I.
PENDAHULUAN
Bencana dapat dibedakan ke dalam 2 bentuk; yakni
bencana alam yang disebabkan oleh fenomena alam (natural disaster), dan bencana sosial yang disebabkan oleh ulah manusia
(moral disaster).[1]
Dunia yang semakin berkembang dan teknologi yang semakin muktahir menjadi bukti
bahwa manusia semakin menyadari kemampuan dan keistimewaan yang ia miliki. Ia
diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah dan dikaruniai akal budi, pikiran,
serta kehendak bebas yang tidak dimiliki oleh ciptaan lain. Di tengah peradaban
manusia dan globalisasi yang semakin berkembang, penderitaan, ketidakadilan,
bencana, dan kejahatan juga semakin sering terjadi. Kelaparan terjadi di
mana-mana akibat ketidakadilan politik-sosial, banyaknya kasus-kasus human trafficking, gempa dan tsunami,
banjir bandang dan tanah longsor diberbagai daerah, korupsi yang semakin marak
terjadi, kasus-kasus kekerasan, dan masih banyak lagi. Baru-baru ini kita
dikagetkan dengan peristiwa gempa di Nepal yang merengkut puluhan ribu jiwa. Tercatat
bahwa Korban jiwa akibat gempa yang mengguncang Nepal pada 25 April sudah
bertambah menjadi 7.365 orang, dan jumlah korban cedera tercatat 14.366 orang.
Menurut statistik kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 600 ribu rumah di
negara berpenduduk 28 juta jiwa itu rusak akibat gempa. Data PBB juga
menunjukkan bahwa delapan juta warga Nepal terdampak gempa. Sedikitnya dua juta
di antaranya membutuhkan tenda, air, makanan, dan obat-obatan.[2]
Di sisi lain bencana sosial yang diakibatkan oleh ulah manusia juga semakin
marak terjadi. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat ada peningkatan
jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perdagangan manusia
atau human trafficking di luar negeri dalam tiga tahun
terakhir. Berdasarkan data Kemenlu tahun 2013, kasus trafficking ada sebanyak 186 kasus. Pada 2014
meningkat menjadi 365 kasus, atau naik sebesar 96 persen dan tahun ini, data
yang tercatat hingga Mei 2015 sudah mencapai 196 kasus.[3]
Ilmu pengetahuan
dan perkembangan science telah
memberikan sumbangsih untuk menanggulangi bencana alam, misalnya dalam hal mendeteksi
gempa, curah hujan, dan lembaga-lembaga HAM sudah mengupayakan hak-hak asasi
manusia. Namun apakah ini dapat menjawab pertanyaan “mengapa ada penderitaan?” tidak!
Ilmu pengetahuan tidak cukup untuk menjawab pertanyaan mengapa ada penderitaan.
Banyaknya bencana dan kejahatan yang terjadi dimana-mana merupakan masalah yang
hingga saat ini masih menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa hal itu terjadi?
Mengapa ini menimpa saya? Bencana (baik itu fenomena alam atau akibat ulam
manusia) merupakan proses yang selalu mengiringi setiap perjalanan kehidupan
manusia. Origenes menyebutkan bahwa adanya kejahatan dan penderitaan adalah
akibat penyalahgunaan kebebasan yang diterima dari Allah.[4]
Bapa Gereja, Agustinus menjelaskan bahwa
kejaatan adalah ketiadaan kebaikan. Ketiadaan kebaikan itu yang menyebabkan
setiap makhluk ciptaan kehilangan bentuk atau tujuan khusus yang alami padanya.[5]
Pada kenyataannya pertanyaan mengapa ada kejahatan hingga saat ini masih menjadi
sebuah tanda tanya besar; jika ada Tuhan mengapa ada penderitaan? apakah Allah
ingin melenyapkan penderitaan, tetapi tidak mampu? Berarti Allah tidak berdaya.
Apakah Allah sebenarnya dapat mencegah penderitaan, tetapi tidak mau? Kalau
demikian maka Allah jahat. Atau apakah Allah sesungguhnya bisa dan mau
mengatasi penderitaan? lantas mengapa tetap ada penderitaan?
II.
ALLAH DAN PENDERITAAN
Para filsuf dan teolog telah berusaha mencari jawaban mengapa ada
penderitaan, mengapa manusia harus mengalami penderitaan, namun hingga saat ini
jawaban dari pertanyaan tersebut masih merupakan misteri yang belum terjawabkan.
Alternatif-alternatif jawaban yang disodorkan tetap tidak memuaskan karena akal
budi manusia yang terbatas untuk menyelami misteri semesta. Indonesia dengan
konteks masyarakatnya yang menganut agama monoteis diperhadapkan dengan
pertanyaan mengapa ada penderitaan. Bencana dan kasus-kasus kekerasan yang
semakin marak terjadi menimpa siapa saja tanpa pandang bulu. Bencana dan
kejahatan membawa penderitaan bagi manusia. Penderitaan tidak kita kehendaki
tetapi mau tidak mau, suka atau tidak suka, penderitaan erat kaitannya dengan
kehidupan manusia.
Allah adalah Pencipta alam semesta, Ia Mahakuasa, Mahabaik, Mahapengampun, dan
Mahapengasih. Namun ketika diperhadapkan dengan realitas manusia dan alam
semesta yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan hal ini justru bertolak
belakang. Gambaran Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik tidak sesuai dengan
realitas. Semakin banyaknya bencana, kejahatan dan penderitaan membuat manusia
mempertanyakan relasinya dengan Tuhan yang Mahabaik; dengan kenyataan yang ada,
apakah Allah yang Mahabaik itu benar-benar mengkehendaki bencana terjadi? Apa
sebabnya Allah mengijinkan adanya penderitaan di dalam dunia? Di sini ada jelas
ada dua pernyataan yang saling bertolak belakang; Allah yang Mahakuasa dan
Mahabaik, dan Allah yang jahat dan suka kekerasan. Kalau Allah memang adalah
Allah yang Mahabaik dan Mahakuasa, lantas mengapa Ia tidak menjadikan dunia ini
damai sejahtera dan tanpa penderitaan saja?
Seringkali penderitaan dikait-kaitkan dengan dosa, ada banyak kisah-kisah
di Alkitab yang menceritakan tentang orang-orang yang mengalami penyakit berat
dan penderitaan dalam hidupnya dikarenakan ia berdosa. Misalnya kisah seorang
yang buta sejak lahir; orang-orang seperti ini justru dikucilkan dan menjadi
kaum terpinggir di masyarakat karena ia najis dan berdosa berat. Di tengah
konteks masyarakat Asia, beberapa negara masih menganut sistem kasta (India
misalnya), dan kasta tentu saja mempengaruhi kedudukan dan status sosial
seseorang di dalam masyarakat. Lihat saja kasus bencana tsunami beberapa tahun
yang lalu di Aceh atau kasus kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada 1998 yang
merenggut banyak korban dan kasus gempa di Nepal yang baru-baru ini terjadi. Banyak
dari kita pasti akan bertanya dimana Tuhan? Apakah penderitaan yang mereka
alami adalah karena dosa dan ini musibah yang datang karena hukuman Allah?
Pasrah dan berserah mungkin satu-satunya jalan yang bisa ditempuh ketika
diperhadapkan dengan penderitaan; walaupun usaha untuk keluar dari penderitaan
itu juga tetap diusahakan.
Jon Tal Murphree menjelaskan bahwa kita melihat kejahatan karena tindakan
tersebut memberi dampak buruk bagi kehidupan kita.[6]
Lihat saja bencana yang baru-baru ini terjadi di Nepal, korban jiwa yang sangat
banyak membuat kita melihat bahwa akibat yang ditimbulkannya terhadap manusia
inilah yang kita anggap sebagai sesuatu yang buruk dan tidak dapat kita terima.
Bencana dan penderitaan adalah bagian dari proses kehidupan manusia. Dari mana
datang penderitaan dan mengapa penderitaan ada tidak bisa dijawab hanya nalar
dan logika saja, tetapi dibutuhkan refleksi dan pengayatan iman. Misalnya dalam
kisah Ayub, seorang yang saleh dan takut akan Tuhan namun mengalami penderitaan
yang luar biasa dalam hidupnya. Kisah-kisah di Alkitab memang tidak bisa begitu
saja dijadikan jawaban untuk mengatasi pertanyaan mengapa ada penderitaan; kisah-kisah
seperti ini harus dipahami sebagai kisah pengajaran atau refleksi iman. Yewangoe
mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin bebas dari penderitaan, justru kalau
ia tidak menderita maka ia tidak bisa disebut manusia. Begitu juga dengan alam.
justru karena alam menimbulkan bencana, maka ia disebut alam.[7]
Allah menyatakan kuasanya justru lewat adanya sukacita dan penderitaan. Sama
seperti adanya dikotomi baik dan jahat, begitu juga dengan sukacita dan
penderitaan. Justru karena Allah berada di kedua sisi ini maka Ia menjadi
Mahakuasa. Di lain pihak, gambaran sosok Allah yang Mahabaik itu justru muncul
karena Ia dipahami, bahkan dialami, sebagai kekuatan yang peduli pada manusia;
Ia yang berbelaskasih dan yang suka mengampuni kesalahan manusia. Manusia yang
menyadari kelemahan dan kekurangannya membutukan sosok yang mampu mengatasi
kekurangan, kelemahan, dan ketakutannya, sehingga gambaran Allah yang “Maha”
itu menjadi gambaran yang mutlak bagi manusia.
Gambaran Allah yang kita kenal bermacam-macam itu, membuat kita mengikat
sosok Allah menurut gambaran dan pemahaman kita. Ketika kita menggambarkan
sosok Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik itu, maka sebenarnya kita tidak sedang menggambarkan
sosok Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik itu. Gambaran dan pemahaman kita
tentang sosok Allah membatasi kita memahami Allah. Allah dengan segala
kemahakuasaanNya menciptakan kita dengan tujuan dan maksud yang tidak bisa kita
pahami. Logika manusia sekali lagi tidak bisa menyelami pemikiran Allah. Bahkan
rancangan keselamatan Allah bagi manusia bisa jadi merupakan pertanyaan,
mengapa Allah menciptakan penderitaan bagi manusia lalu menyelamatkan manusia lewat
kematian dan kebangkitan AnakNya, Yesus Kristus? Dalam teologi Minjung, Allah dipandang sebagai Allah
yang ikut menderita. Konteks masyarakat yang tertindas dan mengalami
penderitaan akibat ketidakadilan memunculkan penghayatan Allah yang turut
menderita bersama mereka.[8]
Konteks masyarakat Asia yang miskin, menderita, dan susah memunculkan gambar
Allah yang turut menderita sebagai bentuk bela rasa Allah kepada umatNya. Lihat
juga kisah Mother Theresia yang melihat seorang pengemis yang haus yang ia
temui sebagai gambaran Allah yang turut menderita bersama dengan orang-orang di
Calcuta yang menderita kelaparan. Penderitaan yang kita pahami adalah
penderitaan dari perspektif yang negatif. Penderitaan yang membawa kepedihan
dan dukacita. Namun pernahkah kita mencoba melihat penderitaan dari perspektif
positif; yakni dari sukacita yang (kemudian) ia bawa. Dalam Kristen kita percaya
bahwa Allah lewat Yesus Kristus menderita, mati dan disalibkan untuk menebus
dosa kita manusia. Namun penderitaan yang Ia alami berujung sukacita di dalam
kebangkitanNya. Kristus adalah bukti nyata Allah yang solid, Allah yang juga
turut menderita dengan manusia.
III.
REFLEKSI
Kita mungkin tidak
bisa menjawab pertanyaan mengapa ada penderitaan? karena tidak ada jawaban yang
sempurna yang dapat menjawab pertanyaan itu selain menerima kenyataan bahwa
penderitaan adalah bagian dari kehidupan manusia, dan menjadi bahan refleksi
bagi kita. Penderitaan menyadarkan kita akan kuasa Allah yang dahsyat dalam
seluruh peran kehidupan manusia. Penderitaan semakin menyadarkan dan
mendekatkan kita pada Allah yang tak tergambarkan. Bencana gempa di Nepal,
kasus-kasus kekerasan yang menimpa TKW Indonesia, kasus jual-beli manusia,
kekerasan lainnya merupakan bukti nyata penderitaan yang kita alami. Konteks
Asia yang dekat dengan kemiskinan dan penderitaan, membuat kita berefleksi dari
pengalaman iman tetang Kristus dan mengamplikasikannya ditengah konteks kita.
Kristus adalah fondasi dasar bagi orang Kristen Asia melihat dan menghadapi
penderitaan dengan lebih terbuka. Pertanyaan “mengapa saya” yang mengalami
penderitaan ini mungkin akan terlontar sebagai reaksi awal manusia ketika
diperhadapkan dengan musibah dan penderitaan. Hal ini manusiawi, sebagai
seorang Kristen yang mengenal sosok Allah yang mahakuasa, mahabaik,
mahapengasih, namun pada kenyataannya justru berbeda (ia menderita dan Allah
tidak menghalau penderitaan itu agar tidak menimpanya). Namun dalam prosesnya,
kita menerima penderitaan itu. Manusia menyesuaikan diri dengan penderitaan
yang mau tidak mau pasti dapat menimpanya. Sulit memang (ketika dalam keadaan
menderita) untuk menjawab “mengapa saya” yang harus mengalami penderitaan,
namun dalam prosesnya kita belajar menerima penderitaan yang ada dan mulai
menyadari bahwa (mungkin) semua ini adalah kehendak Allah. Solusi mudahnya, yah mengembalikan semuanya kepada Yang
Mahakuasa itu.
Dalam tradisi Jawa
kita mengenal konsep nrimo (narima),
di mana manusia yang diperhadapkan dengan penderitaan menerima dengan sungguh penderitaan
yang sedang di hadapi, namun bukan berarti menerima/pasrah berarti tidak
melakukan apa-apa, tidak mengusahakan apa pun untuk keluar dari penderitaan.
Dalam tradisi orang Toraja saya juga mengenal konsep sa’bara. Sa’bara berarti
tabah/tawaqal menghadapi cobaan dan
penderitaan, namun tidak berarti pasif dan tidak melakukan apa-apa. Harus ada
upaya untuk memberdayakan diri sendiri, bersikap aktif mengolah penderitaan
yang dihadapi. Saya merasa ini mungkin konsep yang (terlalu) optimis, pada
kenyataannya sulit memang mengaplikasikan ini ketika dilanda
penderitaan/musibah yang tiba-tiba. But,
why not? Butuh proses pastinya, perlahan tetapi pasti. Menurut saya, kita
orang Asia cenderung bereaksi mengadapi penderitaan secara komunal/praksis
solidaritas. Saya setuju dengan pendapat EGS yang mengemukakan bahwa orang
Indonesia akan solid ketika diperhadapkan pada bencana. Misalnya ketika bencana
Gunung Sinabung, dimana bantuan banyak berdatangan dari berbagai kalangan
sebagai bentuk bela rasa dengan sesamanya atau lihat juga bencana Gempa di
Nepal yang baru-baru ini terjadi. Banyaknya bantuan baik materi maupun tenaga
relawan yang berdatangan memperlihatkan bagaimana kita mau turut mengambil
bagian untuk meringankan penderitaan saudara-saudara kita.
Pada
akhirnya sukacita dan penderitaan merupakan satu ambiguitas hidup manusia yang
tidak harus dipertantangkan, karena keduanya sama-sama membentuk dan menghiasi
kehidupan manusia; keduanya saling melengkapi keutuhan pengalaman hidup
manusia. Menemukan makna sejati penderitaan sama halnya dengan menemukan makna
sejati kebahagiaan, sulit dirumuskan dan dibahasakan tetapi nyata dalam
pengalaman. Iman Kristen yang yakini dapat membantu kita memahami bahwa
penderitaan yang dihayati dalam kesatuan dengan Kristus merupakan jalan menuju
kesatuan dengan Dia dalam sukacita kebangkitan. Sama seperti pepatah, “seperti pelangi sehabis hujan”, kematian
dan kebangkitan Kristus merupakan wujud nyata ke-solidaritasan-Nya dalam
penderitaan manusia. Kristus yang menderita memperlihatkan bahwa Allah juga
turut menderita demi menebus dosa manusia. Namun Ia bangkit dan kita
diselamatkan.
[1] Zakaria J.
Ngelow, “Bianglala di Atas Tsunami, Selayang Pandang Teodice Kristen” dalam
Zakaria J. Nelow, dkk, Teologi Bencana:
Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar:
Yayasan OASE INTIM, 2006, h. 203
[2] http://dunia.tempo.co/read/news/2015/05/05/118663578/gempa-nepal-korban-jiwa-sudah-mencapai-7-365-orang diakes pada
01 Juni 2015 pukul 09.35
[3] http://dunia.news.viva.co.id/news/read/632478-kasus-trafficking-wni-terus-meningkat-setiap-tahunnya diakses
pada 01 Juni 2015 pukul 09.40
[6] Jon Tal Murphree, Kejahatan
dan Penderitaan: Mengapa Allah Mengizinkannya?, terj: Houw Liong, Bandung:
Lembaga Literatur Baptis, 1988, h.35
[7] A.A.Yewangoe,
“Membangun Teologi Bencana, Pergumulan Teodice dan Teologi Penderitaan Allah”,
dalam Zakaria J. Nelow, dkk, Teologi
Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial,
Makassar: Yayasan OASE INTIM, 2006, h. 248-249
[8] A.A.Yewangoe, Theologia
Crucis di Asia: Pandangan-pandangan Orang Kristen Asia Mengenai Penderitaan
dalam Kemiskinan dan Keberagaman di Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993,
h. 347