Pada
tulisannya, Pak Yusak telah menjelaskan bahwa konsep pendamaian καταλλάσσω (mendamaikan) merupakan pemikiran “khas” Paulus, karena
hanya ditemukan di dalam tulisan Rasul Paulus. Walaupun sebelumnya telah ada
konsep pendamaian dalam kitab Makabe, namun memiliki pengertian yang berbeda.
Konsep pendamaian dalam kitab Makabe memiliki makna yang pada umumnya digunakan dalam
kesusastraan Yunani Helenis. Hal ini juga sempat disinggung oleh Pak Yusak, bahwa penggunaan kata pendamaian pada masa Helenisme
memang merujuk pada situasi pembaharuan hubungan.
Kita merujuk kepada bagian yang lebih tajam mengenai
konsep Perdamaian yang dibahas oleh Rasul Paulus dalam 2 Korintus 5:11-19 dan
Roma 5:1-11. Kedua perikop ini sama-sama membahas konsep perdamaian secara
khusus dengan maksud dan tujuan yang berbeda sesuai dengan konteks jemaatnya
masing-masing. Perbedaan-perbedaan yang dapat kita temukan yakni, Pada
surat Roma ini juga memiliki pemahaman semantic, dimana pada surat ini
menunjukkan pemahaman Yahudi, sedangkan perikop pada 2 Korintus memiliki
pehamaman helenis. Perbedaan lainnya, kasih di dalam surat Roma dinyatakan
secara eksplisit, sehingga secara jelas dikatakan bahwa Allah melakukan
pendamaian dengan Allah. Berbeda dengan Perikop di 2 Korintus dimana kasih
dinyatakan secara inplisit. Namun
yang jelas penggunaan kata pendamaian oleh Rasul Paulus selalu dihubungkan
dengan konsep pendamaian ALLAH dalam diri (kematian dan kebangkitan) Yesus
Kristus.
2
Korintus 5:18-20 dan Roma 5:1-11
Penulis dan Pak Yusak mencoba
melihat teks 2 Kor 5:11-19 dan Roma 5:1-11 ini dengan mempertimbangkan beberapa
hal.
(1) Latarbelakang
penggunaan kata καταλλάσσω. Di atas kelompok
telah menyinggung permasalahan ini. Penulis
menjelaskan bahwa kata pendamaian (καταλλάσσω) memiliki 5 kategori
pengertian secara metafora yaitu (1) Sang subjek mendamaikan kelompok
antagonis, (2) Secara aktif dan (3) pasif sang subjek mendorong atau mengajak
kelompok yang kontra dengan dia (4) mengajak secara aktif dan (5) pasif
kelompok yang kontra dengan sang subjek, untuk mendamaikan dirinya (kelompok)
dengan sang subjek. Baik Pak Yusak
maupun Kim kurang lebih memiliki kesimpulan yang sama. Paulus tentu saja
memperhatikan konteks jemaat dalam penggunaan kata-katanya. Untuk itu dalam
menjelaskan pemahaman imannya tentang karya keselamatan ALLAH dalam diri Yesus
Kristus, Paulus menggunakan kata yang dengan mudah dimengerti, dijelaskan, dan
dipahami oleh jemaat. Mengingat sekali lagi konteks Korintus kala itu sedang
dalam keadaan tidak stabil. Sedangkan pada konteks jemaat di Roma RP mau
mengemukakan sebuah konsep pendamaian yang juga ia gunakan di Korintus untuk lebih memperjelas ajarannya. Hanya saja perlu kita perhatikan
bahwa dalam Roma 5: 8 dan 10 diparalelkan untuk memperlihatkan apa yang mau disampaikan
oleh RP kepada jemaat di Roma. Pada ayat 8
dijelaskan bahwa manusia telah berdosa (sehingga menjadi musuh ALLAH) – di ayat
10 dijelaskan bahwa manusia yang berseteru dengan ALLAH kini telah
diperdamaikan oleh ALLAH sendiri lewat kematian Yesus Kristus. Menurut penulis,
Martin mungkin benar bahwa makna perdamaian dalam Roma 5:1 kurang lebih
memiliki kesamaan dengan paham Yahudi tentang kedatangan Mesias yang membawa
damai dan akan memulihkan bangsa Israel,
untuk itu RP menjelaskan bahwa manusia dapat menemukan “peace” itu hanya di dalam Kristus (sebab kasih dan anugrahNya
sehingga ia rela mati demi menebus dosa manusia)[1].
Manusia akan hidup damai (sekaligus dibenarkan) oleh karena tindakan pendamaian
ALLAH yang di lakukanNya lewat kematian Kristus di kayu salib. Menurut Pak
Yusak dalam Roma 5:1-11, konsep pendamaian yang dilukiskan di dalamnya
menggambarkan peristiwa yang terjadi di masa lampau, sekali dan tidak pernah
terulang lagi, sementara 2Kor 5:19 (anak kalimat dimengerti sebagai imperfect)
akan menunjukkan suatu proses yang belum selesai.[2] Pendapat
Martin yang dikemukakan ulang oleh penulis nampaknya memang setuju dengan
pandangan yang mengusulkan imperfect, namun ada masalah yang ditimbulkan yang
tetap tidak bisa diselesaikan oleh Martin. Penulis menjelaskan bahwa Martin
mengharmonisasikan kasih ALLAH kepada manusia dengan kematian
Yesus Kristus di kayu salib demi menebus dosa manusia.
(2)
Inisiatif pendamaian. Dalam hal ini, Pak Yusak dan Kim setuju bahwa pendamaian
merupakan inisiatif ALLAH kepada manusia. Konsep ini menggambarkan ALLAH sebagai subjek yang berinisiatif melakukan pendamaian “God reconciling himself
to human”, sehingga memungkinkan manusia menikmati persekutuan yang benar
dengan ALLAH. Tindakan inisiatif ALLAH ini dilakukan bukan karena permintaan
manusia. Pak Yusak dalam tulisannya mengemukakan bahwa inisiatif ALLAH ini
didasari oleh kehendak bebasNya yang menjadi nyata dalam KasihNya yang kekal.
Bila dibandingkan dengan Rom 5:8, Ralp Martin[3]
menjelaskan bahwa dalam Rom 5:8 tindakan/inisiatif ALLAH ini merupakan
perwujudan kasih ALLAH kepada manusia yang telah berdosa. Martin melihat bahwa
kasih ALLAH tewujud dalam diri Yesus Kristus yang mati demi menebus dosa
manusia (ay.7) dan darahNya merupakan bukti pengorbanan Yesus Kristus bagi
manusia (ay.9). Menurut Pak Yusak, dengan kata lain bahwa apa yang diperoleh
manusia semata-mata adalah anugrah dari ALLAH. Manusia dibenarkan di dalam
ALLAH oleh karena anugrah. Untuk itu, manusia harus menerima anugrah itu dengan
penuh rasa tanggung jawab di dalam iman dan ketaatan. Sebab keselamatan akhir
adalah hasil dari pembenaran dan pendamaian itu. kita selamat karena sudah
dibenarkan dan diperdamaikan dalam darah Kristus.
(3)
Bahan yang digunakan oleh Rasul Paulus dalam mengembangkan pemikiran teologinya
selama penginjilan. Beberapa bahan dasar yang ia gunakan tentu saja dari
Perjanjian Lama khususnya pemahaman
tentang Mesias yang digambarkan oleh kitab Yesaya, tradisi kemartiran Yahudi
(menurut Kim), serta pengalaman iman Rasul Paulus (perjalan ke Damaskus)
sendiri. Pak Yusak dan Kim sependapat dengan hal yang satu ini. Pengalaman iman
Rasul Paulus menjadi sebuah awal bagi RP memulai penginjilannya sebagai Rasul
ALLAH (ambasador). Menurut Pak Yusak, RP menggunakan pemahaman imannya (khususnya pada pengalaman transformasi iman
dalam perjalanan ke Damaskus) yang berpusat kepada Yesus Kristus dan kematian
serta kebangkitanNya dalam tugasnya sebagai Rasul ALLAH (ambasador). Bagi RP manusia telah berdosa sejak dari dulunya (adam)
sehingga keturunan-keturunannya pun juga telah ternodai oleh dosa. Maka
diperlukan pendamaian dari ALLAH lewat pengorbanan Yesus Kristus. Dari sinilah
bisa kita lihat hubungannnya dengan 2Kor 5:17 tentang ciptaan baru. Manusia
menjadi ciptaan baru karena pengorbanan Kristus (kematian dan kebangkitanNya). Namun
bagian menarik menurut Kim adalah bahwa pada dasarnya, pengalaman iman RP dalam
perjalanan ke Damaskus tidak ada hubungannya dengan kematian Kristus. Yang RP
mengerti adalah bahwa ketika terjadi tranformasi pada dirinya, maka ia menjadi
ciptaan baru sekaligus sebagai Rasul ALLAH (ambasador).
(4)
kejanggalan struktur teks 2Kor 5:19. Menurut Pak Yusak, hal ini dapat diselesaikan
dengan menggunakan alternaif, yakni “ALLAH ada di dalam Kristus, mendamaikan
dunia dengan diriNya”. Keputusan ini diambil
dengan melihat kalimat pada ayat 18 (διὰ Χριστου = yang melalui Kristus) dan penggunaan bentuk
aorist pertama partisip pada kata (καταλλάξαντος = mendamaikan). Ayat 18 dimengerti untuk
menjelaskan ayat 19, sebab dalam ayat 19 (ὡς ὅτι = yang aku maksudkan ialah) ada
maksud untuk menjelaskan/mengulangi kembali apa yang disampaikan dalam ayat 18.
Penggunaan kata ἐν Χριστω merujuk pada kata καταλλάσσων dengan maksud
bahwa Kristus telah mendamaikan dunia dengan diriNya (sama dengan apa yang
telah disampaikan dalam ayat 18, διὰ Χριστου =
yang melalui Kristus). Selain itu, kelompok
melihat bahwa ketika Allah
menyelamatkan manusia dengan perantaraan Kristus sebagai sarana perdamaian, di saat
itu juga secara otomatis telah menggantikan era yang berdosa dengan era
perdamaian dengan Allah. Sehingga keselamatan daripada Allah terjadi sekali dan
terus menerus ada dan tak berakhir. Ada proses dari old creation menjadi new
creation seperti dalam kisah transformasi RP dalam perjalanan ke Damaskus. Dalam
hal ini Kim kemudian menspesifikkan pengalaman hidup baru ini dalam kerangka
pemahaman Kristen.