Wednesday, 28 August 2013

Pandangan Teologis Terhadap Tato

Setelah berbicara panjang lebar tentang pengertian budaya populer, sejarah tato, perkembangan tato di Indonesia, dan tato sebagai seni melukis tubuh, maka saat ini saya akan mencoba melihat bagaimana pandangan teologi terhadap tato yang berkembang luas di kalangan muda saat ini. Tentulah bahwa pandangan teologis tersebut tidak terlepas dari padangan masyarakat pada umumnya. Jika melihat dari sejarahnya, tato mengalami fluktuasi disebabkan oleh berbagai faktor dan juga kepentingan pihak-pihak tertentu (sebagaimana telah dijelaskan di atas). Tetapi keadaan ini berubah seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi. Tato mendapat tempat yang populer di kalangan masyarakat pada umumnya tidak terkecuali kaum muda. Apakah dengan perkembangan tato yang cukup signifikan saat ini, maka pelabelan negatif terhadap tato juga akan menghilang? Saya berharap hal ini terjadi, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan harapan saya. Di Halmahera, khususnya tato masih menjadi momok yang menjijikkan dan menakutkan, sehingga anak muda yang bertato sering dihindari. Hal ini sering dikaitkan dengan perbuatan yang menyimpang, karena pada umumnya anak muda (khususnya laki-laki) yang bertato ialah mereka yang sudah putus sekolah, suka nongkrong di tempat-tempat tertentu, tidak mau bergabung dengan persekutuan pemuda gereja dan suka mabuk-mabukan (meskipun tidak semua anak muda bertato melakukan hal demikian). Tetapi ada beberapa perempuan yang berani menato tubuh mereka meskipun mereka dianggap sebagai perempuan yang tidak benar.[1] Salah satunya yang berhasil saya wawancarai mengatakan bahwa:  
“tujuan saya untuk menato tubuh saya karena sebenarnya saya ingin menunjukkan kepada keluarga saya khususnya mama saya yang terlalu memandang negatif terhadap tato. Mama saya sangat membenci orang yang bertato bahkan saya dilarang keras untuk bergaul dengan teman-teman yang bertato. Selain itu saya mau memperlihatkan bahwa orang yang bertato tidak selama buruk atau jahat. Mereka juga bisa bergaul dengan siapa saja dan bahkan mau mengikuti ajakan kita asalkan mereka kita dekati. Jujur saja, saya melakukan hal ini karena ketertarikan saya terhadap seni dan model-model tato yang unik dan bagus yang berkembang saat ini. Tetapi saya menato tubuh saya di bagian tubuh yang tersembunyi, karena tidak ingin orang banyak melihatnya dan mulai berpikir yang tidak benar. Tetapi seandainya suatu saat hal ini ketahuan maka saya siap untuk menerima resiko dinilai buruk oleh masyarakat. Setidaknya saya dapat membuktikan lewat perbuatan saya bahwa saya bukanlah perempuan yang tidak benar baik kepada masyarakat terlebih khusus kepada mama saya”.[2]
Karena itu saya setuju dengan pendapat Olong  yang mengatakan bahwa tato merupakan salah satu bentuk protes terhadap kelompok dominan atau penguasa dalam hal ini orang tua, kalangan masyarakat elite, norma sosial yang ketat dan sebagainya.[3]



            Secara sosiologis, ada tiga kriteria yang menjadi tolok ukur sehingga suatu perbuatan dianggap sebagai tindakan yang menyimpang. Pertama, perbuatan tersebut dianggap sebagai perilaku yang buruk, menjijikkan atau suatu penampilan yang tidak biasa sehingga tidak pantas dalam masyarakat. Dengan kata lain perbuatan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang mengancam dan membahayakan lingkungan masyarakat. Kedua, perbuatan buruk dipahami dapat menyesatkan orang lain. Ketiga, penyimpangan sosial selalu dikaitkan dengan perilaku, pikiran dan penampilan yang buruk. Akibatnya orang yang berbuat buruk mendapat reaksi negatif dari masyarakat.[4] Berdasarkan pandangan tersebut, maka tidaklah mengherankan jika tato dianggap sebagai perbuatan yang menyimpang, karena dianggap sebagai perbuatan buruk yang tidak biasa dalam lingkungan masyarakat tertentu, yang dapat membahayakan bahkan menyesatkan menyesatkan orang. Secara teologis[5] pun pemahaman tersebut tidak jauh berbeda. Tato secara teologis dipandang sebagai perbuatan yang menodai atau merusak karya Allah.[6] Tubuh merupakan Bait Allah karena itu harus dijaga dengan baik, tidak boleh dinodai bahkan merusaknya. Tato dianggap sebagai perbuatan yang merusak tubuh, karena itu orang yang bertato dapat disamakan dengan orang yang tidak menghargai atau tidak taat lagi terhadap Allah. Hal ini dikarenakan pada umumnya anak muda yang bertato jarang sekali ikut dalam persekutuan dengan jemaat dan kurang terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja. Ada pun ayat-ayat Alkitab yang sering dipakai untuk menyerang orang-orang bertato ialah Imamat 19:28: “Janganlah kamu menggoresi tubuhmu karena orang mati dan janganlah merajah tanda-tanda pada kulitmu: Akulah Tuhan”. Juga I Korintus 6:19-20: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu”.[7] Dengan pandangan teologis seperti ini, maka apa yang harus dilakukan gereja? Apakah gereja akan mengeluarkan kaum muda yang bertato dari keanggotaan gereja, dalam hal ini membiarkan bahkan tidak mengakui mereka lagi? Menurut saya, ayat-ayat tersebut dapat diinterpretasi secara berbeda oleh setiap orang. Dalam hal ini gereja menggunakan ayat-ayat tersebut untuk melegitimasi ajarannya dan menghakimi jemaat, karena tidak ada aturan yang jelas atau pasti yang melarang orang Kristen untuk bertato. Mungkin saja karena ketidaksukaan (memandang negatif) terhadap tato maka gereja berusaha mencari ayat-ayat Alkitab untuk ditetapkan sebagai hukum yang melarang tato. Kedua ayat tersebut bagi saya tidak secara langsung melarang umat untuk membuat tato, persoalan yang ditekankan di dalam ayat tersebut ialah tentang moralitas atau tindakan yang memuliakan Allah. Menurut saya, memuliakan Allah tidak hanya dilakukan dalam peribadahan tetapi juga dalam tindakan yang dilakukan seseorang dan dapat dipertanggungjawabkan olehnya. Itulah sebabnya saya tidak setuju jika tato diidentikkan dengan perbuatan jahat, karena belum tentu perilaku orang yang tidak bertato lebih baik daripada orang yang bertato.  Dari sini jelas bahwa pendekatan teologis yang diberlakukan dalam gereja ialah pendekatan aplikasionis. Kebenaran berasal dari Alkitab dan ajaran gereja, sehingga budaya populer (baca: tato) dinilai berdasarkan kebenaran yang terkandung dalam Alkitab dan ajaran gereja tersebut. Alkitab (ajaran gereja) menjadi penentu sekaligus sebagai penilai baik-buruknya suatu produk budaya populer.[8] Dalam hal ini teologi yang dikembangkan oleh gereja merupakan teologi hitam-putih masih menganggap gereja dan ajarannya yang lebih benar sehingga segala sesuatu harus didasarkan pada keduanya. 
            Pandangan teologis yang dikemukakan oleh gereja saat ini (baca: GMIH), menurut saya bersifat konservatif. Berabad-abad yang lalu sampai saat ini pandangan teologisnya tetap sama. Pandangan demikian secara implisit merupakan tindakan penghakiman yang membuat jemaat tidak berkembang bahkan gereja tidak ada bedanya dengan lembaga yudikatif. Menurut hemat saya, sikap gereja yang demikian disebabkan karena gereja belum siap atau bahkan tidak menerima eksistensi budaya populer yang berkembang saat ini. Budaya populer masih dianggap sebagai ancaman atau saingan gereja, sehingga patut untuk dimusuhi. Sebenarnya jika gereja berani untuk membuka diri bahkan menerima budaya populer maka aka ada hal-hal baru yang dapat dimanfaatkan oleh gereja untuk menjaring atau merangkul jemaat. Secara tidak langsung maka gereja pun terlibat dalam tindakan yang mendiskreditkan kaum muda yang bertato. Kaum muda sangat energik, kreatif, mempunyai jiwa seni yang tinggi dan selalu mengikuti perkembangan (baik itu perkembangan teknologi maupun mode), karena itu dianggap sebagai kaum yang mudah terpengaruh terhadap hal-hal baru. Hal ini dikarenakan mereka selalu ingin memanifestasikan diri terhadap sesuatu yang baru untuk menjawab kegelisahan dalam diri mereka yang terkait dengan harapan mereka akan citra diri yang serba ideal dan indah.[9]
            Identitas kaum muda ini, dapat menjadi senjata bagi gereja untuk melakukan perubahan dan merangkul kaum muda (khususnya yang berato) untuk masuk dalam persekutuan bersama dengan jemaat. Gereja harus memberi peluang terhadap budaya populer, karena tidak selamanya budaya populer itu membawa dampak buruk bagi kehidupan jemaat. Bahkan gereja dapat belajar dari budaya populer dan begitu pun sebaliknya, keduanya dapat saling belajar dan saling memperkaya satu sama lain.[10] Gereja tidak perlu merasa bahwa fenomena tato yang berkembang luas di kalangan muda sebagai hal yang harus diperangi, setidaknya hal tersebut menjadi tantangan bagi gereja yang harus dihadapi dengan bijak. Tugas gereja sekarang ialah menyediakan sarana yang dapat membantu kaum muda mengekspresikan atau menyalurkan kecintaan mereka terhadap seni (tato), sehingga mereka merasa dianggap dan diperhatikan oleh gereja. Gereja tidak perlu takut dengan penilaian sebagian besar jemaat yang belum dapat menerima fenomena tersebut. Bukankah sesuatu yang menyimpang (menurut masyarakat) akan memberikan hal baru bagi sistem masyarakat tersebut? Itulah sebabnya untuk dapat menghasilkan hal baru maka kita harus berani melakukan perbuatan atau tindakan yang tidak biasanya sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat (jemaat) pada umumnya.   

Imel Dalensang☺


[1] Ini merupakan realitas yang terjadi di jemaat tempat saya tinggal yaitu jemaat GMIH khususnya Bait-El Kao. Gereja Kao merupakan salah satu gereja besar di Kecamatan Kao dengan jumlah anggota jemaat yang banyak sekitar 2.603 jiwa dengan jumlah kepala Keluarga 525. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah jemaat di desa-desa sekitarnya. Sumber data statistik jemaaat tahun 2012, via email 22 April 2013.
[2] NL wawancara via Facebook tanggal 26 April 2013
[3] Hatib A K Olong, Tato, p.26
[4] Clinton R. Sanders & D. Angus Vail, Customizing…, p.2
[5] Pandangan teologis ini, penulis mencoba mendeskripsikannya berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis ketika berada di jemaat.
[6] Sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada pembahasan tentang sejarah tato, dimana penggunaan tato dilarang pada saat kedatangan para misionaris Protestan. Ternyata pemahaman ini masih hidup dan berkembang sampai saat ini.
[7] Wawancara Pdt. B J Rajangolo, via telepon tanggal 22 April 2013
[8] Bdk Gordon Lynch, Understanding Theology and Popular Culture, (Malden: Blackwell, 2005), p.101
[9]Bdk Idi Subandy Ibrahim, Kritik Budaya Komunikasi: Budaya Media dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), p.297
[10] Sebagaimana pendekatan Resived Korelasional yang ditawarkan oleh David Tracy, Don Browning. Lih Gordon Lynch, Understanding Theology…, p.

Friday, 16 August 2013

Ezra, Nehemia, 1&2 Tawarikh (KETUBIM IV)

EZRA-NEHEMIA
Dalam tradisi Yahudi mula-mula Kitab Ezra dan Nehemia dianggap sebagai satu kesatuan yang ditulis di bawah nama Ezra, dan tetap dihormati sebagai satu kesatuan di dalam Alkitab Ibrani selama abad pertengahan, lantaran hal ini berisi pembahasan satu pokok bahasan, yaitu status Bangsa Israel, ketika umat Israel berusaha memperbaiki statusnya di hadapan YHWH berkenaan dengan pembuangan dan trauma yang muncul dari pembuangan tersebut. Pokok bahasan ini dibahas dalam dua sisi yang berbeda. Dalam bukunya, Blommendaal menyatakan bahwa Ezra bekerja di bidang rohani dan Nehemia bekerja di bidang politik.[1] Sehingga di dalam pekerjaan mereka tersebut sedikit banyak mempengaruhi pandangannya dalam penulisan tersebut. Dalam Alkitab modern saat ini, Ezra dan Nehemia dipisahkan ke dalam dua buku. Namun, dengan sisi yang berbeda dan juga kejelasan dari satu editor yang sama.
Saat ini, kitab Ezra dan Nehemia dihormati sebagai bagian dari suatu runtutan sejarah. Pada bagain akhir kitab 2 Tawarikh 36:22-23 sangat jelas menggambarkan bagian awal dalam kitab Ezra (Ezra 1:1-3a), dimana kitab 2 Tawarikh diakhiri dengan kalimat yang tidak lengkap, dan kemudian dilengkapi di Kitab Ezra[2]. Selain itu ada pula beberapa poin yang menunjukkan persamaan bahasa dan corak khas kitab Tawarikh dan Ezra–Nehemia; di antaranya memperlihatkan suatu ketertarikan pada kebudayaan Bait Allah, dan hal-hal lain yang terkait dengan itu, seperti liturgi musik dan bejana-bejana Bait Allah. Beberapa ahli juga memperdebatkan perbedaan istilah yang digunakan, contohnya kata imam tertinggi disebut hakkohen haggadol didalam kitab Ezra – Nehemia, numun dalam kitab Tawarikh disebut hakkohen har os atau imam kepala.[3] Intinya mau memperlihatkan bahwa Ezra–Nehemia berada dalam komposisi masing-masing yang memiliki banyak kesamaan/keterkaitan dengan Tawarikh.
KEMBALINYA DARI PEMBUANGAN
Ketetapan Cyrus (di Alkitab TB LAI diterjemahkan “Koresh”) dalam Ezra 1:2 dimaknai bermacam-macam. Menurut para ahli, hal ini dicurigai merupakan bagian yang dikarang oleh editor Ezra–Nehemia kepada “perintah” dalam bahasa Aram pada Ezra 6:3-5 demi kepentingan editor, yaitu orang Persia sendiri. Dalam ketetapan Cyrus ini, Collins memandang bahwa ketetapan tersebut tak sekadar berasal dari Tuhan, melainkan mengandung unsur politik Persia, “peduli masyarakat”, untuk meluluhkan hati masyarakat[4] (bandingkan dengan kisah Rehabeam yang meminta nasihat dengan tua-tua yang mendampingi Salomo terhadap permintaan Yerobeam, serta seluruh orang Israel, II Taw. 10:3-7).

Bagian yang penting untuk diperhatikan adalah tokoh Sesbazar di Ezra 1:11 yang berperan dalam kepulangan orang Israel dari pembuangan. Pada bagian ketika bangsa Yehuda kembali untuk pertama kalinya Sesbazar digambarkan sebagai “Pangeran bangsa Yehuda” dan juga berasal dari garis keturunan Daud, sehingga hal ini memperkuatnya sebagai ahli waris tahta dalam garis keturunan Daud. Walaupun begitu, dalam Kitab Tawarikh namanya tidak pernah muncul sebagai bagian dari riwayat keturunan Daud. Kadang-kadang ia diidentikkan dengan nama Syenasar, anak dari Yekhonya yang dikucilkan oleh raja Yehuda dalam 1 Tawarikh 3:18. Namanya memang berbeda, namun besar kecurigaan bahwa Sesbazar memang merupakan bagian dari keturunan Daud. Sedangkan Zerubabel kemudian muncul sebagai orang yang mensukseskan Sesbazar sebagai gubernur Yehuda, ia terdaftar sebagai cucu dari Yekhonya dalam 1 Tawarikh 3:19, namun kitab Ezra dan Hagai menceritakan bahwa ia merupakan anak dari Pedaiah.[5] Berdasarkan pernyataan Ezra dan Hagai itulah, ada juga yang berasumsi bahwa Sesbazar merupakan nama Babilonia-nya Zerubabel.

Bagian lain yang menarik namun jarang diperhatikan oleh pembaca adalah masalah kejanggalan waktu antara kepulangan bangsa Yehuda dari pembuangan dengan awal dimulainya pengerjaan Bait Allah. Dalam Ezra 3:1 dijelaskan bahwa bangsa Yehuda mulai mendirikan Bait Allah setelah bulan yang ketujuh sejak kepulangan mereka, hal sama juga dijelaskan dalam ayatnya yang ke-8 bahwa bangsa Yehuda mulai mendirikan Bait Allah, namun dalam tahun yang kedua setelah kepulangan mereka dari pembuangan. Menurut Collins ada beberapa hal yang dijadikan suatu kemungkinan untuk menjawab alasan mengapa terjadi kejanggalan waktu.
1.    Dalam penghitungan Collins, terjadi kejanggalan waktu ± selama 18 tahun antara kepulangan bangsa Yehuda dari pembuangan dengan awal pembangunan Bait Allah. Dalam kitab Hagai dijelaskan bahwa keterlambatan ini disebabkan karena masyarakat ketika itu masih sibuk dalam pembangunan rumah-rumah mereka daripada pembangunan Bait Allah.
2.    Dalam kitab Ezra sendiri juga dijelaskan bahwa keterlambatan pembangunan ini karena adanya tentangan dari lawan bangsa Yahuda (Ezra 4:1) yang merupakan penghuni tetap disekitar wilayah Yerusalem (salah satunya merupakan orang Samaria). Dalam ayatnya yang 4 dikatakan bahwa penduduk negeri itu kemudian melemahkan semangat orang-orang Yehuda dan membuat mereka takut membangun.[6]
RIWAYAT KERJA EZRA
Dalam menafsir, keterangan waktu baik Ezra dan Nehemia sangat penting. Blommendaal menyebutkan bahwa Ezra adalah seorang Yahudi yang tinggal di Persia, dimana ia diangkat sebagai seorang pegawai-tinggi raja Persia saat itu, Artaxerxes I Longimanus.[7] Menurut Collins terdapat 3 raja yang memerintah dengan menggunakan nama Artaxerxes: Artaxerxes I (465-424 sM), Artaxerxes II (450/404-359/358), dan Artaxerxes III (359/358-338). Namun, banyak ahli yang mengasumsikan bahwa Erza memulai pekerjaan pada masa pemerintahan Artaxerxes I. Misi Nehemia juga dilakukan setelah 20 tahun sejak Artaxerxes I memerintah, sehingga Alkitab mencatat bahwa Ezra lebih dulu melakukan pekerjaan kemudian barulah Nehemia.[8] Blommendaal (disinggung juga oleh Collins hal.432) juga menyebutkan bahwa memang ada persoalan waktu mengenai kapan Nehemia dan Ezra mulai melakukan pekerjaannya di Yerusalem. Menurut Ezra 7:7, Ezra pergi ke Yerusalem pada tahun yang ke-7 di zaman pemerintahan Artaxerxes. Kalau raja ini adalah raja Artaxerxes I, maka Ezra tiba di Yerusalem pada tahun 457 sM. Sedangkan menurut Nehemia 3:1, Nehemia tiba pada tahun yang ke 20 masa pemerintahan Artaxerxes, jadi pada tahun 444 sM. Ada kemungkinan juga bahwa Ezra tiba di Yerusalem pada masa pemerintahan Artaxerxes II (tahun 404-358 sM), jadi pada tahun 398 sM.[9] Sebagai tambahan Kitab, Ezra ditulis dalam dua bahasa; bahasa Ibrani dan bahasa Aram : fasal 4:8 – 6:18 dan fasal 7:12-26 ditulis dalam bahasa Aram. Rupanya penulis telah memakai dokumen-dokumen milik Ezra sebagai bahannya yang tercermin pada pasal 7:27 -9:15.[10]
Dalam pekerjaannya Ezra menemukan banyak masalah, khususnya masalah perkawinan campur dengan bangsa-bangsa disekitar wilayah Yerusalem. Harus diasumsikan bahwa kedatangan Ezra ini bertujuan untuk mengubah cara hidup orang Yehuda dan menyelamatkan bangsanya itu dari bahaya sinkretisme dari pencampuran dengan orang Samaria, walaupun diketahui di sisi lain ia gagal dalam tugasnya untuk memastikan keamanan Yerusalem dengan memperbaiki tembok-tembok kotanya. Blommendaal menyebutkan bahwa pekerjaan Ezra penting sekali. Barangkali ia membawa Torah yang baru selesai ditulis ke Yerusalem[11], mengingat Ezra memang seorang Ahli kitab yang mahir dan merupakan keurunan imam Harun (Ezra 7:1-6) yang dikirim ke Yerusalem atas perintah raja Persia dengan membawa perak dan emas kedalam Bait Allah.[12]
HUKUM KETETAPAN EZRA DAN MASALAH PERKAWIANAN CAMPUR
Dalam tradisi Yahudi sosok Ezra dipuja sebagai orang yang “merevisi” hukum Musa, dan umumnya hukum ini diasumsikan sebagai taurat yang kita miliki saat ini. Ada beberapa bagian hukum Deutronomi yang juga terdapat didalam Ezra dan Nehemia, salah satunya mengenai hukum perkawinan campur. Masalah perkawianan campur merupakan masalah yang paling dominan terjadi ketika Ezra bekerja di Yerusalem. Ia kemudian menyuruh bangsa Israel, orang awam, para imam, dan orang-orang Lewi untuk memisahkan diri dari segala kekejian orang-orang ditanah itu, hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kemurnian bangsa Israel. Dalam Ezra 9:1 disebutkan dengan siapa saja mereka tidak boleh berbaur, yakni orang Kanaan, Het, Feris, Yebus, Amon, Moab, Mesir, dan orang Amori. Namun hal ini dilanggar oleh bangsa Yehuda dan mereka turut berbaur dalam perkawinan campur, laki-laki dan perempuan. Ketika mendengar bahwa bangsa Israel turut ikut berbaur dengan bangsa-bangsa di sekitarnya, maka marahlah Ezra. Dalam Ezra 9 dijelaskan bagaimana kemarahan Ezra, dan apa yang dilakukan oleh orang Israel ketika mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu kekejian di hadapan Allah. Kemarahan Ezra ini ditunjukkan dengan sikapnya yang menyuruh bangsa Israel agar menceraikan istri-istrinya (Ezra10:19). Yang perlu diperhatikan disini, adalah bahwa Ezra hanya fokus pada pria Yahudi yang menikah dengan wanita asing (walau begitu, dalam Nehemia juga terdapat larangan untuk menyerahkan anak perempuan Yahudi kepada pria asing, diluar Israel, Neh.13:25). Sedangkan wanita yahudi yang menikah dengan pria asing dianggap tidak terlalu berbahaya, asalkan mereka tetap mendapat warisan dari pria tersebut. Pada akhirnya anak-anak keturunan ini tetap akan menjadi bagian dari Yahudi.[13] Hal ini sangat nyata menunjukkan larangan Ezra tentang perkawinan campur. Bahanya tidak hanya dapat mengakibatkan orang Israel juga ikut memuja allah mereka, tetapi juga demi mempertahankan kemurnian bangsa Israel. Disini dapat kita lihat bahwa ada ketakutan dalam diri bangsa Israel, ada rasa jera akan apa yang telah mereka alami sebelumnya, selama masa pembuangan di Babilonia, dan ketakutan ini menimbulkan traumatis bagi bangsa Israel untuk tidak melakukan tindakan yang tidak berkenan bagi Allah untuk yang kedua kalinya.
Doa-doa yang terdapat dalam Ezra 9 dan Nehemia 9 menjelaskan bahwa sebenarnya Ezra pun mengetahui hukum-hukum imam. Ini khususnya nampak dalam peraturan tentang hari raya Sukkhot dan Pesakh. Contohnya, festival bulan ketujuh (Tishri) dalam Nehemia 8-9. Di hari pertama bulan itu, Ezra membacakan isi kitab Taurat di hadapan jemaat. Ini kemudian dijadikan sebagai Festival tahun baru, Rosh Hashanah, didalam kitab Imamat ini tidak dijelaskan (Imamat 23:24), disana hanya dikatakan bahwa pada hari raya ini dilakukan pertemuan kudus diikuti dengan membunyikan terompet. Nehemiah 8:13-17 juga menjelaskan bahwa mereka harus tinggal di dalam pondok-pondok pada hari raya bulan yang ketujuh. Didalam Imamat 23:34 festival ini dilakukan pada hari yang ke-15 dibulan yang ketujuh.[14]
RIWAYAT KERJA NEHEMIA
Blommendaal menyebutkan bahwa kitab Nehemia merupakan lanjutan dari kitab Ezra. Beberapa bagian dalam Kitab Nehemiah juga dapat ditemukan didalam kitab Ezra, misalnya daftar orang-orang yang pulang dari pembuangan (Neh7:6 dst) juga dapat kita temukan didalam Ezra 2.[15] Salah satu yang menarik dari kedua tokoh ini adalah persoalan mengenai waktu kedatangannya; Ezra datang 7 tahun pada masa pemerintahan Artaxerxes dan Nehemia datang 20 tahun pada masa pemerintahan Artaxerxes. Dalam Neh.8:9 disebutkan bahwa Nehemiah juga turut ambil ikut serta dalam hari pertama perayaan festival bulan ketujuh. Namun menurut para ahli, kedua orang ini tidak bekerja di Jerusalem pada tahun yang sama, karena bila Ezra muncul bersamaan dengan Nehemia dalam perayaan ini, maka ia harus menunggu 13 tahun setelah, setelah itu barulah dapat bergabung dengan Nehemia.[16]
Dalam sepanjang riwayat kerja Nehemia, ia bekerja dibidang politis. Seorang saudara Nehemia, Hanani memberitahukan kepadanya mengenai rusaknya keadaan tembok-tembok Yerusalem. Mendengar hal itu, sedihlah hati Nehemia dan ia kemudian memohon kepada Raja Persia agar diberi izin untuk memperbaiki kondisi Yehuda, kota pekuburan nenek moyang Nehemia (Neh. 2), ketika itu Nehemia hanyalah juru minum raja (Neh.1:11). Kitab Nehemia mengisyaratkan bahwa salah satu tugas Nehemia adalah untuk membangun kembali tembok-tembok Yerusalem, untuk itu pada perjalanan pertamanya ke Yerusalem ia memulai pekerjaan itu. Ia tidak mengumumkan kepada publik mengenai pembangunannya itu. Namun, hal itu diketahui oleh orang-orang disekitar Israel, yakni Sanbalat[17], orang Horon, dan Tobia[18], orang Amon, pelayan itu, dan Gersyem, orang Arab (Neh.2:19) sehingga mereka mulai menjatuhkan orang-orang Israel (lih Nehemia 6:6-7; 4:1-3; 6:1-9) [19], tetapi pada akhirnya tembok-tembok kota Yerusalem dapat terselesaikan (Neh.6:15). Tidak hanya permasalahan ini yang dihadapi oleh Nehemia, ia juga harus menangani masalah krisis ekonomi karena kelaparan yang menimpa Israel. Dalam Neh.5 dikatakan bahwa orang-orang Yahudi mengeluh karena mereka terpaksa menggadaikan ladang dan rumah mereka untuk mendapatkan gandum, bahkan anak laki-laki dan perempuan mereka pun banyak yang terpaksa dijual dan dijadikan budak. Akar dari permasalahan ini disebutkan dalam ayat ke-4; bahwa mereka juga harus membayar pajak yang dikenakan oleh raja, walaupun tidak jelas disebutkan berapa jumlah pajak tersebut. Namun ketika mendengar keluhan itu, marahlah Nehemia, merekapun kemudian disuruh untuk  mengembalikan anak-anak mereka, rumah serta ladang yang telah mereka ambil dari saudara-saudaranya (Neh.5:6-13).[20]
Dalam riwayat pekerjaan Ezra, masalah perkawianan campur kembali terjadi (Neh.13), pada ayat yang ke-28 dikatakan bahwa salah satu dari cucu Elyasib, imam besar itu, adalah menantu Sanbalat. Bagaimanapun pada akhirnya, Ezra dan Nehemiah tidak bisa bisa menghapus hubungan yang menyimpang, yang dilakukan oleh para imam di Yerusalem terhadap orang-orang golongan tinggi disekitar Israel.[21] Walaupun begitu, Nehemia dalam riwayatnya tetap hadir sebagai sosok pemimpin yang memiliki integritas. Ketulusannya tidak diragukan lagi, ia tidak mencari keuntungan pribadi, ia bahkan tidak pernah mengambil pembagian yang menjadi hak bupati (Neh.5:14).

TAWARIKH  
Di dalam Septuaginta, kitab ini disebut “Paraleipomene” yang artinya menurut terjemahan bebas adalah “yang belum diceritakan”.[22] Kitab Tawarikh menceritakan kembali dan melanjutkan kisah yang sudah tercantum dalam kitab Samuel dan Raja-raja, dan selesai ditulis kira-kira tahun 400 sM. Menurut pembagian dalam buku Blommendaal, di dalam kitab Tawarikh terdapat 4 bagian besar, yaitu :
·      1 Tawarikh 1 – 9
Pada bagian ini Tawarikh mulai memperkenalkan daftar silsilah yang luas, dimulai dari Adam sampai daftar keturunan Israel yang kembali dari pembuangan. Hanya saja yang perlu diperhatikan, kitab ini sangat memfokuskan penulisannya pada daftar keturunan Israel, dimana Yehuda terdaftar sebagai salah satu dari keturunan Israel yang merupakan keturunan terpanjang (1 Taw. 2:3 – 4:23). Disusul dengan keturunan Daud serta ketururan dari suku Benyamin dan Lewi. Mereka merupakan suku yang benar-benar setia kepada pemerintahan Daud. Daftar silsilah keturunan Lewi cukup panjang (1 Taw.6:1-81) begitu juga dengan Benyamin (8:1-40), bahkan Saul yang merupakan raja pertama Israel berasal dari keturunan Benyamin, namun tidak ada fakta yang diterima dalam penekanan ini. Bagaimanapun, Saul dalam kitab Tawarikh hanya merupakan pengantar bagi kisah Daud untuk menjadi raja. Perkenalan silsilah yang disampaikan dalam bagian ini mau menjelaskan bahwa mereka yang kembali dari pembuangan adalah komunitas Yehuda (9:1-44), termasuk orang-orang Yehuda, Benyamin, Efraim, dan Manasseh, serta golongan imam dan Lewi, dan orang-orang yang bekerja di Bait Allah (9:2).[23]
·      1 Tawarikh 10 – 29
Pada bagian ini kitab Tawarikh mulai memperlihatkan bagaimana pemerintahan Saul berpindah kepada Daud, dimulai dengan perang rakyat antara Daud dan Saul dengan hasil Saul kalah dan Daud diurapi menjadi Raja di Hebron. Setelah Daud diurapi menjadi raja, ia memutuskan untuk pulang membawa Tabut Perjanjian ke Yerusalem, dalam 2 Sam.6 kisah ini dijelaskan lebih detail dengan penekanan yang mengikutsertakan imam dan orang Lewi. Selama masa pemerintahan Daud, ia memutuskan bahwa tidak ada seorang pun kepadanya dapat dipercayakan tugas untuk menjaga Tabut Perjanjian kecuali imam dan orang-orang Lewi. Tawarikh kemudian memberikan daftar dari imam dan orang-orang Lewi yang dipercayakan atas tugas ini, selain itu ada pula penyanyi-penyanyi dan pemusik dalam kultus ibadat. Golongan ini kemudian mendapat posisi yang penting dalam kitab Tawarikh sebagai orang yang berperan dalam mengurus kultus peribadatan, sekalipun memang Daudlah yang menjadi tokoh yang paling penting dalam kitab Tawarikh. Daud hadir sebagai sosok perintis dan pengatur ibadat yang diselenggarakan Yerusalem. Sebab dialah yang memindahkan tabut perjanjian ke sana dan memulai ibadat di sekitarnya. Para penulis Tawarikh sangat menekankan dan membesar-besarkan peranan Daud itu. Dalam kitab Tawarikh pun tidak dikatakan apa-apa mengenai keburukan dan kemalangan Daud (kecuali masalah sensus untuk menghitung jumlah rakyat yang kemudian mendatangkan murka Allah. Namun pada akhirnya Daud menyesal akan perbuatannya itu, 1 Taw.21). Collins mencatat beberapa hal mengenai perbedaan kitab Tawarih dengan kitab Raja-raja dan Samuel, misalnya kisah Daud dan Batsyeba, kisah Tamar diperkosa oleh Amnon serta pemberontakan Absalom, kebaikan Daud kepada anak Saul, Mephibosheth, pemberontakan Sheba, orang Benyamin, dan mazmur-mazmur Daud lainnya.[24] Semua yang tertuliskan didalam Tawarikh adalah untuk memperlihakan Daud sebagai sosok raja yang ideal bagi bangsa Israel, dan dari keturunannyalah Allah berjanji menjadikan bangsa Israel sebagai umat yang besar.
·      2 Tawarikh 1 – 9
Pada bagian ini kitab Tawarikh mulai memperlihatkan bagaimana pemerintahan Salomo. Setelah kematian Daud, ia mulai melakukan pembangunan Bait Allah. Orang-orang yang bekerja ini terdiri dari orang-orang diluar bangsa Israel. Menurut 1 Raj.9:20-22 dikatakan bahwa Salomo mewajibkan orang Amori dan orang-orang yang tinggal di tanah itu sebagai budak pekerja paksa, dan tidak menggunakan budak-budak Israel. Didalam kitab Tawarikh Salomo melakukan sensus kepada orang asing sebelum memulai pengerjaan Bait Allah.[25] Sama dengan Raja Daud, hal-hal buruk pada sosok Salomo tidak disebutkan didalam kitab Tawarikh (Mis. yang terdapat di dalm 1 Raj.11), dan Salomo menjadi keturunan Daud yang tidak bercela.
·      2 Tawarikh 10 – 36
Pada bagian ini kitab Tawarikh menceritakan mengenai raja-raja keturunan Yehuda yang memerintah setelah Salomo. Perpecahan dengan Israel Utara, sesudah matinya raja Salomo, dipandang sebagai dosa Kerajaan Utara melawan agama benar di Yerusalem (2 Taw.11:13-17). Dalam hal ini tidak dijelaskan sesuatu mengenai raja-raja Kerejaan Utara, sedangkan raja-raja Yehuda dihargai menurut sifat mereka terhadap hukum Tuhan.[26] Walaupun diakhir diceritakan bahwa karena dosa dan tindakan-tindakan mereka yang tidak berkanan dihadapan Allah, mereka dihukum lewat pembuangan ke Babilonia.

Kepulangan bangsa Israel dari pembuangan membuat efek traumatis yang dialami bangsa ini. Kitab ini ditulis tentu untuk hal-hal keagamaan, namun unsur politiknya juga tidak bisa dihindari. Kitab-kitab ini dituliskan untuk melihat kembali sejarah umat Israel yang dulu sejahtera, dan dengan tujuan untuk menemukan kembali cita-cita bangsa dalam sejarah masa lampau. Itulah sebabnya mengapa kitab-kitab ini disusun sedemikian rupa, untuk membangkitkan semangat bangsa Israel yang ketika itu baru pulang dari pembuangan dan berusaha untuk membangun Bait Allah kembali (melihat kisah bangsa Israel pada masa pemerintahan Daud dan Salomo). Kitab Tawarikh juga memberi perhatian istimewa pada hal-hal yang bersangkutan dengan Bait Allah, ibadat dan petugas-petugasnya. Walaupun dalam beberapa kasus kita dapati beberapa dari orang-orang ini berpaling. Namun, semangat untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini (semangat penulis khususnya) menjadi alasan utama mengapa kitab-kitab ini dituliskan, demi perbaikan dan untuk menyatakan bahwa Israel memang umat pilihan Allah. Hanya saja, dalam bagian berikutnya penulis memberi tekanan balik kepada kisah Daud dengan kejatuhan Israel hingga dibuang ke Babel untuk memperlihatkan pada umat masa itu akibat dari dosa dan tindakan yang mereka perbuat bila melawan kehendak Allah. Kedua kitab ini (Ezra–Nehemia dan Tawarikh) memperlihatkan keterkaitan antar satu sama lain. Keduanya ditujukan untuk menasehatkan bangsa Israel pada zaman yang sama (zaman setelah pembuangan). Tawarikh mau menasihatkan umat di zamannya, kalau mereka manantikan masa depan yang bahagia, yang akan memberi pemulihan terhadap bangsa ini setelah kembali dari pembuangan sama seperti pada masa pemerintahan raja Daud dan Salomo, untuk itu mereka harus menyadari syarat-syaratnya. Begitu juga dengan apa yang ingin disampaikan didalam kitab Ezra–Nehemia, hanya jika setia kepada Tuhan dan dengan teliti menyelenggarakan ibadat, maka umat boleh percaya dan yakin bahwa Tuhan akan memulihkan zaman kebahagiaan itu.
Penulisan kitab Ezra-Nehemia tidak sekadar menggambarkan perjuangan Israel, tetapi secara langsung menggambarkan sikap isolemen terhadap bangsa lain guna menyucikan diri dan berusaha menjadi umat Israel yang sejati, serta kudus, atau yang disebut Holy seed.

DAFTAR PUSTAKA
J.J. Collins. 2004.  Introduction to the Hebrew Bible. Minneapolis : Fortress Press.
Bloommendaal, J. 1979. Pengantar kepada Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Anderson, G.W. 1959. A Critical Introduction to The Old Statement. London : Gerald Duckworth





[1] lih. J.Blommendaal. 1979. Pengantar kepada Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia, p. 171
[2] lih. George W. Anderson, 1959. A Critical Introduction to The Old Statement. London : Gerald Duckworth, p. 215
[3] bdk. J.J. Collins. Introduction to the Hebrew Bible, Minneapolis : Fortress Press, p. 428
[4] bdk.J.J. Collins. Introduction to the Hebrew Bible, p. 429-430
[5] Ibid, p. 430
[6] bdk. J.J. Collins. Introduction to the Hebrew Bible, p. 430-431
[7] Ibid, p. 169
[8] bdk. J.J. Collins. Introduction to the Hebrew Bible, p. 431-432
[9] J.Blommendaal. Pengantar kepada Perjanjian Lama, p. 170
[10] J.Blommendaal. Pengantar kepada Perjanjian Lama, p. 170
[11] Ibid
[12] bdk. J.J. Collins. Introduction to the Hebrew Bible, p. 432
[13] bdk.Ibid, p. 434-435
[14] bdk. J.J. Collins. Introduction to the Hebrew Bible, p. 433
[15] lih. J.Blommendaal. Pengantar kepada Perjanjian Lama, p. 170-171
[16]bdkIbid, p. 437
[17] Sanbalat merupakan gubernur Samaria (Collins, p. 439)
[18] Tobia merupakan nama orang dari keluarga yang berkuasa, yang tinggal di seberang sungai Yordan (Collins, p.439)                             
[19] bdk. J.J. Collins. Introduction to the Hebrew Bible, p. 439
[20] bdk. Ibid, p. 439-440
[21] Ibid, p. 441
[22] lih. J.Blommendaal. Pengantar kepada Perjanjian Lama, p. 171
[23] lih. J.J. Collins. Introduction to the Hebrew Bible, p. 446-447       
[24] lih. J.J. Collins. Introduction to the Hebrew Bible, p. 448
[25] bdk. J.J. Collins. Introduction to the Hebrew Bible, p. 450
[26] J.Blommendaal. Pengantar kepada Perjanjian Lama, p. 172
http://indonesiantheology.org/

Dampak Positif/Negatif Globalisasi Ekonomi terhadap Agama

A.  PENDAHULUAN
Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang hubungannya melintasi batas negara. Globalisasi sebagai sebuah proses sejarah dan sekaligus sebuah proyek ekonomi tentu saja  memberi pengaruh terhadap struktur sosial dan tingkat kesejahteraan manusia. Ada pengaruh  yang bersifat positif seperti tersedianya informasi yang dapat diakses secara cepat, massif, dan ekonomis serta terjalinnya kehidupan manusia oleh jaringan komunikasi dan transaksi global. Namun ada pula pengaruh yang bersifat negatif seperti persaingan sosial, budaya, agama, politik, dan bisnis.

Dalam konteks perubahan inilah kita akan mengkaji secara positif, kritis, dan konstruktif peran agama-agama sebagai sumber  moral, etika, dan spiritual bagi kehidupan manusia. Namun sebelum itu, kita akan mencoba untuk memahami realitas dan permasalahan globalisasi yang aktual sekarang ini. Makalah ini akan diakhiri dengan paparan tentang solusi etik yang ditawarkan oleh agama-agama pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam meredam dampak negatif globalisasi terhadap kehidupan manusia. 



B.  PEMBAHASAN
1.   Pengaruh Globalisasi Ekonomi dalam Agama
Menurut Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD), globalisasi dapat dilihat sebagai suatu proses sejarah yang multi wajah dan sebagai suatu proyek ekonomi dan politik kapitalisme global yang destruktif. Ia sedang mendekatkan dan menyatukan semua orang di “globe” ini ke dalam sebuah sistem ekonomi, sosial, budaya, politik yang terintegrasi dan termediasi oleh teknologi dan komputerisasi informasi.
·      Masalah Kemiskinan dan Kesenjangan di era Globalisasi.
Krisis ekonomi yang melanda dunia, khususnya di Eropa pada pasca Perang Dunia II telah memunculkan sebuah konsep ekonomi yang baru yang disebut Neo-liberalisme.  Konsep ekonomi ini lebih mementingkan modal swasta yang dinamakan “pasar” yang tidak terkekang untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan meningkatkan pertumbuhan. Ia kemudian menggerakan kapitalisme neoliberal dan globalisasi neoliberal sehingga  pemerintahan nasional tidak berdaya melindungi barang dan jasa publik. Dengan demikian fungsi negara dan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan sosial yang berdasarkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan kesetiakawanan hilang.[1] Ideologi politik ekonomi inilah yang menjadikan orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Atau dengan kata lain, ia telah memperlebar kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta memperjelas ketimpangan dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Para pengusaha mendapat keuntungan yang berlipat ganda sementara para buruh menderita di dalam kemiskinan mereka.

Peran pemerintah dalam mengawasi sistem produksi dan sistem distribusi barang/jasa demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat menjadi lemah oleh liberalisasi ekonomi  dan sistem pasar bebas. Data yang dikeluarkan oleh UNICEF menunjukan dengan jelas bahwa seperlima orang terkaya di dunia mengkonsumsi 45 persen sumber protein dunia, sementara seperlima orang termiskin hanya mengkonsumsi 5 persen. Seperlima orang terkaya mengkonsumsi 58 persen dari total energi, sementara seperlima orang miskin mengkonsumsi kurang dari 4 persen.[2]
·      Masalah Pluralisme dan Eksklusifisme Agama.
Dalam konteks sosial keagamaan, globalisasi melahirkan masyarakat polisentris yang multi kultural dan multi religius. Istilah-istilah ini menunjuk tersedianya ruang publik yang lapang bagi keberadaan ragam identitas sosial seperti budaya, agama, ras, dan gender dalam proses interaksi yang setara dan koperatif. Dalam konteks kehidupan semacam ini maka satu-satunya jalan bagi terciptanya keadilan, perdamaian, dan integritas ciptaan adalah persaudaraan dan persahabatan di dalam perbedaan. Namun sayang sekali, di beberapa tempat visi ini tidak dapat diwujudkan, karena alih-alih menumbuhkan semangat dan sikap  toleransi yang inklusif transformatif, komunitas-komunitas primordial justru mempertebal kesadaran subjektif universalistik dan eksklusifisme yang radikal. Karena itu tidak jarang masyarakat mengalami konflik terbuka atas nama identitas primordial seperti agama.

Di pihak lain, globalisasi dengan visi multi-kultural dan multi-religiusnya mengancam identitas-identitas lokal dan primordial. Tidak sedikit orang yang mengalami krisis identitas dan kehilangan orientasi nilai-nilai moral, etika, dan spiritual. Dalam konteks inilah peluang bagi lahirnya gerakan-gerakan keagamaan baru terbuka dengan lapang. Sistem kepercayaan dan komunitas iman yang lama ditanggalkan dan ditinggalkan lalu berpaling pada agama-agama modern yang bersifat mistik personalistik atau sebaliknya rasionalistik materialistik. Kedua kategori agama modern ini bersifat artifisial dan menjauhkan manusia dari eksistensi dan transendensi dirinya. David Ray Griffin mengatakan bahwa globalisasi telah membuat kita terancam oleh bahaya kehilangan banyak kualitas penting. Manusia dapat terlempar di dalam kekosongan tak bermakna dan menjadi makhluk asing bagi dirinya dan bagi lingkungannya.[3]

2.    Dampak Positif Globalisasi Ekonomi terhadap Agama
Ada banyak hal yang kita temukan yang merupakan dampak positif dari globalisasi ekonomi terhadap agama. Beberapa diantaranya akan saya paparkan dibawah ini :
·Gereja, jemaat dan organisasi pelayanan diajak untuk menyejajarkan manejemen ekonomi dan struktur investasi mereka dengan prinsip ekonomi AGAPE (yang menekankan bahwa bumi dan semua kehidupan berasal dari Allah dan adalah milik Allah).
·Gereja menjadi lebih terpacu untuk terlibat dalam kerjasama antar iman dalma mencari dan mengupayakan alternatif seperti “ekonomi cukup” sebagai tantangan bagi ekonomi ketamakan dan persaingan.
·Gereja lebih merasa terpanggil dalam mewujudkan aksinya keluar, melihat kondisi masyarakat yang terkena dampak dari globalisasi ekonomi tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya deklarasi Accra, yang didalamnya membicarakan tentang globalisasi ekonomi, dan komitmen untuk mentransformasi sistem.[4]

3.    Dampak Negatif Globalisasi Ekonomi terhadap Agama
Tidak hanya dampak positif saja yang diberikan globalisasi ekonomi terhadap agama. Kita juga dapat menemukan dampak negatifnya. Beberapa diantaranya akan saya paparkan dibawah ini:
·       Meningkatnya jumlah kemiskinan akibat maraknya perdagangan dan perekonomian yang tidak adil dikalangan pemerintah dan pengusaha.
·       Perilaku konsumtif. Di bidang sosio kultural, globalisasi menghasilkan ragam  media konsumsi baru yang segera  menjadi godaan dan tantangan bagi setiap individu dan masyarakat dewasa ini.[5]  Proses sejarah dan proyek ekonomi yang sedang berjalan dewasa ini melahirkan sebuah gaya hidup dan budaya global (Global Culture) yang merasuki setiap sudut dunia dan mempengaruhi setiap orang.[6]  Budaya ini biasa disebut sebagai budaya pop (Pop culture) yang menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik melalui reklame di media TV dan internet. Budaya pop inilah yang menjadi momentum utama menguatnya paham dan gaya hidup konsumerisme ala Amerika.[7] Hal ini mampu membuat kita terperangkap pada kebutuhan diri sendiri dan tidak memperhatikan kehidupan saudara-saudara kita lainnya yang berkekurangan. Otomatis prinsip ekonomi AGAPE pun tidak berjalan.

4.    Cara Menanggulangi Dampak Negatif Globalisasi Ekonomi terhadap Agama
Globalisasi dan agama memang tidak dapat dipisahkan. Baik secara historis maupun ideologis agama akan selalu ada di balik setiap proses dan peristiwa sosial di era globalisasi ini. Bahkan disinyalir bahwa globalisasi adalah misi agama itu sendiri.  Oleh sebab itu adalah benar apabila membicarakan globalisasi dalam hubungan dengan agama dan adalah suatu keharusan untuk meminta pertanggungjawaban moral, etika dan spiritual dari agama-agama tentang ragam persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam yang terjadi dewasa ini.

Agar semua agama benar-benar dapat efektif membendung arus globalisasi, maka komunitas-komunitas ummat beragama semestinya dapat bekerjasama dengan baik. Dengan demikian, yang wajib dilakukan saat ini adalah bagaimana komunitas antarumat beragama lebih mendalami semangat etis dan paradigma perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Sebagai langkah awal, perlu dilakukan perubahan kultur yang serba-eksklusif menjadi serba-inklusif. Komunitas antarumat beragama harus membuang jauh konsepsi agama yang sempit dan eksklusif yang cenderung membatasi kebajikan sebagai milik “kita” saja, dan “mereka” tak punya. Mahasiswa sebagai bagian dari komunitas ilmiah dan komunitas beragama yang akan mewarisi masa depan sudah seharusnya memahami realitas globalisasi dan permasalahannya serta diperkenalkan dengan solusi-solusi konseptual agar mereka dapat mengambil sikap positif, kritis, realistis, dan konstruktif terhadap globalisasi itu sendiri.

C.  KESIMPULAN
Dari paparan sebelumnya menjadi jelas bagi kita bahwa globalisasi sudah menjadi sebuah realitas yang objektif. Bahkan kita semua sedang hidup dan bergelut di dalamnya. Globalisasi tidak dapat kita hindari, karena itu globalisasi mau tidak mau harus dihadapi. Persoalannya adalah bagaimana seharusnya kita menyikapi globalisasi ini secara konseptual dan normatif sehingga di satu pihak ia memberi manfaat yang baik bagi manusia dan di lain pihak dampak negatifnya dapat diredam.

Berangkat dari kesadaran, komitmen, dan panggilan tersebut komunitas agama sedunia merumuskan prinsip-prinsip etik global sbb:
Ø Tidak aka nada tatanan dunia baru yang adil apabila tidak ada etika global.
Ø Setiap orang harus diperlakukan secara manusiawi.
Ø Empat petunjuk yang tak terbatalkan: komitmen pada budaya non kekerasan dan hormat pada kehidupan, komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil, komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus, komitmen pada budaya kesetaraan dan kerja sama.

Dengan etik global tersebut diharapkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dengan kebijaksanaan,  penerapan teknologi yang didasari oleh kekuatan spiritual, kemajuan industri yang dibarengi dengan perlindungan ekologi, dinamika demokrasi dengan moral, dan terciptanya masyarakat multi-kultural religius dengan semangat persaudaraan.[8]

Pada waktu yang hampir bersamaan komunitas Kristen sedunia yang terhimpun dalam organisasi oikumenis Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) dalam Sidang Rayanya di Harare (1998) menggumuli pertanyaan bagaimana gereja-gereja dan keluarga oikumenis harus menanggapi tragedi-tragedi kemanusiaan yang berakar pada proyek globalisasi ekonomi. Atas dasar pergumulan etis tersebut maka lahirlah sebuah program oikumenis yang disebut “Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE)” (Globalisasi Alternative Mengutamakan Rakyat dan Bumi).

Proses awal tersebut ditindaklanjuti oleh Sidang Raya DGD di Porto Alegre pada tahun 2006 yang menghasilkan desakan untuk segera melakukan beberapa aksi, antara lain:
Ø Menegakkan tata ekonomi dunia yang adil.
Ø Mempromosikan perdagangan yang adil.
Ø Memperjuangkan sistem keuangan yang adil.
Ø Melakukan aksi transformatif dan alternative kehidupan.
Ø Mengembangkan kehidupan multi-kultural religius yang inklusif transformatif.
Ø Mengkampanyekan dan mempelopori aksi perlindungan dan rehabilitasi ekologi[9]

Dokumen tersebut dijadikan sebagai pola dasar pelayanan gereja di tengah masyarakat termasuk di Indonesia. Semua usaha ini adalah sikap yang berhasil dirumuskan dan akan terus diperjuangkan oleh agama-agama pada umumnya dan kekristenan pada khususnya dalam konteks proses sejarah dan proyek ekonomi global yang sedang bergulir. Tantangan utama terhadap upaya ini datang dari paham-paham materialisme, individualisme, liberalisme, konsumerisme, eksklusifisme, radikalisme, dan militerisme. Karena itu, globalisasi harus juga dihadapi dengan sebuah transformasi yang mendasar akan pandangan hidup, sistem kepercayaan, ideologi, dan gaya hidup. Hanya dengan demikian kehidupan manusia di planet ini akan terhindar dari tragedi dan kehancuran yang datang belum pada waktunya.




[1] World Council of Churches, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), A Background Document. Geneva: WCC, 2006,p. 13.
[2] Jeremy Seabrook, Kemiskinan Global, Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme. Yogyakarta: Resist Book, 2006,p. 21. 
[3] David Ray Griffin, Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern. Diterjemahkan oleh A. Gunawan Admiranto. (Yogyakarta: Kanisius, 2005),p. 30.
[4] World Council of Churches, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE), A Background Document. Geneva: WCC, 2006,p. 74
[5] George Ritzer, “The Postmodern Social Theory”.  Diterjemahkan oleh Muhammad Taufik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004),p. 368.
[6] Kelton Cobb, Theology and Popular Culture (Oxford: Blackwell Publishing, 2005),p. 27.
[7] Untuk mengetahui lebih jauh tentang budaya pop dan materialisme Amerika yang mengglobal melalui media iklan,  lihat: James B. Teitchell, Lead Us into Temptation: The Triumph of American Materialism. (Columbia University Press, 2003).
[8] Hans Kung dan karl Josef Kuschel, Etik Global. Diterjemahkan oleh Ahmad Murtajib. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999,p. 58-59
[9] Einar Sitompul (Ed.) Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi. Diterjemahkan oleh Boni Sagi & Nina Hutagalung. Jakarta: PMK HKBP. 2006,p. 69