Wednesday, 24 April 2013

INDIVIDU SEBAGAI AGEN SEJARAH



PENDAHULUAN
Filsafat eksistensialisme pertama kali diperkenalkan oleh Kierkegaard yang pada masanya sangat menentang semua pandangan yang justru mengekang individu. Kierkegaard hendak mengembalikan nilai-nilai individual manusia. Baginya, yang terpenting adalah eksistensi manusia personal. Bagi Kierkegaard, eksistensi menunjuk pada cara berada yang membedakannya dari cara berada makhluk-makhluk lain. Eksistensi berarti cara berada manusia yang otentik dan meliputi totalitas diri sendiri dalam suatu pendirian atau sikap yang serius tentang dirinya. Berada disini merupakan suatu tindakan yang menunjukkan keautentikan diri individu ketika ia memilih dan menentukan apa yang akan ia lakukan. Semuanya ini mengarahkan individu untuk menjadi semakin kongkret, yakni menjadi diri sendiri. Menjadi diri sendiri disini maksudnya adalah menjadi lebih tegas sebagai seorang individu yang tidak sekadar tenggelam dalam suatu kelompok atau kerumunan. Karena kelompok atau kerumunan bersifat abstrak dan menyembunyikan identitas sejati seorang. Jadi, dapat ditegaskan bahwa menjadi diri sendiri berarti mentransendenkan universalitas demi individualitas.
Kierkegaard menerangkan eksistensi dalam tiga tahap, yakni tahap estetis, tahap etis dan tahap religius. Eksistensi tahap estetis yakni bagaimana  individu menghayati kehidupannya tanpa menghiraukan tindakan-tindakan yang ia lakukan, entah itu baik atau buruk. Motivasi terdalam bagi seorang manusia estetis adalah keinginan untuk menikmati kesenangan-kesenangan inderawi dan perasaan-perasaannya. Hidup manusia dalam tahap ini ditata menurut dorongan emosi yang bersifat langsung dan spontan. Bagi manusia etis, norma-norma moral merupakan pedoman menuju suatu kehidupan yang ideal, yaitu keteraturan dalam hidup bersama. Di sini, pertimbangan rasio memainkan peranan penting dalam memberikan bentuk dan konsistensi pada kehidupan. Obyektivitas nilai moral universal menjadi standar bagi manusia etis untuk bertindak. Di sini, manusia etis berada di persimpangan jalan di mana ia harus memilih, atau tetap bertahan dalam tuntutan normatif atau memutuskan untuk beralih ke tahap yang lebih tinggi, yakni tahap religius. Karakteristik eksistensi tahap religius ditandai dengan suatu loncatan iman, artinya individu menyadari keterbatasannya dan menerima kehadiran Allah sebagai jaminan rasa aman dan pengharapan (penyerahan diri kepada Allah). Pada tahap ini, iman manusia berperan utama dan rasio dikesampingkan. Manusia religius mengambil keputusan mengenai sikap dan tindakannya tidak berdasarkan keinginan inderawi, tidak pula menurut norma-norma moral yang berlaku tetapi menurut imannya akan Allah. Artinya, pilihan-pilihan dan tindakannya diputuskan dalam hubungan personalnya dengan Allah yang ditemukan dalam kedalaman dirinya. Hubungan tersebut amat personal sehingga tidak dapat dimasuki oleh orang atau instansi luar manapun. Dengan kata lain, kehendak Allah menjadi pedoman bagi manusia religius dalam menghidupi atau menjalankan pengalaman eksistensialnya.[1]

INDIVIDU SEBAGAI PEMERAN UTAMA
Untuk bereksistensi, individu harus melibatkan kualitas dalam dirinya yang tidak lain adalah partisipasi secara sadar dalam bertindak. Kesadaran yang menggerakkan manusia untuk bertindak itulah yang membuat manusia bereksistensi. Dari sini kita dapat mengandaikan individu yang bereksistensi sebagai pemain (actor) dan bukan penonton (spectator) dalam pentas kehidupannya; Ia dianggap sebagai pemeran penting atau pemeran utama dalam pentas kehidupannya. Setiap individu harus tampil sungguh-sungguh sebagai seorang actor yang bebas memilih makna hidupnya dan terlibat dalam setiap peran yang dimainkan.
Eksistensialime mengajarkan individu untuk menjadi dirinya yang utuh. Anda akan jadi apa dimasa depan, itu tergantung pilihan-pilihan Anda saat ini. Dalam hubungannya dengan Pendidikan Kristiani saya rasa hal ini juga sudah disinggung dalam materi SCP, dimana individu yang merupakan actor ini adalah subjek (peserta didik) yang berhak memilih dan punya kebebasan dalam menentukan apa yang akan ia lakukan dalam menjalani kehidupannya (ada dalam G5, keputusan untuk hidup sesuai Iman Kristen). Dengan kata lain, disini menunjukkan bahwa manusia hadir sebagai pelaku dalam sejarah hidupnya yang tercermin dalam tindakannya didunia.
Untuk lebih dalam melihat sisi Pendidikan Kristianinya, perlu kita perhatikan bahwa individu disini bergerak sebagai agen Kristus dalam kehidupan sehari-harinya dimana dengan pilihan-pilihan yang ia ambil diharapkan dapat menjadikan dia jauh lebih baik dari sebelumnya. Untuk itu, setiap individu dituntut keberanian untuk membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan fundamental yang memberi arti bagi hidupnya. Disini manusia disadarkan kembali akan keberadaan dirinya sebagai penentu nilai dan pengambil keputusan. Namun, yang menjadi tantangan bagi kita saat ini adalah bagaimana kita menentukan pilihan-pilihan kita agar tetap sesuai dengan iman kristian yang kita pegang.
Manusia yang sungguh mengada bukanlah manusia penonton yang hanya menyaksikan, melainkan manusia pelaku (actor) yang secara aktif dan kreatif memikirkan pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan atas sikap dan perilakunya. Makna hidupnya ditentukan dalam tindakan memilih dan memutuskan dengan komitmen yang tegas. Untuk itu, dalam menyikapi tantangan dalam menentukan pilihan kita perlu jeli dalam memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Dengan demikian, kehendak bebas dan keputusan dalam menentukan sikap dan tindakan sangatlah penting. Pilihan-pilihan atau keputusan-keputusan hidup pertama-tama adalah tugas dan tanggung jawab setiap individu, sebab individu merupakan subjek yang berperan penting dalam mengambil inisiatif dan berani secara mandiri menentukan pilihan atau keputusan atas sikap dan tindakannya.

KESIMPULAN
Kierkegaard melukiskan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas menghayati kehidupannya, bebas menentukan pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan bagi sikap dan perilakunya yang tentu saja nantinya dapat mempengaruhi hidupnya kedepan. Menarik bahwa Kierkegaard melihat dinamika perkembangan eksistensi manusia tersebut secara bertahap, artinya bahwa semakin menuju ke tahap yang lebih tinggi, dari tahap estetis ke tahap etis dan memuncak pada tahap religius, semakin manusia menemukan makna eksistensinya, walaupun tidak semua orang dapat sampai pada tahap yang ketiga yakni tahan religius. Keunggulan lainnya bahwa Kierkegaard memandang manusia beriman (manusia religius) sebagai manusia sejati. Manusia beriman berarti manusia yang menyadari kelemahan dan keterbatasannya dan mengakui kehadiran Allah sebagai jaminan bagi kepenuhan hidupnya. Ia membuat pilihan dan mengambil keputusan bagi sikap dan tindakannya berdasarkan iman personalnya akan Allah. Bagi Kierkegaard, di sinilah letak makna eksistensi manusia beriman bahwa ia membuat pilihan dan mengambil keputusan personal secara langsung di hadapan Allah dalam kedalaman dirinya tanpa dimasuki oleh orang atau instansi manapun.
Selain itu, seperti yang telah saya paparkan diatas, intinya adalah: manusia yang sungguh mengada adalah manusia yang berperan sebagai actor yang aktif dan kreatif menyiasati hidupnya dan bukan sekedar spectator. Itu berarti ia harus sungguh-sungguh memerankan dirinya sebagai subyek yang mengambil inisiatif dan berani secara mandiri menentukan keputusan atas sikap dan perilakunya. Inilah yang disebut sebagai individu sebagai agen sejarah.


[1] lih. Hidya, Thomas. Kierkegaard dan pergulatan menjadi diri sendiri. Jakarta. Gramedia. 2004,p. 88-81
  bdk. Mahmudah. Filsafat eksistensialisme: telaah ajaran dan relevansinya dengan tujuan pendidikan di Indonesia   Jurnal pemikitan alternatif pendidikan,p. 5

No comments:

Post a Comment