Monday, 7 September 2015

Allah dan Penderitaan dalam Pergumulan Teodice

I.         PENDAHULUAN
Bencana dapat dibedakan ke dalam 2 bentuk; yakni bencana alam yang disebabkan oleh fenomena alam (natural disaster), dan bencana sosial yang disebabkan oleh ulah manusia (moral disaster).[1] Dunia yang semakin berkembang dan teknologi yang semakin muktahir menjadi bukti bahwa manusia semakin menyadari kemampuan dan keistimewaan yang ia miliki. Ia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah dan dikaruniai akal budi, pikiran, serta kehendak bebas yang tidak dimiliki oleh ciptaan lain. Di tengah peradaban manusia dan globalisasi yang semakin berkembang, penderitaan, ketidakadilan, bencana, dan kejahatan juga semakin sering terjadi. Kelaparan terjadi di mana-mana akibat ketidakadilan politik-sosial, banyaknya kasus-kasus human trafficking, gempa dan tsunami, banjir bandang dan tanah longsor diberbagai daerah, korupsi yang semakin marak terjadi, kasus-kasus kekerasan, dan masih banyak lagi. Baru-baru ini kita dikagetkan dengan peristiwa gempa di Nepal yang merengkut puluhan ribu jiwa. Tercatat bahwa Korban jiwa akibat gempa yang mengguncang Nepal pada 25 April sudah bertambah menjadi 7.365 orang, dan jumlah korban cedera tercatat 14.366 orang. Menurut statistik kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 600 ribu rumah di negara berpenduduk 28 juta jiwa itu rusak akibat gempa. Data PBB juga menunjukkan bahwa delapan juta warga Nepal terdampak gempa. Sedikitnya dua juta di antaranya membutuhkan tenda, air, makanan, dan obat-obatan.[2]  Di sisi lain bencana sosial yang diakibatkan oleh ulah manusia juga semakin marak terjadi. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat ada peningkatan jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perdagangan manusia atau human trafficking di luar negeri dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Kemenlu tahun 2013, kasus trafficking ada sebanyak 186 kasus. Pada 2014 meningkat menjadi 365 kasus, atau naik sebesar 96 persen dan tahun ini, data yang tercatat hingga Mei 2015 sudah mencapai 196 kasus.[3] 

Ilmu pengetahuan dan perkembangan science telah memberikan sumbangsih untuk menanggulangi bencana alam, misalnya dalam hal mendeteksi gempa, curah hujan, dan lembaga-lembaga HAM sudah mengupayakan hak-hak asasi manusia. Namun apakah ini dapat menjawab pertanyaan “mengapa ada penderitaan?” tidak! Ilmu pengetahuan tidak cukup untuk menjawab pertanyaan mengapa ada penderitaan. Banyaknya bencana dan kejahatan yang terjadi dimana-mana merupakan masalah yang hingga saat ini masih menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa hal itu terjadi? Mengapa ini menimpa saya? Bencana (baik itu fenomena alam atau akibat ulam manusia) merupakan proses yang selalu mengiringi setiap perjalanan kehidupan manusia. Origenes menyebutkan bahwa adanya kejahatan dan penderitaan adalah akibat penyalahgunaan kebebasan yang diterima dari Allah.[4]  Bapa Gereja, Agustinus menjelaskan bahwa kejaatan adalah ketiadaan kebaikan. Ketiadaan kebaikan itu yang menyebabkan setiap makhluk ciptaan kehilangan bentuk atau tujuan khusus yang alami padanya.[5] Pada kenyataannya pertanyaan mengapa ada kejahatan hingga saat ini masih menjadi sebuah tanda tanya besar; jika ada Tuhan mengapa ada penderitaan? apakah Allah ingin melenyapkan penderitaan, tetapi tidak mampu? Berarti Allah tidak berdaya. Apakah Allah sebenarnya dapat mencegah penderitaan, tetapi tidak mau? Kalau demikian maka Allah jahat. Atau apakah Allah sesungguhnya bisa dan mau mengatasi penderitaan? lantas mengapa tetap ada penderitaan?

II.      ALLAH DAN PENDERITAAN
Para filsuf dan teolog telah berusaha mencari jawaban mengapa ada penderitaan, mengapa manusia harus mengalami penderitaan, namun hingga saat ini jawaban dari pertanyaan tersebut masih merupakan misteri yang belum terjawabkan. Alternatif-alternatif jawaban yang disodorkan tetap tidak memuaskan karena akal budi manusia yang terbatas untuk menyelami misteri semesta. Indonesia dengan konteks masyarakatnya yang menganut agama monoteis diperhadapkan dengan pertanyaan mengapa ada penderitaan. Bencana dan kasus-kasus kekerasan yang semakin marak terjadi menimpa siapa saja tanpa pandang bulu. Bencana dan kejahatan membawa penderitaan bagi manusia. Penderitaan tidak kita kehendaki tetapi mau tidak mau, suka atau tidak suka, penderitaan erat kaitannya dengan kehidupan manusia.

Allah adalah Pencipta alam semesta, Ia Mahakuasa, Mahabaik, Mahapengampun, dan Mahapengasih. Namun ketika diperhadapkan dengan realitas manusia dan alam semesta yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan hal ini justru bertolak belakang. Gambaran Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik tidak sesuai dengan realitas. Semakin banyaknya bencana, kejahatan dan penderitaan membuat manusia mempertanyakan relasinya dengan Tuhan yang Mahabaik; dengan kenyataan yang ada, apakah Allah yang Mahabaik itu benar-benar mengkehendaki bencana terjadi? Apa sebabnya Allah mengijinkan adanya penderitaan di dalam dunia? Di sini ada jelas ada dua pernyataan yang saling bertolak belakang; Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik, dan Allah yang jahat dan suka kekerasan. Kalau Allah memang adalah Allah yang Mahabaik dan Mahakuasa, lantas mengapa Ia tidak menjadikan dunia ini damai sejahtera dan tanpa penderitaan saja?

Seringkali penderitaan dikait-kaitkan dengan dosa, ada banyak kisah-kisah di Alkitab yang menceritakan tentang orang-orang yang mengalami penyakit berat dan penderitaan dalam hidupnya dikarenakan ia berdosa. Misalnya kisah seorang yang buta sejak lahir; orang-orang seperti ini justru dikucilkan dan menjadi kaum terpinggir di masyarakat karena ia najis dan berdosa berat. Di tengah konteks masyarakat Asia, beberapa negara masih menganut sistem kasta (India misalnya), dan kasta tentu saja mempengaruhi kedudukan dan status sosial seseorang di dalam masyarakat. Lihat saja kasus bencana tsunami beberapa tahun yang lalu di Aceh atau kasus kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada 1998 yang merenggut banyak korban dan kasus gempa di Nepal yang baru-baru ini terjadi. Banyak dari kita pasti akan bertanya dimana Tuhan? Apakah penderitaan yang mereka alami adalah karena dosa dan ini musibah yang datang karena hukuman Allah? Pasrah dan berserah mungkin satu-satunya jalan yang bisa ditempuh ketika diperhadapkan dengan penderitaan; walaupun usaha untuk keluar dari penderitaan itu juga tetap diusahakan.

Jon Tal Murphree menjelaskan bahwa kita melihat kejahatan karena tindakan tersebut memberi dampak buruk bagi kehidupan kita.[6] Lihat saja bencana yang baru-baru ini terjadi di Nepal, korban jiwa yang sangat banyak membuat kita melihat bahwa akibat yang ditimbulkannya terhadap manusia inilah yang kita anggap sebagai sesuatu yang buruk dan tidak dapat kita terima. Bencana dan penderitaan adalah bagian dari proses kehidupan manusia. Dari mana datang penderitaan dan mengapa penderitaan ada tidak bisa dijawab hanya nalar dan logika saja, tetapi dibutuhkan refleksi dan pengayatan iman. Misalnya dalam kisah Ayub, seorang yang saleh dan takut akan Tuhan namun mengalami penderitaan yang luar biasa dalam hidupnya. Kisah-kisah di Alkitab memang tidak bisa begitu saja dijadikan jawaban untuk mengatasi pertanyaan mengapa ada penderitaan; kisah-kisah seperti ini harus dipahami sebagai kisah pengajaran atau refleksi iman. Yewangoe mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin bebas dari penderitaan, justru kalau ia tidak menderita maka ia tidak bisa disebut manusia. Begitu juga dengan alam. justru karena alam menimbulkan bencana, maka ia disebut alam.[7] Allah menyatakan kuasanya justru lewat adanya sukacita dan penderitaan. Sama seperti adanya dikotomi baik dan jahat, begitu juga dengan sukacita dan penderitaan. Justru karena Allah berada di kedua sisi ini maka Ia menjadi Mahakuasa. Di lain pihak, gambaran sosok Allah yang Mahabaik itu justru muncul karena Ia dipahami, bahkan dialami, sebagai kekuatan yang peduli pada manusia; Ia yang berbelaskasih dan yang suka mengampuni kesalahan manusia. Manusia yang menyadari kelemahan dan kekurangannya membutukan sosok yang mampu mengatasi kekurangan, kelemahan, dan ketakutannya, sehingga gambaran Allah yang “Maha” itu menjadi gambaran yang mutlak bagi manusia.

Gambaran Allah yang kita kenal bermacam-macam itu, membuat kita mengikat sosok Allah menurut gambaran dan pemahaman kita. Ketika kita menggambarkan sosok Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik itu, maka sebenarnya kita tidak sedang menggambarkan sosok Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik itu. Gambaran dan pemahaman kita tentang sosok Allah membatasi kita memahami Allah. Allah dengan segala kemahakuasaanNya menciptakan kita dengan tujuan dan maksud yang tidak bisa kita pahami. Logika manusia sekali lagi tidak bisa menyelami pemikiran Allah. Bahkan rancangan keselamatan Allah bagi manusia bisa jadi merupakan pertanyaan, mengapa Allah menciptakan penderitaan bagi manusia lalu menyelamatkan manusia lewat kematian dan kebangkitan AnakNya, Yesus Kristus? Dalam teologi Minjung, Allah dipandang sebagai Allah yang ikut menderita. Konteks masyarakat yang tertindas dan mengalami penderitaan akibat ketidakadilan memunculkan penghayatan Allah yang turut menderita bersama mereka.[8] Konteks masyarakat Asia yang miskin, menderita, dan susah memunculkan gambar Allah yang turut menderita sebagai bentuk bela rasa Allah kepada umatNya. Lihat juga kisah Mother Theresia yang melihat seorang pengemis yang haus yang ia temui sebagai gambaran Allah yang turut menderita bersama dengan orang-orang di Calcuta yang menderita kelaparan. Penderitaan yang kita pahami adalah penderitaan dari perspektif yang negatif. Penderitaan yang membawa kepedihan dan dukacita. Namun pernahkah kita mencoba melihat penderitaan dari perspektif positif; yakni dari sukacita yang (kemudian) ia bawa. Dalam Kristen kita percaya bahwa Allah lewat Yesus Kristus menderita, mati dan disalibkan untuk menebus dosa kita manusia. Namun penderitaan yang Ia alami berujung sukacita di dalam kebangkitanNya. Kristus adalah bukti nyata Allah yang solid, Allah yang juga turut menderita dengan manusia.    

III.   REFLEKSI
Kita mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan mengapa ada penderitaan? karena tidak ada jawaban yang sempurna yang dapat menjawab pertanyaan itu selain menerima kenyataan bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan manusia, dan menjadi bahan refleksi bagi kita. Penderitaan menyadarkan kita akan kuasa Allah yang dahsyat dalam seluruh peran kehidupan manusia. Penderitaan semakin menyadarkan dan mendekatkan kita pada Allah yang tak tergambarkan. Bencana gempa di Nepal, kasus-kasus kekerasan yang menimpa TKW Indonesia, kasus jual-beli manusia, kekerasan lainnya merupakan bukti nyata penderitaan yang kita alami. Konteks Asia yang dekat dengan kemiskinan dan penderitaan, membuat kita berefleksi dari pengalaman iman tetang Kristus dan mengamplikasikannya ditengah konteks kita. Kristus adalah fondasi dasar bagi orang Kristen Asia melihat dan menghadapi penderitaan dengan lebih terbuka. Pertanyaan “mengapa saya” yang mengalami penderitaan ini mungkin akan terlontar sebagai reaksi awal manusia ketika diperhadapkan dengan musibah dan penderitaan. Hal ini manusiawi, sebagai seorang Kristen yang mengenal sosok Allah yang mahakuasa, mahabaik, mahapengasih, namun pada kenyataannya justru berbeda (ia menderita dan Allah tidak menghalau penderitaan itu agar tidak menimpanya). Namun dalam prosesnya, kita menerima penderitaan itu. Manusia menyesuaikan diri dengan penderitaan yang mau tidak mau pasti dapat menimpanya. Sulit memang (ketika dalam keadaan menderita) untuk menjawab “mengapa saya” yang harus mengalami penderitaan, namun dalam prosesnya kita belajar menerima penderitaan yang ada dan mulai menyadari bahwa (mungkin) semua ini adalah kehendak Allah. Solusi mudahnya, yah mengembalikan semuanya kepada Yang Mahakuasa itu.

Dalam tradisi Jawa kita mengenal konsep nrimo (narima), di mana manusia yang diperhadapkan dengan penderitaan menerima dengan sungguh penderitaan yang sedang di hadapi, namun bukan berarti menerima/pasrah berarti tidak melakukan apa-apa, tidak mengusahakan apa pun untuk keluar dari penderitaan. Dalam tradisi orang Toraja saya juga mengenal konsep sa’bara. Sa’bara berarti tabah/tawaqal menghadapi cobaan dan penderitaan, namun tidak berarti pasif dan tidak melakukan apa-apa. Harus ada upaya untuk memberdayakan diri sendiri, bersikap aktif mengolah penderitaan yang dihadapi. Saya merasa ini mungkin konsep yang (terlalu) optimis, pada kenyataannya sulit memang mengaplikasikan ini ketika dilanda penderitaan/musibah yang tiba-tiba. But, why not? Butuh proses pastinya, perlahan tetapi pasti. Menurut saya, kita orang Asia cenderung bereaksi mengadapi penderitaan secara komunal/praksis solidaritas. Saya setuju dengan pendapat EGS yang mengemukakan bahwa orang Indonesia akan solid ketika diperhadapkan pada bencana. Misalnya ketika bencana Gunung Sinabung, dimana bantuan banyak berdatangan dari berbagai kalangan sebagai bentuk bela rasa dengan sesamanya atau lihat juga bencana Gempa di Nepal yang baru-baru ini terjadi. Banyaknya bantuan baik materi maupun tenaga relawan yang berdatangan memperlihatkan bagaimana kita mau turut mengambil bagian untuk meringankan penderitaan saudara-saudara kita.

Pada akhirnya sukacita dan penderitaan merupakan satu ambiguitas hidup manusia yang tidak harus dipertantangkan, karena keduanya sama-sama membentuk dan menghiasi kehidupan manusia; keduanya saling melengkapi keutuhan pengalaman hidup manusia. Menemukan makna sejati penderitaan sama halnya dengan menemukan makna sejati kebahagiaan, sulit dirumuskan dan dibahasakan tetapi nyata dalam pengalaman. Iman Kristen yang yakini dapat membantu kita memahami bahwa penderitaan yang dihayati dalam kesatuan dengan Kristus merupakan jalan menuju kesatuan dengan Dia dalam sukacita kebangkitan. Sama seperti pepatah, “seperti pelangi sehabis hujan”, kematian dan kebangkitan Kristus merupakan wujud nyata ke-solidaritasan-Nya dalam penderitaan manusia. Kristus yang menderita memperlihatkan bahwa Allah juga turut menderita demi menebus dosa manusia. Namun Ia bangkit dan kita diselamatkan.   




[1] Zakaria J. Ngelow, “Bianglala di Atas Tsunami, Selayang Pandang Teodice Kristen” dalam Zakaria J. Nelow, dkk, Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Yayasan OASE INTIM, 2006, h. 203
[4] Zakaria J. Ngelow, op cit, h. 208
[5] Zakaria J. Ngelow, op cit, h. 210
[6] Jon Tal Murphree, Kejahatan dan Penderitaan: Mengapa Allah Mengizinkannya?, terj: Houw Liong, Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1988, h.35
[7] A.A.Yewangoe, “Membangun Teologi Bencana, Pergumulan Teodice dan Teologi Penderitaan Allah”, dalam Zakaria J. Nelow, dkk, Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Yayasan OASE INTIM, 2006, h. 248-249
[8] A.A.Yewangoe, Theologia Crucis di Asia: Pandangan-pandangan Orang Kristen Asia Mengenai Penderitaan dalam Kemiskinan dan Keberagaman di Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, h. 347

Thursday, 14 May 2015

Ekklesialogi Feminis

A.    Pendahuluan
Pada masa Kekristenan awal, kata Gereja (ἐκκλησίᾳ) merupakan kata yang digunakan untuk menggambaran “komunitas orang-orang yang seiman”. Kata ekklesia dalam bahasa ibrani diterjemahkan dengan kata qahal (bertemu, berkumpul) קָהָל (bdk.Ul.23:1-14). Penggunaan kata ekklesia mendeskripsikan kehidupan Kekristenan dalam sebuah komunitas,[1] di mana mereka berkumpul bersama dan memecah roti, dan Kristus hadir di tengah-tengah mereka. Namun rupanya konsep ekklesia dalam Perjanjian Baru bukan hanya sekedar konsep keagamaan, melainkan juga konsep sipil-politik. Hal ini berarti ekklesia juga adalah perhimpunan dari warga merdeka yang berkumpul untuk menentukan sendiri urusan-urusan politis-rohaninya. Karena perempuan berada dalam tatanan sosial politik yang patriakal, mereka tidak bisa memutuskan urusan-urusan keagamaan-teologis mereka sendiri. Berangkat dari hal tersebut, muncullah kesadaran kritis feminis,  dalam bentuk ekklesia kaum perempuan (yang memiliki pengharapan akan masa depan dan realitas masa kini, dan mengambil bagian dalam pengambilan keputusan gereja, serta saling mengasuh antar perempuan-perempuan Kristen).[2] Dalam pembahasan paper pada bagian selanjutnya, kelompok berusaha memaparkan bagaimana proses dan perjalanan, serta perkembangan para feminis hingga mampu memberi dampak yang luar biasa dalam konteks saat ini.
B.     Perempuan dan Alkitab
Kebiasaan mengecilkan atau bahkan menghilangkan peranan perempuan dalam sejarah misi mempunyai akar-akar di dalam kebiasaan zaman para penulis Alkitab yang semuanya laki-laki dan pemuja model laki-laki.[3] Tidak dapat diragukan bahwa bahasa alkitab bersifat androsentrik (yaitu: berpusat pada laki-laki misalnya, semua rasul adalah laki-laki, murid-murid Yesus pun laki-laki, padahal sebenarnya banyak juga murid Yesus yang perempuan). Bahasa Androsentrik tersebut menyebutkan perempuan hanya apabila kehadiran mereka menjadi suatu masalah, atau apabila mereka “luar biasa”. Perempuan seringkali dipinggirkan bahkan disingkirkan, dan tidak jarang dikaitkan dengan seksualitas dan pornografi.[4] Sampai awal abad ke-19, sebagian besar karya intelektual dan teologis dikerjakan tanpa perspektif prafeminis. Tidak ada kesadaran bahwa pengalaman perempuan juga relevan untuk karya intelektual. Dunia intelektual adalah dunia kaum lelaki, dan perempuan hanyalah bagian dari cerita laki-laki. Kesadaran prafeminis ini memang mengakui bahwa kehidupan perempuan mempunyai beberapa aspek yang unik, namun perbedaan yang dimiliki aspek-aspek ini  tidak dipandang penting.[5] Banyaknya tradisi dan ajaran yang sifatnya merendahkan kaum perempuan, didasarkan pada anggapan “kepemimpinan laki-laki dalam tatanan penciptaan. Ide ini pada dasarnya menyamakan tatanan sosial laki-laki dengan tatanan yang diciptakan Tuhan atau hukum alam. Kepemimpinan laki-laki dianggap sebagai sifat yang melekat pada makhluk yang dikehendaki oleh Tuhan, dan tatanan sosial membutuhkan kekuasaan dan kedaulatan laki-laki dalam masyarakat, sehingga wanita tidak boleh memprakarsai ide-ide atau melakukan keinginannya secara bebas.[6]
Di sisi lain, dalam dokumen konsili Vatikan II diputuskan bahwa mereka yang berhak melakukan pelayanan hanyalah kaum laki-laki. Oleh karenanya sejak tahun 1985 keuskupan digambarkan sebagai gereja patriakal atau yang disebut dengan 'Bapa Kudus', hal ini menggambarkan bahwa gereja didominasi oleh kaum laki-laki.[7] Dominasi patriakal yang ada, membuat kaum perempuan tidak mendapat kesempatan untuk melayani ataupun ditabiskan menjadi seorang pemimpin umat. Walaupun perempuan sedikit banyak memang masih dapat terlibat dalam pelayanan, namun tetap ada perbedaan kedudukan antara wanita dan laki-laki, posisi mereka dalam pelayanan tetap berada dibawah uskup, pendeta, diaken atau pemuka agama. Rendahnya peran dan pengakuan sinode dan kepengurusan gereja terutama Katolik terhadap perempuan, membuat kaum perempuan terdiskriminasi dalam kepengurusan gerejawi. Pandangan seperti ini sudah seharusnya dirubah, di mana yang seharusnya terwujud adalah keseimbangan pelayanan antara kaum wanita dan pria, termasuk melibatkan wanita dalam pemilihan paus.[8] 
C.    Munculnya Kritik Feminis
Kaum perempuan dalam tradisi kitab suci merupakan salah satu dari mereka yang termarginalkan statusnya. Bahkan hingga sekarang, sebagian besar kaum perempuan terus berjuang mengupayakan kesamaan gender dan berusaha melepaskan diri dari pemahaman sosial yang patriakal. Proses melihat kembali tradisi (dimana kaum perempuan menjadi salah satu dari yang termarginalkan) merupakan upaya para teolog feminis untuk membuka mata dan membuat perspektif baru dalam melihat tradisi dan penafsiran-penafsiran kitab suci secara lebih terbuka. Russel, salah seorang tokoh feminis mengupayakan pergeseran Paradigma, di mana sebelumnya setiap topik akan dipandang dari sudut pandang jabatan atasan atau bawahan, yang di mulai dengan Allah sebagai puncak, kemudian laki-laki, demikian seterusnya hingga pada anjing, tanaman, dan benda mati. Keadaan tersebut merupakan paradigma autoritas sebagai dominasi.[9] Upaya paradigma feminis yang sedang muncul adalah paradigma autoritas sebagai kemitraan. Dalam pandangan ini autoritas dilaksanakan dalam komunitas dan cenderung meneguhkan kerja sama dengan sumbangan dari berbagai pihak yang memperkaya keseluruhan. Dalam hal ini perbedaan menjadi suatu nilai yang dihargai dan dihormati, mereka yang melihat dirinnya tersisih dari Gereja dan masyarakat mulai menemukan martabat sendiri sebagai manusia. Kabar baik disampaikan kepada mereka yang miskin dan tersisih sebagai suatu jalan untuk memahami horizon pengharapan akan Penciptaan Baru Allah.[10] Kisah-kisah tentang perempuan dalam kitab suci menjadi sarana bagi para teolog feminis dalam menafsirkan teks yang sifatnya mengangkat perempuan “womanist[11]. Bagi para kaum feminis, beriman kepada Allah diwujudnyatakan dengan “doing theology[12], aksi dan refleksi, beriman kepada Allah, dengan membuka mata kita, melihat konteks sekitar kita dan mengupayakan pembebasan bagi mereka yang termarginalkan[13] (orang miskin, orang-orang lemah yang tertindas sosial, politik dan ekonomi).
Kesadaran kritis feminis terhadap sistem sosial yang patriakal membangun suatu paradigma baru dalam komunitas sosial dan gereja, dimana laki-laki dan perempuan  bekerja sama sebagai partner yang sejajar posisinya, tidak ada yang di atas maupun di bawah. Walaupun memang tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi kitab suci yang kita miliki saat ini banyak ditafsirkan dan diinterpretasikan dalam sudut pandang patriakal[14] hingga berakar dalam pola pikir dan pemahaman jemaat. Pada intinya kaum feminis ingin membawa perspektif baru pada dunia dalam melihat pengalaman dan pemahaman perempuan untuk dihayati bersama, dan oleh karena itu kepercayaan religius kita perlu didasarkan atas pengalaman historis orang Yahudi dan orang kristen yang diungkapkan melalui teks Kitab Suci; kesadaran kritis feminis harus membentuk teologi dengan cara beranjak dari kritik ke alternatif yang konstruktif.[15] Jon Sobrino menawarkan pemahaman “ecclesial solidarity” dimana gereja menjadi komunitas yang dibangun berdasarkan asas kebersamaan dan solidaritas. Dalam sudut pandang pemahaman feminis, gereja juga diinterpretasikan sebagai komunitas yang bergerak dan berefleksi atas imannya kepada Yesus Kristus, komunitas yang berkumpul bersama untuk memperjuangkan kebebasan atas penindasan (kemiskinan, rasis, dll) serta untuk mengupayakan kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana dirinya setara dengan kaum laki-laki sebagai seorang manusia dalam komunitas sosial dan bergereja.[16]
D.    Tokoh-tokoh Feminis dan Gerakan yang mereka lakukan
-       Elizabeth Schϋssler Fiorenza
Berbicara tentang ekklesiologi feminis, Elizabeth Fiorenza memiliki pemahaman sendiri dari perspektif feminis. Kaum feminis berangkat dari pengalaman perempuan dalam sejarah kitab Suci hingga konteks sosial saat ini yang sering dikesampingkan status sosialnya, baik di dalam komunitas masyarakat maupun dalam kehidupan bergereja. Pusat hermeneutis dari penafsiran Alkitab kaum feminis adalah gereja perempuan, sebuah gerakan agama alkitabiah yang terbuka kepada penganut perempuan maupun laki-laki yang berorientasi dari perspektif feminis. Ekklesia perempuan merupakan bagian dari gerakan perempuan yang lebih luas dalam masyarakat dan keagamaan yang memahaminya bukan hanya sebagai gerakan hak-hak asasi, melainkan merupakan gerakan pembebasan perempuan. Sasarannya bukan hanya “kemanusiaan yang utuh” para perempuan, tetapi juga penegasan diri religius, kekuasaan, dan kebebasan kaum perempuan dari segala bentuk aleinasi, penyepelean dan penindasan corak patriakal. Gerakan feminisme merupakan gerakan yang memperjuangkan perubahan; Patriaki tidak dapat dirobohkan kecuali kaum perempuan kelas terendah dari piramida patriaki dan mereka yang tertindas itu dibebaskan.[17] 
-       Elizabeth C. Stanton
Elizabeth C. Stanton dan para ahli kitab suci mengawali kritik feminis pada abad ke-19, di mana Kitab Suci masyarakat Barat disalahfungsikan sebagai sumber utama dan pembenaran terhadap penindasan perempuan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun Gereja.[18] Selama tahun 1895-1898 ia menerbitkan Kitab Suci versi perempuan, yakni The Woman’s Bible. The Woman’s Bible merupakan tafsiran kitab Suci yang feminis, yang berangkat dari kesadaran kritik feminis, di mana perempuan dan laki-laki sama-sama manusia yang utuh sederajat.[19] Buku tersebut ditentang karena perspektif hermeunetiknya yang radikal. Kritik Candy Stanton yang radikal ingin menegaskan bahwa Alkitab tidak dapat diterima atau ditolak secara keseluruhan karena ajaran-ajaran dan pesan-pesannya sangat berbeda-beda.[20]  
-       Letty M. Russel
Letty M. Russel merupakan sosok orang Kristen berkulit putih dari kelas menengah yang melayani kaum gembel di kota besar. Ia telah melayani selama 17 tahu di suatu jemaat Protestan yang warganya terdiri dari orang miskin dan campuran berbagai ras. Russel menyatakan bahwa ia dan teman-temannya yang berkulit hitam diciptakan dan dipanggil oleh firman dalam Alkitab untuk menjadi mitra Allah dalam pemulihan ciptaan.[21] Sebagai seorang feminis, Russel melihat Alkitab sebagai sumber pengharapan akan keadilan dan pembebasan. Hal tersebut merupakan kunci bagi mereka yang bergumul dengan struktur penindasan.  
E.     Spiritualitas dan Eklesia kaum perempuan (Bagian pertama)
Semangat gerakan feminisme berawal dari sebuah keprihatinan akan dunia yang merendahkan citra perempuan, feminisme merupakan sebuah ikatan persaudaraan kaum perempuan untuk memperkuat diri dan mengklaim kembali panggilan baptisan kaum perempuan menuju kepada kemuridan yang sederajat. Gambar dan pemahaman diri ini merupakan sebuah perwujudan sentral dan penjelmaan visi tentang gereja yang hidup dalam solidaritas dengan kaum tertindas dan miskin, yang kebanyakan adalah perempuan. Baptisan adalah sakramen panggilan untuk hidup sederajat. Kaum perempuan menanggapi sakramen baptisan dalam sebuah praksis kristiani untuk mengangkat kesederajatan dan melawan penindasan yang selama ini dialaminya. Spiritualitas berkaitan dengan kehidupan jiwa, kehidupan doa dan ibadah, meditasi dan kesatuan mistis, dengan terus menyadari pengalaman-pengalaman akan kehadiran Allah. Spiritualitas juga termasuk pengalaman akan injil, yang berarti masuk ke dalam sebuah persekutuan komunal, karena injil bukanlah hanya masalah pengalaman individu saja, tetapi Injil juga merupakan panggilan bagi gereja sebagai kemuridan yang sederajat, yang selalu diperbaharui dalam roh.[22]
Dalam Perjanjian Lama eklesia berari “perhimpunan umat Israel di hadapan Allah.” Dalam Perjanjian Baru Eklesia berarti, perhimpunan umat Allah di sekitar meja yang dibangun melalui perantaraan roh, makan bersama, memecah roti dan minum cawan sambil mengenang penderitaan dan kebangkitan Kristus.[23] Dari sini spiritualitas kristen berarti, makan, minum, berbagi, bercakap secara bersama-sama akan kehadiran Allah satu sama lain, serta memberitakan injil kepada semua orang, khususnya bagi mereka yang miskin dan tersiksa. Jikalau pemahaman eklesia dan spirtualitas kristen demikian, maka ketika perempuan masih belum mendapatkan haknya atau kemerdekaannya, berarti eklesia sebagai kemuridan yang sederajat masih belum terwujud.[24]
Spiritualitas Kristen feminis berakar di dalam eklesia perempuan sebagai “tubuh     Kristus”. Perempuan telah sekian lama dijadikan objek oleh laki-laki, objek kekerasan, pelacuran, penyiksaan serta pembatasan ruang gerak dalam gereja dan publik menegaskan bahwa perempuan harus mengklaim kembali tubuh perempuan sebagai “gambar dan tubuh Kristus”. Perempuan-perempuan yang memiliki semangat bersama untuk menuntut hak eklesia feminis, berkumpul dalam meja oikumenis bersama-sama bertanggung jawab dan bersahabat untuk menentukan kesejahteraannya sendiri yang mencakup tubuh dan jiwa, hati dan rahim peranakan. Spiritualitas kristen feminis berusaha mengajak kepada semua perempuan untuk menghimpun menjadi eklesia kaum perempuan yang diutus untuk memberi makan, menyembuhkan dan membebaskan kaumnya sendiri. Melalui eklesia ini, kaum perempuan juga mampu menyingkapkan kepalsuan-kepalsuan sistem hirarki kaum laki-laki yang mendominasi (teologi, hukum, liturgi dan spiritualitas). Eklesia kaum perempuan berkumpul bukan hendak menentang kaum laki-laki, melainkan agar para perempuan dapat menjadi eklesia di hadapan Allah, dan para perempuan akan bertanggung jawab secara mandiri atas apa saja keputusan mereka untuk mencapai kesejahteraan. Tentunya ini terjadi karena tradisi rohani yang mengklaim bahwa laki-laki memiliki martabat ilahi, sehingga laki-laki harus melepaskan kontrol ilahi atas kaum perempuan pula atas gereja untuk mewujudkan hubungan yang mutualitas (timbal balik) antara laki-laki maupun perempuan. Di sisi lain, kaum perempuan juga diperhadapkan pada kenyataan bahwa (oleh beberapa kaum perempuan yang merasa) gambaran Allah yang benar adalah laki-laki (father right), dan ironisnya baik laki-laki maupun perempuan menolak status kependetaan bagi perempuan karena alasan tersebut.[25] Semangat oikumenis perempuan perlu dibangun, disini para perempuan tidak hanya dituntut untuk menyadarkan laki-laki semata, tetapi juga menyadarkan para kaumnya sendiri untuk tidak larut dalam nostalgia tekanan patriakal yang mendarah daging, yang menyebabkan perempuan justru pasrah menerima keadaaan yang sudah ada. Pernyataan “ekklesia kaum perempuan” atau “gereja perempuan” mencoba untuk mengembalikan kesadaran bahwa wanita adalah gereja dan selalu menjadi gereja.[26]
F.     Spiritualitas dan Eklesia kaum perempuan (Bagian Kedua)
Secara tradisi kehidupan kaum perempuan hanya sebatas mengurus keluarga dan bekerja di rumah. Pengalaman kehidupan sehari-hari ini membuat mereka menggumuli relasi dengan Allah. Dalam proses ini kaum perempuan berusaha memahami Tuhan melalui kesadaran akan diri mereka sebagai bagian dari ciptaan Allah. Kaum femisis berusaha memahami panggilan Tuhan yang ada dalam diri mereka melalui sebuah relasi spiritualitas, yang diawali dari diri sendiri, kemudian diwujudkan dalam aksi memperjuangan keadilan. Sebuah gambaran spiritualitas tercermin dalam tindakan kaum perempuan ketika memilih untuk menghargai kehadiran mereka sebagai suatu anugerah dari Tuhan. Hal tersebut berbeda ketika dilahirkan menjadi seorang perempuan dari seorang ayah dan ibu. Kaum perempuan tidak dapat memilih untuk dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Kebenaran yang  sama berlaku saat memilih diri menjadi wanita yang utuh. Ketika mengambil pilihan, setiap perempuan memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi diri dengan cara yang diinginkan.  Memilih untuk menjadi seorang wanita atau pria berarti tidak hanya sekedar menerima keadaan dan tubuh apa adanya, dengan keterbatasan yang ada, dalam bentuk ras, seks, keluarga, kelas dan budaya. Kaum laki-laki memiliki dominasi dalam kepempimpinan. Sedangkan kaum perempuan ditindas oleh sistem patriakal yang didominasi oleh kaum laki-laki. Menerima menjadi seorang perempuan Kristen berarti berkomitmen untuk mengenali diri sendiri, mencintai dan  menjalin relasi dengan orang lain untuk mewujudkan suatu kebebasan.  Menjalin relasi persaudaraan merupakan bagian dari spiritualitas feminis. Melalui relasi ini kaum perempuan merasa kehadiranya semakin utuh sebagai karya penciptaan Tuhan. oleh karenanya spiritualitas harus menjadi sebuah petunjuk yang memberikan arti, nilai secara penuh atas pengalaman yang dialami. Relasi persaudaraan juga tergambarkan melalui rasa solidaritas di meja perjamuan yang seringkali dilakukan dalam gereja. Dalam meja perjamuan kaum perempuan saling berkomitmen untuk bersama-sama melayani Tuhan, bekerja mewujudkan keadilan dan mengubah dunia. Dalam pelaksanaanya banyak ketakutan yang dialami oleh kaum wanita, ketika mereka harus memimpin institusi gereja. Hal ini terkait dengan kuatnya tradisi kristiani yang selama ini dihidupi bahwa kaum wanita, seharusnya wanita berada dalam ranah domestik.  Pada dasarnya spiritualitas feminis tidak hanya berfokus dalam tradisi, tetapi menjadi bagian dari transformasi tradisi yang berbicara mengenai cinta Tuhan dan menjadi sebuah komunitas yang terbuka untuk semua orang. Spiritualitas feminis merupakan sebuah jembatan yang menghubungkan komunitas iman dan mewujudkan perjuangan keadilan .
Kaum perempuan menyadari bahwa untuk menghargai dirinya, mereka harus bangkit dari situasi yang ada. Dengan menyadari potensi yang ada dalam diri mereka, kaum perempuan berusaha untuk bangkit melawan penindasan yang ada sesuai dengan peran mereka dalam budaya. Melalui penghayatan diri, bersama dengan orang lain dan Tuhan, kaum perempuan merasa menjadi manusia yang utuh. Pengalaman kehidupan membuat mereka menemukan sebuah spiritualitas baru untuk lebih menghayati kehadiran diri mereka sekaligus relasi mereka dengan Allah. Kaum perempuan membentuk sebuah komunitas yang setara diposisikan seperti sebuah meja dapur, dimana sesama kaum perempuan saling berjuang sebagai saudara dan menerima diri sebagai anugerah Tuhan, untuk memperjuangkan keadilan atas realitas ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kaum perempuan berusaha menghadirkan sebuah eklesiologi gereja yang hadir dan membebaskan mereka yang menderita. Melalui suatu gambaran meja dapur (bulat) kaum perempuan mengibaratkan mereka hadir untuk saling berbagi dengan sesama yang membutuhkan dan bersama-sama saling berjuang mewujudkan keadilan. Dalam memperjuangkan keadilan kaum wanita seringkali harus berhadapan dengan batasan- batasan sosial  antara lain seperti ras, jenis kelamin, orientasi seksual, maupun kelas.
Dalam prosesnya kaum perempuan dari semua golongan dan iman, dapat berbagi dalam mengeksplorasi perjalanan iman mereka. Ini adalah spiritualitas tanpa nama, spiritualitas saudara menghubungkan kepribadian dan politik untuk tujuan transformasi dan keterbukaan.  Dalam mewujudkan spiritualitas dalam sebuah relasi dibutuhkan beberapa syarat (1) saling bersinergi, dalam membangun sebuah relasi spiritual diperlukan bekerja sama dalam menjalani setiap permasalahan, (2) kesanggupan untuk melewati ketegangan yang ada, (3) melakukan sharing atas pengalaman spiritual dan hasil pengalaman kehidupan.[27] Spiritualitas feminis ini pada akhirnya menghantar setiap perempuan untuk menjadi manusia yang utuh, sebagai wujud penghargaan akan karya Tuhan yang nyata dalam dunia ini.
Setelah konsili vatikan II berlangsung, kaum perempuan mulai mendapat jalan untuk mewujudkan harapannya. Dengan berpijak pada konsep baptisan, kaum perempuan mulai bangkit untuk mewujudkan gereja sebagai pemuridan yang setara. Dengan dibekali pengalaman masa lalu dan masa sekarang.[28] Saat ini kaum perempuan mulai muncul dan bebas berekspresi dalam pelayanan gereja. Hal ini dapat tercapai dikarenakan adanya suatu kesadaran bahwa gereja sudah saatnya hadir sebagai komunitas pemuridan yang setara. Artinya setiap warga gereja memiliki hak demokratis untuk terlibat dalam pelayanan gereja, tidak hanya kaum laki-laki saja. Sebuah visi yang menjadi harapan kaum feminis dalam institusi gereja adalah seharusnya sistem gereja bersifat bundar seperti sebuah meja, bukan lagi berbentuk piramida dimana ada tingkatan hirarki di dalamnya. Sebagai anggota gereja setiap orang didalamnya memiliki hak yang sama dalam pelayanan, hendaknya sebuah pelayanan tidak saling mendominasi tetapi saling membantu. Walaupun dalam pergerakannya tidak terlalu ideal seperti yang diharapkan namun kaum perempuan sudah mendapat posisi yang lebih baik daripada sebelumnya, kehadiran mereka sebagai pelayan gereja perlahan-lahan mulai diakui, walaupun dalam beberapa ritual gereja mereka belum mendapat kebebasan untuk melakukan pelayanan sepenuhnya antara lain dalam sakramen dan berkotbah. Namun, visi mereka untuk mewujudkan pelayanan pemuridan yang setara telah tercapai.
G.    Tanggapan Kelompok
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, kelompok melihat bahwa memang teks Alkitab yang kita gunakan saat ini tidak bisa kita ubah, namun yang bisa kita lakukan adalah melakukan penafsiran ulang dan memperbaharui paradigma yang salah selama ini (patriakhal dan androsentrik). Begitu juga dengan struktur patriakhal zaman dahulu yang tidak bisa dihapus, karena sudah terjadi dan berjalan sedemikian rupa, namun bisa kita dibenahi dengan pola pikir baru seperti yang dilakukan oleh kelompok feminis; memperjuangkan kesetaraan bagi kaum yang tertindas untuk kehidupan sosial yang lebih baik. Perlu disadari bahwa untuk memperoleh pembebasan seperti yang diidam-idamkan oleh para pejuang feminis, seluruh kaum perempuan juga harus “sama kata sama rasa”, dimana sebagai seorang perempuan mereka saling mendukung satu sama lain untuk memperoleh kebebasan dan kesetaraan gender dengan kaum laki-laki. Namun rupanya, pemikiran maskulin sering kali tidak hanya dimiliki oleh kaum laki-laki saja. Tidak sedikit dari perempuan yang juga masih memiliki pemikiran tersebut; melihat gambaran Allah yang benar adalah laki-laki (father right), dan merasa memang sudah seperti inilah seharusnya nasib perempuan, berada dibawah kaum laki-laki. Ironisnya lagi baik laki-laki maupun perempuan masih ada yang menolak status kependetaan bagi perempuan karena alasan tersebut.[29] Maka dari itu, dalam melakukan kritik feminis tantangan yang dialami tidak hanya dari para laki-laki, tetapi juga sebagian perempuan yang masih bertahan dengan pemikiran maskulin dan patriakhal.
Di pihak lain, Gereja sebagai persekutuan umat Allah, harus mulai membenahi diri dan menyadari pentingnya kepedulian akan upaya kesetaraan gender (Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, Menurut Gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka-> Kejadian 1:27). Sebagai ciptaan Allah, perempuan dan laki-laki memiliki harkat dan martabat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pandangan patriakal yang telah berakar dalam struktur gerejawi memang sulit untuk dimusnahkan begitu saja, tetapi dengan proses dan perubahan paradigma, serta gereja yang semakin terbuka terhadap konteks dan permasalahan sekitarnya (sama seperti apa yang telah diperjuangkan oleh para teolog feminis dan pembebasan), kelompok rasa sangatlah mungkin dunia ideal dimana laki-laki dan perempuan hidup sebagai manusia yang setara derajatnya terwujud. Artinya, ketika gereja sudah bersedia untuk menerima kaum perempuan dalam lingkup pelayanan itu maka gereja harus membangun sebuah komitmen. Sebab, untuk mewujudkan pemuritan yang setara gereja harus memiliki komitmen yang kuat, terutama dalam memperhatikan permasalahan kaum feminis yang terjadi, karena komitmen inilah yang membuat gereja akan tetap berada di dalam ranah pemuritan yang setara, hal ini juga meminimalkan kembalinya kekuasaan hanya dominasi laki-laki dalam pelayanan gereja. Disisi lain sebuah komitmen juga membantu gereja untuk tetap berada pada tujuannya dalam memperjuangkan keadilan bagi kaum yang tertindas.  
Nah, yang menjadi pertanyaan kelompok apakah upaya yang dilakukan oleh teologi feminis terhadap kaum perempuan dan kehidupan sosial masyarakat dalam lingkup gereja, sudah diimbangi dengan kesiapan gereja akan hadirnya perempuan sebagai seorang pemimpin jemaat? Selain itu dari pihak perempuan sendiri, apakah kaum perempuan sudah siap untuk menjadi pemimpin atau setidaknya menerima tanggung jawab lebih di dalam konteks sosial masyarakat dan bergereja; mengambil peran dalam menentukan keputusan-keputusan di masyarakat dan di gereja?



[1] Lih.Russell, Letty M. Church in the round: Feminist interpretation of the chruch. Louisville, Kentucky. Westminster/John Knox Press. 1993. Hal 42-43
[2] Fiorenza, Elizabeth Schϋssler. In Memory of Her. Ter : Stephen Suleeman. Untuk mengenang perempuan itu: Rekonstruksi teologis feminis tentang asal-usul Kekristenan.Jakarta. Gunung Mulia.1995. Hal 437
[3] Emanuel Gerit Singgih. Menguak Isolasi, menjalin relasi –Teologi Kristen dan tantangan dunia postmodern-. Jakarta : Gunung Mulia. 2009. Hal 120
[4] Mutiara Andalas. Lahir dari Rahim. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 2009. Hal 147-148
[5] Lih. Letty Russell (ed). Perempuan dan Tafsir Kitab Suci. Yogyakarta: Kanisius. 1998. Hal 24
[6] Arvind Sharma (ed). Perempuan dalam Agama-agama Dunia. Yogyakarta. Copy right, Suka-Press .2005, Hal 291-293
[7] Ibid, Hal 269
[8]  Ibid, Hal 273
[9] Ibid. Halaman 157
[10] Lih. Letty Russell (ed). Perempuan dan Tafsir Kitab Suci. Yogyakarta: Kanisius. 1998. Hal 19
[11] Bdk. Russell, Letty M. Church in the round: Feminist interpretation of the chruch. Louisville, Kentucky. Westminster/John Knox Press. 1993. Hal 27-29
[12] Ibid, Hal 32
[13] Ibid, Hal 25
[14]Ibid, Hal 36
[15] Barbara Brown Zikmund. “Kesadaran Feminis dalam Perspektiv Historis”. (Letty M. Russell) Yogyakarta: Kanisius. 1998. Hal 31
[16] Bdk.Russell, Letty M. Church in the round: Feminist interpretation of the chruch. Louisville, Kentucky. Westminster/John Knox Press. 1993. Hal 21-22
[17]  Elizabeth Schϋssler Fiorenza. “Kebebasan memilih dan menolak : Melanjutkan Tugas Kritik Kita”. (Letty M. Russell). Yogyakarta: Kanisius. 1998. Hal .137-139
[18] Mutiara Andalas.Lahir dari Rahim. Yogyakarta : Penerbit Kanisisu. 2009. Hal 147
[19] Letty M. Russell.Kata pengantar  : Membebaskan Firman. Buku : Perempuan dan Tafsir Kitab Suci. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 1998. Hal 13 
[20] Fiorenza, Elizabeth Schϋssler. In Memory of Her. Terj : Stephen Suleeman. Untuk mengenang perempuan itu: Rekonstruksi teologis feminis tentang asal-usul Kekristenan.Jakarta. Gunung Mulia.1995. Hal 31-33
[21] Letty M. Russell. “Penafsiran Feminis dan Tantangannya terhadap Autoritas” (Letty M. Russell). Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 1998. Halaman 151
[22] Elisabeth Schussler Fiorenza. Discipleship of Equals : a critical feminist ekklesia-logy of Liberation. Crossroad : New York. 1993. Hal 198
[23] Ibid, Hal 199
[24] Ibid, Hal 199
[25] Ibid, Hal 240
[26] Ibid, Hal 240
[27] Spirituality of Connection p, 203 
[28] Elisabeth Schussler Fiorenza. Discipleship of Equals : a critical feminist ekklesia-logy of Liberation.1993. Crossroad : New York. Hal 293
[29] Ibid, Hal 240