Monday, 7 September 2015

Allah dan Penderitaan dalam Pergumulan Teodice

I.         PENDAHULUAN
Bencana dapat dibedakan ke dalam 2 bentuk; yakni bencana alam yang disebabkan oleh fenomena alam (natural disaster), dan bencana sosial yang disebabkan oleh ulah manusia (moral disaster).[1] Dunia yang semakin berkembang dan teknologi yang semakin muktahir menjadi bukti bahwa manusia semakin menyadari kemampuan dan keistimewaan yang ia miliki. Ia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah dan dikaruniai akal budi, pikiran, serta kehendak bebas yang tidak dimiliki oleh ciptaan lain. Di tengah peradaban manusia dan globalisasi yang semakin berkembang, penderitaan, ketidakadilan, bencana, dan kejahatan juga semakin sering terjadi. Kelaparan terjadi di mana-mana akibat ketidakadilan politik-sosial, banyaknya kasus-kasus human trafficking, gempa dan tsunami, banjir bandang dan tanah longsor diberbagai daerah, korupsi yang semakin marak terjadi, kasus-kasus kekerasan, dan masih banyak lagi. Baru-baru ini kita dikagetkan dengan peristiwa gempa di Nepal yang merengkut puluhan ribu jiwa. Tercatat bahwa Korban jiwa akibat gempa yang mengguncang Nepal pada 25 April sudah bertambah menjadi 7.365 orang, dan jumlah korban cedera tercatat 14.366 orang. Menurut statistik kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 600 ribu rumah di negara berpenduduk 28 juta jiwa itu rusak akibat gempa. Data PBB juga menunjukkan bahwa delapan juta warga Nepal terdampak gempa. Sedikitnya dua juta di antaranya membutuhkan tenda, air, makanan, dan obat-obatan.[2]  Di sisi lain bencana sosial yang diakibatkan oleh ulah manusia juga semakin marak terjadi. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat ada peningkatan jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perdagangan manusia atau human trafficking di luar negeri dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Kemenlu tahun 2013, kasus trafficking ada sebanyak 186 kasus. Pada 2014 meningkat menjadi 365 kasus, atau naik sebesar 96 persen dan tahun ini, data yang tercatat hingga Mei 2015 sudah mencapai 196 kasus.[3] 

Ilmu pengetahuan dan perkembangan science telah memberikan sumbangsih untuk menanggulangi bencana alam, misalnya dalam hal mendeteksi gempa, curah hujan, dan lembaga-lembaga HAM sudah mengupayakan hak-hak asasi manusia. Namun apakah ini dapat menjawab pertanyaan “mengapa ada penderitaan?” tidak! Ilmu pengetahuan tidak cukup untuk menjawab pertanyaan mengapa ada penderitaan. Banyaknya bencana dan kejahatan yang terjadi dimana-mana merupakan masalah yang hingga saat ini masih menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa hal itu terjadi? Mengapa ini menimpa saya? Bencana (baik itu fenomena alam atau akibat ulam manusia) merupakan proses yang selalu mengiringi setiap perjalanan kehidupan manusia. Origenes menyebutkan bahwa adanya kejahatan dan penderitaan adalah akibat penyalahgunaan kebebasan yang diterima dari Allah.[4]  Bapa Gereja, Agustinus menjelaskan bahwa kejaatan adalah ketiadaan kebaikan. Ketiadaan kebaikan itu yang menyebabkan setiap makhluk ciptaan kehilangan bentuk atau tujuan khusus yang alami padanya.[5] Pada kenyataannya pertanyaan mengapa ada kejahatan hingga saat ini masih menjadi sebuah tanda tanya besar; jika ada Tuhan mengapa ada penderitaan? apakah Allah ingin melenyapkan penderitaan, tetapi tidak mampu? Berarti Allah tidak berdaya. Apakah Allah sebenarnya dapat mencegah penderitaan, tetapi tidak mau? Kalau demikian maka Allah jahat. Atau apakah Allah sesungguhnya bisa dan mau mengatasi penderitaan? lantas mengapa tetap ada penderitaan?

II.      ALLAH DAN PENDERITAAN
Para filsuf dan teolog telah berusaha mencari jawaban mengapa ada penderitaan, mengapa manusia harus mengalami penderitaan, namun hingga saat ini jawaban dari pertanyaan tersebut masih merupakan misteri yang belum terjawabkan. Alternatif-alternatif jawaban yang disodorkan tetap tidak memuaskan karena akal budi manusia yang terbatas untuk menyelami misteri semesta. Indonesia dengan konteks masyarakatnya yang menganut agama monoteis diperhadapkan dengan pertanyaan mengapa ada penderitaan. Bencana dan kasus-kasus kekerasan yang semakin marak terjadi menimpa siapa saja tanpa pandang bulu. Bencana dan kejahatan membawa penderitaan bagi manusia. Penderitaan tidak kita kehendaki tetapi mau tidak mau, suka atau tidak suka, penderitaan erat kaitannya dengan kehidupan manusia.

Allah adalah Pencipta alam semesta, Ia Mahakuasa, Mahabaik, Mahapengampun, dan Mahapengasih. Namun ketika diperhadapkan dengan realitas manusia dan alam semesta yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan hal ini justru bertolak belakang. Gambaran Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik tidak sesuai dengan realitas. Semakin banyaknya bencana, kejahatan dan penderitaan membuat manusia mempertanyakan relasinya dengan Tuhan yang Mahabaik; dengan kenyataan yang ada, apakah Allah yang Mahabaik itu benar-benar mengkehendaki bencana terjadi? Apa sebabnya Allah mengijinkan adanya penderitaan di dalam dunia? Di sini ada jelas ada dua pernyataan yang saling bertolak belakang; Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik, dan Allah yang jahat dan suka kekerasan. Kalau Allah memang adalah Allah yang Mahabaik dan Mahakuasa, lantas mengapa Ia tidak menjadikan dunia ini damai sejahtera dan tanpa penderitaan saja?

Seringkali penderitaan dikait-kaitkan dengan dosa, ada banyak kisah-kisah di Alkitab yang menceritakan tentang orang-orang yang mengalami penyakit berat dan penderitaan dalam hidupnya dikarenakan ia berdosa. Misalnya kisah seorang yang buta sejak lahir; orang-orang seperti ini justru dikucilkan dan menjadi kaum terpinggir di masyarakat karena ia najis dan berdosa berat. Di tengah konteks masyarakat Asia, beberapa negara masih menganut sistem kasta (India misalnya), dan kasta tentu saja mempengaruhi kedudukan dan status sosial seseorang di dalam masyarakat. Lihat saja kasus bencana tsunami beberapa tahun yang lalu di Aceh atau kasus kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada 1998 yang merenggut banyak korban dan kasus gempa di Nepal yang baru-baru ini terjadi. Banyak dari kita pasti akan bertanya dimana Tuhan? Apakah penderitaan yang mereka alami adalah karena dosa dan ini musibah yang datang karena hukuman Allah? Pasrah dan berserah mungkin satu-satunya jalan yang bisa ditempuh ketika diperhadapkan dengan penderitaan; walaupun usaha untuk keluar dari penderitaan itu juga tetap diusahakan.

Jon Tal Murphree menjelaskan bahwa kita melihat kejahatan karena tindakan tersebut memberi dampak buruk bagi kehidupan kita.[6] Lihat saja bencana yang baru-baru ini terjadi di Nepal, korban jiwa yang sangat banyak membuat kita melihat bahwa akibat yang ditimbulkannya terhadap manusia inilah yang kita anggap sebagai sesuatu yang buruk dan tidak dapat kita terima. Bencana dan penderitaan adalah bagian dari proses kehidupan manusia. Dari mana datang penderitaan dan mengapa penderitaan ada tidak bisa dijawab hanya nalar dan logika saja, tetapi dibutuhkan refleksi dan pengayatan iman. Misalnya dalam kisah Ayub, seorang yang saleh dan takut akan Tuhan namun mengalami penderitaan yang luar biasa dalam hidupnya. Kisah-kisah di Alkitab memang tidak bisa begitu saja dijadikan jawaban untuk mengatasi pertanyaan mengapa ada penderitaan; kisah-kisah seperti ini harus dipahami sebagai kisah pengajaran atau refleksi iman. Yewangoe mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin bebas dari penderitaan, justru kalau ia tidak menderita maka ia tidak bisa disebut manusia. Begitu juga dengan alam. justru karena alam menimbulkan bencana, maka ia disebut alam.[7] Allah menyatakan kuasanya justru lewat adanya sukacita dan penderitaan. Sama seperti adanya dikotomi baik dan jahat, begitu juga dengan sukacita dan penderitaan. Justru karena Allah berada di kedua sisi ini maka Ia menjadi Mahakuasa. Di lain pihak, gambaran sosok Allah yang Mahabaik itu justru muncul karena Ia dipahami, bahkan dialami, sebagai kekuatan yang peduli pada manusia; Ia yang berbelaskasih dan yang suka mengampuni kesalahan manusia. Manusia yang menyadari kelemahan dan kekurangannya membutukan sosok yang mampu mengatasi kekurangan, kelemahan, dan ketakutannya, sehingga gambaran Allah yang “Maha” itu menjadi gambaran yang mutlak bagi manusia.

Gambaran Allah yang kita kenal bermacam-macam itu, membuat kita mengikat sosok Allah menurut gambaran dan pemahaman kita. Ketika kita menggambarkan sosok Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik itu, maka sebenarnya kita tidak sedang menggambarkan sosok Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik itu. Gambaran dan pemahaman kita tentang sosok Allah membatasi kita memahami Allah. Allah dengan segala kemahakuasaanNya menciptakan kita dengan tujuan dan maksud yang tidak bisa kita pahami. Logika manusia sekali lagi tidak bisa menyelami pemikiran Allah. Bahkan rancangan keselamatan Allah bagi manusia bisa jadi merupakan pertanyaan, mengapa Allah menciptakan penderitaan bagi manusia lalu menyelamatkan manusia lewat kematian dan kebangkitan AnakNya, Yesus Kristus? Dalam teologi Minjung, Allah dipandang sebagai Allah yang ikut menderita. Konteks masyarakat yang tertindas dan mengalami penderitaan akibat ketidakadilan memunculkan penghayatan Allah yang turut menderita bersama mereka.[8] Konteks masyarakat Asia yang miskin, menderita, dan susah memunculkan gambar Allah yang turut menderita sebagai bentuk bela rasa Allah kepada umatNya. Lihat juga kisah Mother Theresia yang melihat seorang pengemis yang haus yang ia temui sebagai gambaran Allah yang turut menderita bersama dengan orang-orang di Calcuta yang menderita kelaparan. Penderitaan yang kita pahami adalah penderitaan dari perspektif yang negatif. Penderitaan yang membawa kepedihan dan dukacita. Namun pernahkah kita mencoba melihat penderitaan dari perspektif positif; yakni dari sukacita yang (kemudian) ia bawa. Dalam Kristen kita percaya bahwa Allah lewat Yesus Kristus menderita, mati dan disalibkan untuk menebus dosa kita manusia. Namun penderitaan yang Ia alami berujung sukacita di dalam kebangkitanNya. Kristus adalah bukti nyata Allah yang solid, Allah yang juga turut menderita dengan manusia.    

III.   REFLEKSI
Kita mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan mengapa ada penderitaan? karena tidak ada jawaban yang sempurna yang dapat menjawab pertanyaan itu selain menerima kenyataan bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan manusia, dan menjadi bahan refleksi bagi kita. Penderitaan menyadarkan kita akan kuasa Allah yang dahsyat dalam seluruh peran kehidupan manusia. Penderitaan semakin menyadarkan dan mendekatkan kita pada Allah yang tak tergambarkan. Bencana gempa di Nepal, kasus-kasus kekerasan yang menimpa TKW Indonesia, kasus jual-beli manusia, kekerasan lainnya merupakan bukti nyata penderitaan yang kita alami. Konteks Asia yang dekat dengan kemiskinan dan penderitaan, membuat kita berefleksi dari pengalaman iman tetang Kristus dan mengamplikasikannya ditengah konteks kita. Kristus adalah fondasi dasar bagi orang Kristen Asia melihat dan menghadapi penderitaan dengan lebih terbuka. Pertanyaan “mengapa saya” yang mengalami penderitaan ini mungkin akan terlontar sebagai reaksi awal manusia ketika diperhadapkan dengan musibah dan penderitaan. Hal ini manusiawi, sebagai seorang Kristen yang mengenal sosok Allah yang mahakuasa, mahabaik, mahapengasih, namun pada kenyataannya justru berbeda (ia menderita dan Allah tidak menghalau penderitaan itu agar tidak menimpanya). Namun dalam prosesnya, kita menerima penderitaan itu. Manusia menyesuaikan diri dengan penderitaan yang mau tidak mau pasti dapat menimpanya. Sulit memang (ketika dalam keadaan menderita) untuk menjawab “mengapa saya” yang harus mengalami penderitaan, namun dalam prosesnya kita belajar menerima penderitaan yang ada dan mulai menyadari bahwa (mungkin) semua ini adalah kehendak Allah. Solusi mudahnya, yah mengembalikan semuanya kepada Yang Mahakuasa itu.

Dalam tradisi Jawa kita mengenal konsep nrimo (narima), di mana manusia yang diperhadapkan dengan penderitaan menerima dengan sungguh penderitaan yang sedang di hadapi, namun bukan berarti menerima/pasrah berarti tidak melakukan apa-apa, tidak mengusahakan apa pun untuk keluar dari penderitaan. Dalam tradisi orang Toraja saya juga mengenal konsep sa’bara. Sa’bara berarti tabah/tawaqal menghadapi cobaan dan penderitaan, namun tidak berarti pasif dan tidak melakukan apa-apa. Harus ada upaya untuk memberdayakan diri sendiri, bersikap aktif mengolah penderitaan yang dihadapi. Saya merasa ini mungkin konsep yang (terlalu) optimis, pada kenyataannya sulit memang mengaplikasikan ini ketika dilanda penderitaan/musibah yang tiba-tiba. But, why not? Butuh proses pastinya, perlahan tetapi pasti. Menurut saya, kita orang Asia cenderung bereaksi mengadapi penderitaan secara komunal/praksis solidaritas. Saya setuju dengan pendapat EGS yang mengemukakan bahwa orang Indonesia akan solid ketika diperhadapkan pada bencana. Misalnya ketika bencana Gunung Sinabung, dimana bantuan banyak berdatangan dari berbagai kalangan sebagai bentuk bela rasa dengan sesamanya atau lihat juga bencana Gempa di Nepal yang baru-baru ini terjadi. Banyaknya bantuan baik materi maupun tenaga relawan yang berdatangan memperlihatkan bagaimana kita mau turut mengambil bagian untuk meringankan penderitaan saudara-saudara kita.

Pada akhirnya sukacita dan penderitaan merupakan satu ambiguitas hidup manusia yang tidak harus dipertantangkan, karena keduanya sama-sama membentuk dan menghiasi kehidupan manusia; keduanya saling melengkapi keutuhan pengalaman hidup manusia. Menemukan makna sejati penderitaan sama halnya dengan menemukan makna sejati kebahagiaan, sulit dirumuskan dan dibahasakan tetapi nyata dalam pengalaman. Iman Kristen yang yakini dapat membantu kita memahami bahwa penderitaan yang dihayati dalam kesatuan dengan Kristus merupakan jalan menuju kesatuan dengan Dia dalam sukacita kebangkitan. Sama seperti pepatah, “seperti pelangi sehabis hujan”, kematian dan kebangkitan Kristus merupakan wujud nyata ke-solidaritasan-Nya dalam penderitaan manusia. Kristus yang menderita memperlihatkan bahwa Allah juga turut menderita demi menebus dosa manusia. Namun Ia bangkit dan kita diselamatkan.   




[1] Zakaria J. Ngelow, “Bianglala di Atas Tsunami, Selayang Pandang Teodice Kristen” dalam Zakaria J. Nelow, dkk, Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Yayasan OASE INTIM, 2006, h. 203
[4] Zakaria J. Ngelow, op cit, h. 208
[5] Zakaria J. Ngelow, op cit, h. 210
[6] Jon Tal Murphree, Kejahatan dan Penderitaan: Mengapa Allah Mengizinkannya?, terj: Houw Liong, Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1988, h.35
[7] A.A.Yewangoe, “Membangun Teologi Bencana, Pergumulan Teodice dan Teologi Penderitaan Allah”, dalam Zakaria J. Nelow, dkk, Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Yayasan OASE INTIM, 2006, h. 248-249
[8] A.A.Yewangoe, Theologia Crucis di Asia: Pandangan-pandangan Orang Kristen Asia Mengenai Penderitaan dalam Kemiskinan dan Keberagaman di Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, h. 347