, beriman teguh kepada
Allah. Jadi, jaminan bahwa Allah berpihak pada orang-orang tertindas dan korban
ketidakadilan merupakan sebuah sumber pengharapan dan penghiburan bagi mereka.
Bagaimanapun harapan ditengah-tengah ketidakadilan dan penindasan dapat
menghasilkan kepasifan, dan bisa membuat frustasi. Harapan yang sesungguhnya
kepada Allah keadilan seharusnya menjadi harapan yang aktif dan dinamis,
mengajak orang untuk menjadi kawan sekerja Allah. Sebuah teologi pengharapan
bagi warga Palestina bertumbuh dari konsep Allah yang berpihak pada orang-orang
tertindas dan kaum tertindas bekerja bersama Allah demi kehidupan yang lebih
baik.[9]
Ketika orang Palestina melanjutkan
untuk menekankan bahwa Allah adalah Allah keadilan, bahwa kebenaran dan
keadilan merupakan dasar takhta Allah, dan bahwa tanpa kekesaran merupakan
jalan jalan untuk melawan penjajahan, menjadi jelas bahwa dalam sebuah
pemahaman teologis akan Allah, keadilan tidak berdiri sendiri. Keadilan Allah
tidak dapat dipisahkan dari damai, cinta, dan belas kasih Allah. Tidak ada
dikotomi dalam diri Allah; dikotomi ada dalam diri manusia. Jika selaku manusia
tidak hati-hati, kita akan cenderung membahas keadilan Allah tanpa terus
mengingat bahwa keberadaan Allah juga mencakup keadilan, belas kasih, cinta,
dan damai. Semua ini merupakan satu kesatuan utuh dalam sifat Allah.[10]
Tinggal bagaimana kita mewujudkan keberadaan Allah itu ditengah-tengan konflik
yang sedang berkecamuk. Kedua belah pihak perlu sadar akan hal itu, dengan
begitu pasti akan ada jalan yang lebih baik untuk mewujudkan damai dan
keamanan.
[1] http://ruangberbagiku.wordpress.com/2012/11/23/konflik-israel-palestina-terbaru-belajar-berharap-damai-bersama-jimmy-carter/
[2] Jimmy Carter.
We Can Have Peace in the Holy Land: A
Plan That Will Work. Penerbit: Simon & Schuster, 2009, p. 36
[3] bdk. Ateek, Naim Stifan.
Semata-mata keadilan: visi
perdamaianseorang Kristen Palestina.BPK Gunung Mulia.Jakarta. 2009, p. 53-58
[5] Carter, Jimmy. Palestine
peace not apartheid. Dian Rakyat, Jakarta, p. 171-172
[6] Ibid, p. 172-173
[7] http://internasional.kompas.com/read/2012/11/30/0645155/Dari.Camp.David.hingga.Perjanjian.Oslo
[9]
Ateek,
Naim Stifan. Semata-mata keadilan: visi perdamaianseorang
Kristen Palestina.BPK Gunung Mulia.Jakarta. 2009, p. 157-158
[2] Jews for Justice in The Middle
East. Manipulasi & kejahatan
zionis dalam koflik israel-palestina : himpunan fakta & dokumentasi,
Alfabet AKAPI, Jakarta, 2002, p. 16-17
[3] bdk. http://ruangberbagiku.wordpress.com/2012/11/30/memahami-ingatan-kultural-yahudi-dalam-konflik-israel-palestina/
[4] Jews for Justice in The Middle
East. Manipulasi & kejahatan
zionis dalam koflik israel-palestina : himpunan fakta & dokumentasi,
Alfabet AKAPI, Jakarta, 2002, p. 7-10
[5] lih. Carter, Jimmy. Palestine peace not apartheid. Dian
Rakyat, Jakarta, p. 73-74
[7] Ateek, Naim Stifan. Semata-mata
keadilan: visi perdamaianseorang Kristen Palestina.BPK Gunung
Mulia.Jakarta. 2009, p. 37
[10] lih. Ateek, Naim Stifan.
Semata-mata keadilan: visi
perdamaianseorang Kristen Palestina.BPK Gunung Mulia.Jakarta. 2009, p. 38
[12]
Ateek,
Naim Stifan. Semata-mata keadilan: visi perdamaianseorang
Kristen Palestina.BPK Gunung Mulia.Jakarta. 2009, p. 47
No comments:
Post a Comment