PENDAHULUAN
Di
zaman yang semakin modern seperti sekarang, tingkat individualisme dan
mementingkan kepentingan diri sendiri semakin tinggi. Orang-orang sudah mulai
kehilangan rasa solidaritasnya dan mulai menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuannya tanpa menghiraukan lingkungan sekitarnya. Habermas, seorang
teoritikus sosial pada masa mazhab Frankfrut berpendapat bahwa untuk mengatasi
masalah ini diperlukan kritik ideologi yang telah ia bagi dalam 4 tahap.
Pertama, kita perlu memahami situasi
yang terjadi dimasyarakat. Kedua,
penerapan nalar yang berupaya memahami situasi tersebut dengan suatu cara
pandang tertentu, dengan kata lain melakukan penyelidikan terhadap situasi yang
terjadi. Kritik ini berarti memperlihatkan kepada individu dan kelompok
bagaimana pandangan dan praktik mereka mungkin saja merupakan distorsi
ideologis yang berakibat melestarikan sebuah tatanan atau situasi sosial yang
bertentangan dengan kebebasan, kepentingan, dan pemberdayaan demokratis mereka.
Ketiga, mencari strategi bagaimana
mengubah situasi tersebut. Keempat,
mengevaluasi kembali pencapaian terhadap situasi baru yang sudah tercapai.[1] Namun
ideologi ini tidak hanya sekedar teori saja, harus ada aksi yang mengikutinya.
Begitu juga dengan Gereja yang merupakan institusi keagamaan yang harus bisa
kritis dan tanggap menghadapi dunia modern yang semakin lama semakin mengikis
kehidupan sosial dalam masyarakat.
GEREJA
SEBAGAI KOMUNITAS YANG HIDUP
Seiring
berjalan zaman sistem terus menguasai kehidupan masyarakat. Lihat saja gereja
contohnya, saat ini Gereja seharusnya bisa menjadi komunitas yang solid, baik
didalam maupun di luar gereja. Namun sayangnya tidak demikian, tidak semua
gereja mampu melakukan tugasnya sebagai gereja yang seutuhnya. Gereja saat ini
lebih cenderung fokus hanya kepada sistemnya sebagai gereja, dalam arti gereja
hanya menjalankan tugasnya tanpa memperhatikan interaksi yang ideal lagi untuk
mencapai pengertian bersama. Kesolidtan dalam gereja kini perlahan-lahan mulai
sirnah dan digantikan oleh sistem yang hanya mementingkan tercapainya tujuan
akhir. Beberapa hal didalam gereja sangat nyata menunjukkan gereja mulai
tenggelam dalam sistemnya, seperti mulai banyaknya aturan-aturan gereja yang
terkadang mengahalangi perkembangan gereja tersebut tanpa menghiraukan apakah
itu perlu atau tidak dan apakah itu memang untuk mencapai pengertian bersama.
Bila
dilihat dari sudat pandang Pendidikan Kristiani, SCP menawarkan beberapa hal yang
dapat kita lakukan untuk mengatasi hal ini dan saya rasa hal ini sudah mulai
cukup banyak dilakukan dalam gereja untuk tetap mempertahankan nilai-nilai
kebersamaannya. Salah satunya adalah sharing.
Kegiatan ini saya rasa sangat perlu dalam meningkatkan solidaritas bersama
dalam bergereja. Gereja harus bisa menjadi komunitas yang hidup bagi siapa
saja. Dengan sharing, terjadi tindakan komunikatif yang melibatkan semua orang
didalamnya dalam menentukan sesuatu. Sharing pun dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk
lain seperti diskusi, negosiasi, atau musyawarah. Ini menunjukkan kalau dengan tindakan
komunikatif mampu membawa kita mencapai hasil akhir bersama. Hal ini tentu saja
tidak hanya dapat dilakukan di lingkup gereja, namun juga dapat dilakukan dalam
lingkup yang lebih besar, dalam komunitas masyarakat umum dengan negara sebagai
sistemnya.
Menurut
saya, tindakan komunikatif dalam bentuk sharing sangat membantu kita hidup
dalam komunitas, sebab tidak bisa kita pungkiri bahwa kita hidup ditengah-tengah
masyarakat plural dimana ada banyak sekali perbedaan-perbedaan antara manusia
satu dengan yang lainnya. Sharing membuat kita saling mengerti apa yang menjadi
permasalahan bersama dan membantu kita mencari solusi dari masalah tersebut.
Dari sinilah muncul solidaritas antara masyarakat.
No comments:
Post a Comment