Wednesday, 17 April 2013

KOMUNITAS BERGEREJA



PENDAHULUAN
Di zaman yang semakin modern seperti sekarang, tingkat individualisme dan mementingkan kepentingan diri sendiri semakin tinggi. Orang-orang sudah mulai kehilangan rasa solidaritasnya dan mulai menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya tanpa menghiraukan lingkungan sekitarnya. Habermas, seorang teoritikus sosial pada masa mazhab Frankfrut berpendapat bahwa untuk  mengatasi  masalah ini diperlukan kritik ideologi yang telah ia bagi dalam 4 tahap. Pertama, kita perlu memahami situasi yang terjadi dimasyarakat. Kedua, penerapan nalar yang berupaya memahami situasi tersebut dengan suatu cara pandang tertentu, dengan kata lain melakukan penyelidikan terhadap situasi yang terjadi. Kritik ini berarti memperlihatkan kepada individu dan kelompok bagaimana pandangan dan praktik mereka mungkin saja merupakan distorsi ideologis yang berakibat melestarikan sebuah tatanan atau situasi sosial yang bertentangan dengan kebebasan, kepentingan, dan pemberdayaan demokratis mereka. Ketiga, mencari strategi bagaimana mengubah situasi tersebut. Keempat, mengevaluasi kembali pencapaian terhadap situasi baru yang sudah tercapai.[1] Namun ideologi ini tidak hanya sekedar teori saja, harus ada aksi yang mengikutinya. Begitu juga dengan Gereja yang merupakan institusi keagamaan yang harus bisa kritis dan tanggap menghadapi dunia modern yang semakin lama semakin mengikis kehidupan sosial dalam masyarakat.

GEREJA SEBAGAI KOMUNITAS YANG HIDUP
Seiring berjalan zaman sistem terus menguasai kehidupan masyarakat. Lihat saja gereja contohnya, saat ini Gereja seharusnya bisa menjadi komunitas yang solid, baik didalam maupun di luar gereja. Namun sayangnya tidak demikian, tidak semua gereja mampu melakukan tugasnya sebagai gereja yang seutuhnya. Gereja saat ini lebih cenderung fokus hanya kepada sistemnya sebagai gereja, dalam arti gereja hanya menjalankan tugasnya tanpa memperhatikan interaksi yang ideal lagi untuk mencapai pengertian bersama. Kesolidtan dalam gereja kini perlahan-lahan mulai sirnah dan digantikan oleh sistem yang hanya mementingkan tercapainya tujuan akhir. Beberapa hal didalam gereja sangat nyata menunjukkan gereja mulai tenggelam dalam sistemnya, seperti mulai banyaknya aturan-aturan gereja yang terkadang mengahalangi perkembangan gereja tersebut tanpa menghiraukan apakah itu perlu atau tidak dan apakah itu memang untuk mencapai pengertian bersama.

Bila dilihat dari sudat pandang Pendidikan Kristiani, SCP menawarkan beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi hal ini dan saya rasa hal ini sudah mulai cukup banyak dilakukan dalam gereja untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kebersamaannya. Salah satunya adalah sharing. Kegiatan ini saya rasa sangat perlu dalam meningkatkan solidaritas bersama dalam bergereja. Gereja harus bisa menjadi komunitas yang hidup bagi siapa saja. Dengan sharing, terjadi tindakan komunikatif yang melibatkan semua orang didalamnya dalam menentukan sesuatu. Sharing pun dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk lain seperti diskusi, negosiasi, atau musyawarah.  Ini menunjukkan kalau dengan tindakan komunikatif mampu membawa kita mencapai hasil akhir bersama. Hal ini tentu saja tidak hanya dapat dilakukan di lingkup gereja, namun juga dapat dilakukan dalam lingkup yang lebih besar, dalam komunitas masyarakat umum dengan negara sebagai sistemnya.

Menurut saya, tindakan komunikatif dalam bentuk sharing sangat membantu kita hidup dalam komunitas, sebab tidak bisa kita pungkiri bahwa kita hidup ditengah-tengah masyarakat plural dimana ada banyak sekali perbedaan-perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya. Sharing membuat kita saling mengerti apa yang menjadi permasalahan bersama dan membantu kita mencari solusi dari masalah tersebut. Dari sinilah muncul solidaritas antara masyarakat.



[1] Joy Palmer. 50 pemikir paling berpengaruh terhadap dunia pendidikan modern, p. 349

No comments:

Post a Comment