Tuesday, 5 November 2013

Refleksi Teologis dari Pemikiran Aristoteles terhadap Kekristenan

PENDAHULUAN
Plato lahir pada tahun 384 SM di Stageira, Yunani Utara. Ayahnya adalah seorang dokter pribadi Amyntas II, Raja Makedonia. Mungkin hal inilah yang juga mempengaruhi pemikiran Aristoteles sehingga ia begitu rasionalis. Pada usia 17 atau 18 tahun Aristoteles dikirim ke Athena, untuk belajar di Akedemia milik Plato; Ia tinggal disana kira-kira 20 tahun lamanya.[1] Selama hidupnya ia telah banyak merumuskan pemikiran-pemikirannya, diantaranya yakni tentang logika, negara, metafisika, etika, dan pengetahuan tentang ontologi. 

Seperti yang telah dikemukakan diatas, salah satu pemikiran Aristoteles yang terkenal adalah mengenai fisika dan metafisika. Dasar dari pemikiran Aristoteles ini adalah logika, ia menolak pemikiran Plato mengenai idea yang terlepas dari benda, dan benda yang berpartisipasi pada idea mengenai benda. Menurutnya, ide ada dalam benda, dan manusia dapat mengenalinya melalui sebuah prosedur yang disebut mengebstraksikan.[2] Dalam hal ini Aristoteles membawa kita pada pemikirannya bahwa perubahan ditentukan oleh ‘bentuk’ dan ‘meteri’. Setiap objek menurut Aristoteles terdiri atas bentuk dan meteri, oleh karena itu perubahan menurut Aristoteles merupakan peralihan dari potensi ke aktus (yang aktual). Karena setiap gerakan mewujudkan suatu perubahan dari potensi ke aktus, maka dari dirinya sendiri yang aktus itu tidak dapat mengusahakan perubahannya. Untuk itu diperlukan adanya suatu penggerak yang pada dirinya sendiri telah memiliki kesempurnaan sehingga tidak perlu disempurnakan. Penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain ini tidak mungkin dibagi-bagi, kuasanya tak terhingga dan kekal. Penggerak yang pertama ini tidak berasal dari dalam dunia, Ia adalah ALLAH, Ia adalah aktus murni.[3]


REFLEKSI PENGARUH PEMIKIRAN ARISTOTELES TERHADAP KEKRISTENAN
Dari penjelasan diatas bisa kita tarik benang merahnya, bahwa pada akhirnya pemikiran Aristoteles ini kembali kepada apa yang ia sebut sebagai aktus murni, penggerak segala sesuatunya, yakni Allah. Bagian inilah yang tentu saja sangat mempengaruhi pemikiran Kristen hingga saat ini. Dalam ajaran Kekristenan Allah adalah sumber segala sesuatunya, dan semua yang ada di dunia ini berada dalam tangannya, termasuk manusia. Manusia sebagai makhluk Tuhan inilah yang merupakan salah satu bagian yang penting dalam pemahaman Kekristenan. Sebagai makhluk Tuhan maka tentu saja manusia sangat bergantung padaNya. Menurut Aristoteles, Allah itu berdiri sendiri, tidak dilahirkan, tidak pernah berubah, tidak pernah berakhir, dan bersifat abadi. Dengan demikian, bagaimanapun segala sesuatu yang ada di dunia bergerak dan berpindah, tujuan akhirnya akan tetap kembali kepada Allah. Untuk itu manusia tidak dapat bergerak sendiri tanpa memerlukan “Sang Penyebab Gerak” itu, sebab “Sang Penyebab Gerak” itulah Allah.

Dalam pemahaman Kristen kita meyakini bahwa Allah selalu beserta dengan umatnya, ia selalu menjaga, melindungi, dan menuntun setiap langkah anak-anakNya. Pemaham ini nyata kita terima dalam ajaran Kekristen sebagaimana banyak diceritakan dalam Alkitab (mis. kisah Ayub, atau kisah perjalanan hidup bangsa Israel, dll). Keyakinan seperti inilah yang membuat orang-orang Kristen selalu merasakan penyataan Allah yang selalu nyata dalam kehidupan mereka, walaupun mereka tidak melihat itu secara langsung. Dalam hal ini pemikiran Aristoteles mengenai Allah sangat nyata mempengaruhi pemikiran Kekristenan. Pandangan Aristoteles mengenai Allah inilah yang kemudian memberikan pemahaman yang mudah bagi umat beragama (Khususnya Kristen dalam pembahasan ini) untuk melihat penyataan Allah itu lewat kehidupan umatNya.



[1] lih. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius. 1999, p.154
[2] bdk. EGS. Mengantisipasi Masa Depan. Jakarta. BPK Gunung Mulia, p.247
[3] lih. Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta. Kanisius. 1980, p.48-50

No comments:

Post a Comment