A.
Pendahuluan
Pada masa Kekristenan awal, kata Gereja (ἐκκλησίᾳ) merupakan kata yang digunakan
untuk menggambaran “komunitas orang-orang
yang seiman”. Kata ekklesia dalam
bahasa ibrani diterjemahkan dengan kata qahal
(bertemu, berkumpul) קָהָל (bdk.Ul.23:1-14). Penggunaan
kata ekklesia mendeskripsikan kehidupan Kekristenan dalam sebuah komunitas,[1] di mana mereka berkumpul bersama dan memecah roti, dan Kristus hadir di tengah-tengah mereka. Namun rupanya konsep ekklesia dalam Perjanjian Baru bukan
hanya sekedar konsep keagamaan, melainkan juga konsep sipil-politik. Hal ini
berarti ekklesia juga adalah perhimpunan dari warga merdeka yang berkumpul
untuk menentukan sendiri urusan-urusan politis-rohaninya. Karena perempuan
berada dalam tatanan sosial politik yang patriakal, mereka tidak bisa
memutuskan urusan-urusan keagamaan-teologis mereka sendiri. Berangkat dari hal tersebut, muncullah kesadaran kritis feminis,
dalam bentuk ekklesia kaum perempuan (yang memiliki pengharapan akan masa depan dan realitas
masa kini, dan mengambil bagian dalam pengambilan keputusan gereja, serta
saling mengasuh antar perempuan-perempuan Kristen).[2] Dalam pembahasan paper pada bagian selanjutnya, kelompok berusaha memaparkan
bagaimana proses dan
perjalanan, serta perkembangan para feminis hingga mampu memberi dampak
yang luar biasa dalam konteks saat ini.
B.
Perempuan
dan Alkitab
Kebiasaan
mengecilkan atau bahkan menghilangkan peranan perempuan dalam sejarah misi
mempunyai akar-akar di dalam kebiasaan zaman para penulis Alkitab yang semuanya
laki-laki dan pemuja model laki-laki.[3] Tidak
dapat diragukan bahwa bahasa alkitab bersifat androsentrik (yaitu: berpusat
pada laki-laki misalnya, semua rasul adalah laki-laki, murid-murid Yesus pun laki-laki,
padahal sebenarnya banyak juga murid Yesus yang perempuan). Bahasa Androsentrik
tersebut menyebutkan perempuan hanya apabila kehadiran mereka menjadi suatu
masalah, atau apabila mereka “luar biasa”. Perempuan seringkali dipinggirkan
bahkan disingkirkan, dan tidak jarang dikaitkan dengan seksualitas dan
pornografi.[4]
Sampai awal abad ke-19, sebagian besar karya intelektual
dan teologis dikerjakan tanpa perspektif prafeminis. Tidak ada kesadaran bahwa
pengalaman perempuan juga relevan untuk karya intelektual. Dunia intelektual
adalah dunia kaum lelaki, dan perempuan hanyalah bagian dari cerita laki-laki.
Kesadaran prafeminis ini memang mengakui bahwa kehidupan perempuan mempunyai
beberapa aspek yang unik, namun perbedaan yang dimiliki aspek-aspek ini tidak dipandang penting.[5]
Banyaknya tradisi dan ajaran yang sifatnya merendahkan kaum perempuan,
didasarkan pada anggapan “kepemimpinan laki-laki dalam
tatanan penciptaan”. Ide ini pada dasarnya menyamakan tatanan sosial laki-laki dengan tatanan
yang diciptakan Tuhan atau hukum alam. Kepemimpinan laki-laki dianggap sebagai sifat yang melekat
pada makhluk yang dikehendaki oleh Tuhan, dan tatanan sosial membutuhkan
kekuasaan dan kedaulatan laki-laki dalam
masyarakat, sehingga wanita tidak boleh
memprakarsai ide-ide atau melakukan keinginannya secara bebas.[6]
Di
sisi lain, dalam dokumen konsili Vatikan II diputuskan bahwa mereka yang berhak
melakukan pelayanan hanyalah kaum laki-laki. Oleh karenanya sejak tahun 1985
keuskupan digambarkan sebagai gereja patriakal atau yang disebut dengan 'Bapa
Kudus', hal ini menggambarkan bahwa gereja didominasi oleh kaum laki-laki.[7]
Dominasi patriakal yang ada, membuat kaum perempuan tidak mendapat kesempatan
untuk melayani ataupun ditabiskan menjadi seorang pemimpin umat. Walaupun
perempuan sedikit banyak memang masih dapat terlibat dalam pelayanan, namun
tetap ada perbedaan kedudukan antara wanita dan laki-laki, posisi mereka dalam
pelayanan tetap berada dibawah uskup, pendeta, diaken atau pemuka agama. Rendahnya
peran dan pengakuan sinode dan kepengurusan gereja terutama Katolik terhadap
perempuan, membuat kaum perempuan terdiskriminasi dalam kepengurusan gerejawi.
Pandangan seperti ini sudah seharusnya dirubah, di mana yang seharusnya
terwujud adalah keseimbangan pelayanan antara kaum wanita dan pria, termasuk
melibatkan wanita dalam pemilihan paus.[8]
C.
Munculnya Kritik
Feminis
Kaum perempuan dalam tradisi kitab suci merupakan salah
satu dari mereka yang termarginalkan statusnya. Bahkan hingga sekarang, sebagian
besar kaum perempuan terus berjuang mengupayakan kesamaan gender dan berusaha melepaskan diri
dari pemahaman sosial yang patriakal. Proses melihat kembali tradisi (dimana kaum perempuan menjadi salah satu dari yang
termarginalkan) merupakan upaya para teolog feminis untuk membuka mata dan membuat
perspektif baru dalam melihat tradisi dan
penafsiran-penafsiran kitab suci secara lebih terbuka. Russel,
salah seorang tokoh feminis mengupayakan pergeseran Paradigma, di mana
sebelumnya setiap topik akan dipandang dari sudut pandang jabatan atasan atau
bawahan, yang di mulai dengan Allah sebagai puncak, kemudian laki-laki,
demikian seterusnya hingga pada anjing, tanaman, dan benda mati. Keadaan
tersebut merupakan paradigma autoritas sebagai dominasi.[9] Upaya
paradigma feminis yang sedang muncul adalah paradigma autoritas sebagai kemitraan.
Dalam pandangan ini autoritas dilaksanakan dalam komunitas dan cenderung
meneguhkan kerja sama dengan sumbangan dari berbagai pihak yang memperkaya
keseluruhan. Dalam hal ini perbedaan menjadi suatu nilai yang dihargai dan
dihormati, mereka yang melihat dirinnya tersisih dari Gereja dan masyarakat
mulai menemukan martabat sendiri sebagai manusia. Kabar baik disampaikan kepada mereka yang miskin dan
tersisih sebagai suatu jalan untuk memahami horizon pengharapan akan Penciptaan
Baru Allah.[10]
Kisah-kisah tentang perempuan dalam kitab suci menjadi sarana bagi para teolog
feminis dalam menafsirkan teks yang sifatnya mengangkat perempuan “womanist”[11].
Bagi para kaum feminis, beriman kepada Allah diwujudnyatakan dengan “doing theology”[12],
aksi dan refleksi, beriman kepada Allah, dengan membuka mata kita,
melihat konteks sekitar kita dan mengupayakan pembebasan
bagi mereka yang termarginalkan[13]
(orang miskin, orang-orang lemah yang tertindas sosial, politik dan ekonomi).
Kesadaran kritis feminis terhadap sistem sosial yang
patriakal membangun suatu paradigma baru dalam komunitas sosial dan gereja,
dimana laki-laki dan perempuan bekerja
sama sebagai partner yang sejajar posisinya, tidak ada yang di atas maupun di
bawah. Walaupun memang tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi kitab suci yang kita
miliki saat ini banyak ditafsirkan dan diinterpretasikan dalam sudut pandang
patriakal[14]
hingga berakar dalam pola pikir dan pemahaman jemaat. Pada intinya kaum feminis
ingin membawa perspektif baru pada dunia dalam melihat pengalaman dan pemahaman
perempuan untuk dihayati bersama, dan oleh karena itu kepercayaan religius kita
perlu didasarkan atas pengalaman historis orang Yahudi dan orang kristen yang
diungkapkan melalui teks Kitab Suci; kesadaran kritis feminis harus membentuk
teologi dengan cara beranjak dari kritik ke alternatif yang konstruktif.[15]
Jon Sobrino menawarkan pemahaman “ecclesial solidarity” dimana gereja menjadi komunitas yang dibangun berdasarkan asas kebersamaan dan
solidaritas. Dalam sudut pandang pemahaman feminis, gereja juga
diinterpretasikan sebagai komunitas yang bergerak dan berefleksi atas imannya
kepada Yesus Kristus, komunitas yang berkumpul bersama untuk memperjuangkan
kebebasan atas penindasan (kemiskinan, rasis, dll) serta
untuk mengupayakan kebebasan berpendapat dan berekspresi
sebagaimana dirinya setara dengan kaum laki-laki sebagai seorang manusia dalam
komunitas sosial dan bergereja.[16]
D.
Tokoh-tokoh
Feminis dan Gerakan yang mereka lakukan
-
Elizabeth Schϋssler Fiorenza
Berbicara tentang ekklesiologi feminis, Elizabeth
Fiorenza memiliki pemahaman sendiri dari perspektif feminis. Kaum feminis berangkat dari pengalaman
perempuan dalam sejarah kitab Suci hingga konteks sosial saat ini yang sering
dikesampingkan status sosialnya, baik di dalam komunitas masyarakat maupun dalam kehidupan
bergereja. Pusat
hermeneutis dari penafsiran Alkitab kaum feminis adalah gereja perempuan,
sebuah gerakan agama alkitabiah yang terbuka kepada penganut perempuan maupun
laki-laki yang berorientasi dari perspektif feminis. Ekklesia perempuan merupakan bagian dari gerakan perempuan yang
lebih luas dalam masyarakat dan keagamaan yang memahaminya bukan hanya sebagai
gerakan hak-hak asasi, melainkan merupakan gerakan pembebasan perempuan.
Sasarannya bukan hanya “kemanusiaan yang utuh” para
perempuan, tetapi juga penegasan diri religius, kekuasaan, dan
kebebasan kaum perempuan dari segala bentuk aleinasi, penyepelean dan
penindasan corak patriakal. Gerakan feminisme merupakan gerakan yang
memperjuangkan perubahan; Patriaki tidak dapat dirobohkan kecuali kaum
perempuan kelas terendah dari piramida patriaki dan mereka yang tertindas itu
dibebaskan.[17]
- Elizabeth C. Stanton
Elizabeth
C. Stanton dan para ahli kitab suci mengawali kritik feminis pada abad ke-19,
di mana Kitab Suci masyarakat Barat disalahfungsikan sebagai sumber utama dan
pembenaran terhadap penindasan perempuan, baik di lingkungan keluarga,
masyarakat, maupun Gereja.[18] Selama
tahun 1895-1898 ia menerbitkan Kitab Suci versi perempuan, yakni The Woman’s
Bible. The Woman’s Bible merupakan
tafsiran kitab Suci yang feminis, yang berangkat dari kesadaran kritik feminis,
di mana perempuan dan laki-laki sama-sama manusia yang utuh sederajat.[19]
Buku tersebut ditentang karena perspektif hermeunetiknya yang radikal. Kritik
Candy Stanton yang radikal ingin menegaskan bahwa Alkitab tidak dapat diterima
atau ditolak secara keseluruhan karena ajaran-ajaran dan pesan-pesannya sangat
berbeda-beda.[20]
- Letty M. Russel
Letty
M. Russel merupakan sosok orang Kristen berkulit putih dari kelas menengah yang
melayani kaum gembel di kota besar. Ia telah melayani selama 17 tahu di suatu
jemaat Protestan yang warganya terdiri dari orang miskin dan campuran berbagai
ras. Russel menyatakan bahwa ia dan teman-temannya yang berkulit hitam
diciptakan dan dipanggil oleh firman dalam Alkitab untuk menjadi mitra Allah
dalam pemulihan ciptaan.[21] Sebagai
seorang feminis, Russel melihat Alkitab sebagai sumber pengharapan akan keadilan
dan pembebasan. Hal tersebut merupakan kunci bagi mereka yang bergumul dengan
struktur penindasan.
E.
Spiritualitas
dan Eklesia kaum perempuan (Bagian pertama)
Semangat
gerakan feminisme berawal dari sebuah keprihatinan akan dunia yang merendahkan
citra perempuan, feminisme merupakan sebuah ikatan persaudaraan kaum perempuan
untuk memperkuat diri dan mengklaim kembali panggilan baptisan kaum perempuan
menuju kepada kemuridan yang sederajat. Gambar dan pemahaman diri ini merupakan
sebuah perwujudan sentral dan penjelmaan visi tentang gereja yang hidup dalam
solidaritas dengan kaum tertindas dan miskin, yang kebanyakan adalah perempuan.
Baptisan adalah sakramen panggilan untuk hidup sederajat. Kaum perempuan
menanggapi sakramen baptisan dalam sebuah praksis kristiani untuk mengangkat
kesederajatan dan melawan penindasan yang selama ini dialaminya. Spiritualitas
berkaitan dengan kehidupan jiwa, kehidupan doa dan ibadah, meditasi dan
kesatuan mistis, dengan terus menyadari pengalaman-pengalaman akan kehadiran
Allah. Spiritualitas juga termasuk pengalaman akan injil, yang berarti masuk ke
dalam sebuah persekutuan komunal, karena injil bukanlah hanya masalah
pengalaman individu saja, tetapi Injil juga merupakan panggilan bagi gereja
sebagai kemuridan yang sederajat, yang selalu diperbaharui dalam roh.[22]
Dalam
Perjanjian Lama eklesia berari “perhimpunan umat Israel di hadapan Allah.”
Dalam Perjanjian Baru Eklesia berarti, perhimpunan umat Allah di sekitar meja
yang dibangun melalui perantaraan roh, makan bersama, memecah roti dan minum
cawan sambil mengenang penderitaan dan kebangkitan Kristus.[23]
Dari sini spiritualitas kristen berarti, makan, minum, berbagi, bercakap secara
bersama-sama akan kehadiran Allah satu sama lain, serta memberitakan injil
kepada semua orang, khususnya bagi mereka yang miskin dan tersiksa. Jikalau pemahaman
eklesia dan spirtualitas kristen demikian, maka ketika perempuan masih belum
mendapatkan haknya atau kemerdekaannya, berarti eklesia sebagai kemuridan yang
sederajat masih belum terwujud.[24]
Spiritualitas
Kristen feminis berakar di dalam eklesia perempuan sebagai “tubuh Kristus”. Perempuan telah sekian lama
dijadikan objek oleh laki-laki, objek kekerasan, pelacuran, penyiksaan serta
pembatasan ruang gerak dalam gereja dan publik menegaskan bahwa perempuan harus
mengklaim kembali tubuh perempuan sebagai “gambar dan tubuh Kristus”.
Perempuan-perempuan yang memiliki semangat bersama untuk menuntut hak eklesia
feminis, berkumpul dalam meja oikumenis bersama-sama bertanggung jawab dan
bersahabat untuk menentukan kesejahteraannya sendiri yang mencakup tubuh dan
jiwa, hati dan rahim peranakan. Spiritualitas kristen feminis berusaha mengajak
kepada semua perempuan untuk menghimpun menjadi eklesia kaum perempuan yang
diutus untuk memberi makan, menyembuhkan dan membebaskan kaumnya sendiri.
Melalui eklesia ini, kaum perempuan juga mampu menyingkapkan
kepalsuan-kepalsuan sistem hirarki kaum laki-laki yang mendominasi (teologi,
hukum, liturgi dan spiritualitas). Eklesia kaum perempuan berkumpul bukan
hendak menentang kaum laki-laki, melainkan agar para perempuan dapat menjadi
eklesia di hadapan Allah, dan para perempuan akan bertanggung jawab secara
mandiri atas apa saja keputusan mereka untuk mencapai kesejahteraan. Tentunya
ini terjadi karena tradisi rohani yang mengklaim bahwa laki-laki memiliki
martabat ilahi, sehingga laki-laki harus melepaskan kontrol ilahi atas kaum
perempuan pula atas gereja untuk mewujudkan hubungan yang mutualitas (timbal
balik) antara laki-laki maupun perempuan. Di sisi lain, kaum perempuan juga
diperhadapkan pada kenyataan bahwa (oleh beberapa kaum perempuan yang merasa)
gambaran Allah yang benar adalah laki-laki (father
right), dan ironisnya baik laki-laki maupun perempuan menolak status
kependetaan bagi perempuan karena alasan tersebut.[25]
Semangat oikumenis perempuan perlu dibangun, disini para perempuan tidak hanya
dituntut untuk menyadarkan laki-laki semata, tetapi juga menyadarkan para
kaumnya sendiri untuk tidak larut dalam nostalgia tekanan patriakal yang
mendarah daging, yang menyebabkan perempuan justru pasrah menerima keadaaan
yang sudah ada. Pernyataan “ekklesia kaum perempuan” atau “gereja perempuan”
mencoba untuk mengembalikan kesadaran bahwa wanita adalah gereja dan selalu
menjadi gereja.[26]
F.
Spiritualitas
dan Eklesia kaum perempuan (Bagian Kedua)
Secara
tradisi kehidupan kaum perempuan hanya sebatas mengurus keluarga dan bekerja di
rumah. Pengalaman kehidupan sehari-hari ini membuat mereka menggumuli relasi
dengan Allah. Dalam proses ini kaum
perempuan berusaha memahami Tuhan melalui
kesadaran akan diri mereka sebagai bagian dari ciptaan Allah.
Kaum femisis berusaha memahami panggilan Tuhan yang ada dalam diri mereka
melalui sebuah relasi
spiritualitas, yang diawali dari diri
sendiri, kemudian
diwujudkan dalam aksi memperjuangan keadilan.
Sebuah gambaran spiritualitas tercermin dalam
tindakan kaum perempuan ketika memilih untuk menghargai kehadiran mereka
sebagai suatu anugerah dari Tuhan. Hal tersebut berbeda ketika dilahirkan
menjadi seorang perempuan dari seorang ayah dan ibu. Kaum perempuan tidak dapat
memilih untuk dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Kebenaran yang sama berlaku saat memilih diri menjadi wanita yang utuh. Ketika mengambil
pilihan, setiap perempuan memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi diri dengan
cara yang diinginkan. Memilih untuk
menjadi seorang wanita atau pria berarti tidak hanya sekedar menerima keadaan
dan tubuh apa adanya, dengan keterbatasan yang ada, dalam bentuk ras, seks,
keluarga, kelas dan budaya. Kaum laki-laki memiliki dominasi dalam
kepempimpinan. Sedangkan kaum perempuan ditindas oleh sistem patriakal yang didominasi
oleh kaum laki-laki. Menerima menjadi seorang perempuan Kristen berarti
berkomitmen untuk mengenali diri sendiri, mencintai dan menjalin relasi dengan orang lain untuk
mewujudkan suatu kebebasan. Menjalin
relasi persaudaraan merupakan bagian dari spiritualitas feminis. Melalui relasi
ini kaum perempuan merasa kehadiranya semakin utuh sebagai karya penciptaan
Tuhan. oleh karenanya spiritualitas harus menjadi sebuah petunjuk yang
memberikan arti, nilai secara penuh atas pengalaman yang dialami. Relasi
persaudaraan juga tergambarkan melalui rasa solidaritas di meja perjamuan yang seringkali
dilakukan dalam gereja. Dalam meja perjamuan kaum perempuan saling berkomitmen
untuk bersama-sama melayani Tuhan, bekerja mewujudkan keadilan dan mengubah
dunia. Dalam pelaksanaanya banyak ketakutan yang dialami oleh kaum wanita,
ketika mereka harus memimpin institusi gereja. Hal ini terkait dengan kuatnya tradisi
kristiani yang selama ini dihidupi bahwa kaum wanita, seharusnya wanita berada
dalam ranah domestik. Pada dasarnya
spiritualitas feminis tidak hanya berfokus dalam tradisi, tetapi menjadi bagian
dari transformasi tradisi yang berbicara mengenai cinta Tuhan dan menjadi
sebuah komunitas yang terbuka untuk semua orang. Spiritualitas feminis
merupakan sebuah jembatan yang menghubungkan komunitas iman dan mewujudkan
perjuangan keadilan .
Kaum
perempuan menyadari bahwa untuk menghargai dirinya, mereka harus bangkit dari
situasi yang ada. Dengan menyadari potensi yang ada dalam diri mereka, kaum
perempuan berusaha untuk bangkit melawan penindasan yang ada sesuai dengan
peran mereka dalam budaya. Melalui penghayatan diri, bersama dengan orang lain
dan Tuhan, kaum perempuan merasa menjadi manusia yang utuh. Pengalaman
kehidupan membuat mereka menemukan sebuah spiritualitas baru untuk lebih
menghayati kehadiran diri mereka sekaligus relasi mereka dengan Allah. Kaum
perempuan membentuk sebuah komunitas yang setara diposisikan seperti sebuah
meja dapur, dimana sesama kaum perempuan saling berjuang sebagai saudara dan menerima
diri sebagai anugerah Tuhan, untuk memperjuangkan keadilan atas realitas
ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kaum perempuan berusaha
menghadirkan sebuah eklesiologi gereja yang hadir dan membebaskan mereka yang
menderita. Melalui suatu gambaran meja dapur (bulat) kaum perempuan
mengibaratkan mereka hadir untuk saling berbagi dengan sesama yang membutuhkan
dan bersama-sama saling berjuang mewujudkan keadilan. Dalam memperjuangkan
keadilan kaum wanita seringkali harus berhadapan dengan batasan- batasan
sosial antara lain seperti ras, jenis
kelamin, orientasi seksual, maupun kelas.
Dalam
prosesnya kaum perempuan dari
semua golongan dan iman,
dapat berbagi dalam mengeksplorasi
perjalanan iman mereka. Ini adalah spiritualitas tanpa nama, spiritualitas saudara menghubungkan kepribadian dan
politik untuk tujuan transformasi dan keterbukaan. Dalam mewujudkan spiritualitas dalam sebuah
relasi dibutuhkan beberapa syarat (1) saling bersinergi, dalam membangun sebuah
relasi spiritual diperlukan bekerja sama dalam menjalani setiap permasalahan, (2)
kesanggupan untuk melewati ketegangan yang ada, (3) melakukan sharing atas
pengalaman spiritual dan hasil pengalaman kehidupan.[27] Spiritualitas feminis
ini pada akhirnya menghantar setiap perempuan untuk menjadi manusia yang utuh,
sebagai wujud penghargaan akan karya Tuhan yang nyata dalam dunia ini.
Setelah
konsili vatikan II berlangsung, kaum perempuan mulai mendapat jalan untuk mewujudkan
harapannya. Dengan berpijak pada konsep baptisan, kaum perempuan mulai bangkit
untuk mewujudkan gereja sebagai pemuridan yang setara. Dengan dibekali pengalaman
masa lalu dan masa sekarang.[28]
Saat ini kaum perempuan mulai muncul dan bebas berekspresi dalam pelayanan
gereja. Hal ini dapat tercapai dikarenakan adanya suatu kesadaran bahwa gereja sudah
saatnya hadir sebagai komunitas pemuridan yang setara. Artinya setiap warga
gereja memiliki hak demokratis untuk terlibat dalam pelayanan gereja, tidak hanya
kaum laki-laki saja. Sebuah visi yang menjadi harapan kaum feminis dalam
institusi gereja adalah seharusnya sistem gereja bersifat bundar seperti sebuah
meja, bukan lagi berbentuk piramida dimana ada tingkatan hirarki di dalamnya.
Sebagai anggota gereja setiap orang didalamnya memiliki hak yang sama dalam
pelayanan, hendaknya sebuah pelayanan tidak saling mendominasi tetapi saling
membantu. Walaupun dalam pergerakannya tidak terlalu ideal seperti yang
diharapkan namun kaum perempuan sudah mendapat posisi yang lebih baik daripada
sebelumnya, kehadiran mereka sebagai pelayan gereja perlahan-lahan mulai
diakui, walaupun dalam beberapa ritual gereja mereka belum mendapat kebebasan
untuk melakukan pelayanan sepenuhnya antara lain dalam sakramen dan berkotbah.
Namun, visi mereka untuk mewujudkan pelayanan pemuridan yang setara telah
tercapai.
G.
Tanggapan
Kelompok
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, kelompok melihat
bahwa memang teks Alkitab yang kita gunakan saat ini
tidak bisa kita ubah, namun yang
bisa kita lakukan adalah melakukan penafsiran ulang dan memperbaharui paradigma yang salah selama ini
(patriakhal dan androsentrik). Begitu juga
dengan struktur patriakhal zaman dahulu yang tidak bisa dihapus, karena sudah terjadi dan
berjalan sedemikian rupa, namun
bisa kita dibenahi dengan pola pikir baru seperti yang
dilakukan oleh kelompok feminis; memperjuangkan kesetaraan bagi kaum yang
tertindas untuk kehidupan sosial yang lebih baik. Perlu disadari bahwa untuk
memperoleh pembebasan seperti yang diidam-idamkan oleh para pejuang feminis,
seluruh kaum perempuan juga harus “sama kata sama rasa”, dimana sebagai seorang
perempuan mereka saling mendukung satu sama lain untuk memperoleh kebebasan dan
kesetaraan gender dengan kaum laki-laki. Namun rupanya, pemikiran
maskulin sering kali tidak
hanya dimiliki oleh kaum
laki-laki saja.
Tidak sedikit dari perempuan yang juga masih memiliki pemikiran tersebut; melihat gambaran Allah yang
benar adalah laki-laki (father right),
dan merasa memang sudah seperti inilah seharusnya nasib
perempuan, berada dibawah kaum laki-laki. Ironisnya
lagi baik laki-laki maupun
perempuan masih ada yang menolak
status kependetaan bagi perempuan karena alasan tersebut.[29] Maka dari itu, dalam
melakukan kritik feminis tantangan yang dialami tidak hanya dari para
laki-laki, tetapi juga sebagian perempuan yang masih bertahan dengan pemikiran
maskulin dan patriakhal.
Di pihak lain, Gereja sebagai persekutuan umat Allah, harus
mulai membenahi diri dan menyadari pentingnya kepedulian akan upaya kesetaraan
gender (Allah menciptakan manusia itu menurut
gambarNya, Menurut Gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka-> Kejadian 1:27).
Sebagai ciptaan Allah, perempuan dan laki-laki memiliki harkat dan martabat
sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pandangan
patriakal yang telah berakar dalam struktur gerejawi memang sulit untuk
dimusnahkan begitu saja, tetapi dengan proses dan perubahan paradigma, serta
gereja yang semakin terbuka terhadap konteks dan permasalahan sekitarnya (sama
seperti apa yang telah diperjuangkan oleh para teolog feminis dan pembebasan),
kelompok rasa sangatlah mungkin dunia ideal dimana laki-laki dan perempuan
hidup sebagai manusia yang setara derajatnya terwujud. Artinya, ketika
gereja sudah bersedia untuk menerima kaum perempuan
dalam lingkup pelayanan itu maka
gereja harus membangun sebuah komitmen. Sebab,
untuk mewujudkan pemuritan yang setara gereja harus
memiliki komitmen yang kuat, terutama dalam memperhatikan permasalahan kaum
feminis yang terjadi, karena komitmen inilah yang membuat gereja akan tetap
berada di dalam ranah pemuritan yang setara, hal ini juga meminimalkan
kembalinya kekuasaan hanya dominasi
laki-laki dalam pelayanan gereja. Disisi lain sebuah komitmen juga membantu
gereja untuk tetap berada pada tujuannya dalam memperjuangkan keadilan bagi
kaum yang tertindas.
Nah, yang menjadi pertanyaan kelompok apakah upaya yang
dilakukan oleh teologi feminis terhadap kaum perempuan dan kehidupan sosial
masyarakat dalam lingkup gereja, sudah diimbangi dengan kesiapan gereja akan
hadirnya perempuan sebagai seorang pemimpin jemaat? Selain itu dari pihak
perempuan sendiri, apakah kaum perempuan sudah siap untuk menjadi pemimpin atau setidaknya menerima tanggung jawab lebih di dalam
konteks sosial masyarakat dan bergereja; mengambil peran dalam menentukan
keputusan-keputusan di masyarakat dan di gereja?
[1] Lih.Russell, Letty M. Church in the round: Feminist interpretation of the chruch.
Louisville, Kentucky. Westminster/John Knox Press. 1993. Hal
42-43
[2]
Fiorenza, Elizabeth Schϋssler. In Memory of Her.
Ter : Stephen Suleeman. Untuk mengenang perempuan
itu: Rekonstruksi teologis feminis tentang asal-usul Kekristenan.Jakarta.
Gunung Mulia.1995. Hal 437
[3]
Emanuel Gerit Singgih. Menguak Isolasi,
menjalin relasi –Teologi Kristen dan tantangan dunia postmodern-. Jakarta :
Gunung Mulia. 2009. Hal 120
[4]
Mutiara Andalas. Lahir dari Rahim.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 2009. Hal 147-148
[6]
Arvind Sharma (ed). Perempuan dalam Agama-agama Dunia.
Yogyakarta. Copy right, Suka-Press .2005, Hal 291-293
[7]
Ibid, Hal 269
[9]
Ibid. Halaman 157
[11]
Bdk. Russell, Letty M. Church in the round: Feminist
interpretation of the chruch. Louisville, Kentucky. Westminster/John Knox
Press. 1993. Hal 27-29
[15]
Barbara Brown Zikmund. “Kesadaran Feminis dalam Perspektiv Historis”. (Letty M.
Russell) Yogyakarta: Kanisius. 1998.
Hal 31
[16]
Bdk.Russell, Letty M. Church in the round: Feminist
interpretation of the chruch. Louisville, Kentucky. Westminster/John Knox
Press. 1993. Hal 21-22
[17]
Elizabeth Schϋssler Fiorenza. “Kebebasan memilih dan menolak : Melanjutkan
Tugas Kritik Kita”. (Letty M. Russell). Yogyakarta:
Kanisius. 1998. Hal .137-139
[18]
Mutiara Andalas.Lahir dari Rahim.
Yogyakarta : Penerbit Kanisisu. 2009. Hal 147
[19]
Letty M. Russell.Kata pengantar : Membebaskan Firman. Buku : Perempuan dan
Tafsir Kitab Suci. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 1998. Hal 13
[20]
Fiorenza, Elizabeth Schϋssler. In Memory of Her.
Terj : Stephen Suleeman. Untuk mengenang perempuan
itu: Rekonstruksi teologis feminis tentang asal-usul Kekristenan.Jakarta.
Gunung Mulia.1995. Hal 31-33
[21]
Letty M. Russell. “Penafsiran Feminis dan
Tantangannya terhadap Autoritas” (Letty M. Russell). Yogyakarta : Penerbit
Kanisius. 1998. Halaman 151
[22]
Elisabeth Schussler Fiorenza. Discipleship
of Equals : a critical feminist ekklesia-logy of Liberation. Crossroad :
New York. 1993. Hal 198
[23]
Ibid, Hal 199
[24]
Ibid, Hal 199
[25]
Ibid, Hal 240
[26]
Ibid, Hal 240
[27] Spirituality of Connection p, 203
[28] Elisabeth Schussler Fiorenza. Discipleship
of Equals : a critical feminist ekklesia-logy of Liberation.1993. Crossroad
: New York. Hal 293
[29]
Ibid, Hal 240
No comments:
Post a Comment