PENDAHULUAN
Plato lahir pada
tahun 384 SM di Stageira, Yunani Utara. Ayahnya adalah seorang dokter pribadi
Amyntas II, Raja Makedonia. Mungkin hal inilah yang juga mempengaruhi pemikiran
Aristoteles sehingga ia begitu rasionalis. Pada usia 17 atau 18 tahun
Aristoteles dikirim ke Athena, untuk belajar di Akedemia milik Plato; Ia
tinggal disana kira-kira 20 tahun lamanya.[1]
Selama hidupnya ia telah banyak merumuskan pemikiran-pemikirannya, diantaranya
yakni tentang logika, negara, metafisika, etika, dan pengetahuan tentang
ontologi.
Seperti yang
telah dikemukakan diatas, salah satu pemikiran Aristoteles yang terkenal adalah
mengenai fisika dan metafisika. Dasar dari pemikiran Aristoteles ini adalah
logika, ia menolak pemikiran Plato mengenai idea yang terlepas dari benda, dan
benda yang berpartisipasi pada idea mengenai benda. Menurutnya, ide ada dalam
benda, dan manusia dapat mengenalinya melalui sebuah prosedur yang disebut
mengebstraksikan.[2]
Dalam hal ini Aristoteles membawa kita pada pemikirannya bahwa perubahan
ditentukan oleh ‘bentuk’ dan ‘meteri’. Setiap objek menurut Aristoteles terdiri
atas bentuk dan meteri, oleh karena itu perubahan menurut Aristoteles merupakan
peralihan dari potensi ke aktus (yang aktual). Karena setiap gerakan mewujudkan
suatu perubahan dari potensi ke aktus, maka dari dirinya sendiri yang aktus itu
tidak dapat mengusahakan perubahannya. Untuk itu diperlukan adanya suatu
penggerak yang pada dirinya sendiri telah memiliki kesempurnaan sehingga tidak
perlu disempurnakan. Penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh penggerak
yang lain ini tidak mungkin dibagi-bagi, kuasanya tak terhingga dan kekal.
Penggerak yang pertama ini tidak berasal dari dalam dunia, Ia adalah ALLAH, Ia
adalah aktus murni.[3]
REFLEKSI
PENGARUH PEMIKIRAN ARISTOTELES TERHADAP KEKRISTENAN
Dari penjelasan
diatas bisa kita tarik benang merahnya, bahwa pada akhirnya pemikiran Aristoteles
ini kembali kepada apa yang ia sebut sebagai aktus murni, penggerak segala
sesuatunya, yakni Allah. Bagian inilah yang tentu saja sangat mempengaruhi
pemikiran Kristen hingga saat ini. Dalam ajaran Kekristenan Allah adalah sumber
segala sesuatunya, dan semua yang ada di dunia ini berada dalam tangannya,
termasuk manusia. Manusia sebagai makhluk Tuhan inilah yang merupakan salah
satu bagian yang penting dalam pemahaman Kekristenan. Sebagai makhluk Tuhan
maka tentu saja manusia sangat bergantung padaNya. Menurut Aristoteles, Allah
itu berdiri sendiri, tidak dilahirkan, tidak pernah berubah, tidak pernah
berakhir, dan bersifat abadi. Dengan demikian, bagaimanapun segala sesuatu yang
ada di dunia bergerak dan berpindah, tujuan akhirnya akan tetap kembali kepada
Allah. Untuk itu manusia tidak dapat bergerak sendiri tanpa memerlukan “Sang
Penyebab Gerak” itu, sebab “Sang Penyebab Gerak” itulah Allah.
Dalam pemahaman
Kristen kita meyakini bahwa Allah selalu beserta dengan umatnya, ia selalu
menjaga, melindungi, dan menuntun setiap langkah anak-anakNya. Pemaham ini
nyata kita terima dalam ajaran Kekristen sebagaimana banyak diceritakan dalam
Alkitab (mis. kisah Ayub, atau kisah perjalanan hidup bangsa Israel, dll).
Keyakinan seperti inilah yang membuat orang-orang Kristen selalu merasakan
penyataan Allah yang selalu nyata dalam kehidupan mereka, walaupun mereka tidak
melihat itu secara langsung. Dalam hal ini pemikiran Aristoteles mengenai Allah
sangat nyata mempengaruhi pemikiran Kekristenan. Pandangan Aristoteles mengenai
Allah inilah yang kemudian memberikan pemahaman yang mudah bagi umat beragama
(Khususnya Kristen dalam pembahasan ini) untuk melihat penyataan Allah itu
lewat kehidupan umatNya.
No comments:
Post a Comment