Wednesday, 23 October 2013

Sokrates dan Plato dalam Pemahamannya tentang Pneuma

Seperti yang kita ketahui, Sokrates dan Plato merupakan 2 pemikir besar dalam sejarah filsafat barat, yang mana hasil pemikiran-pemikirannya banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran di zamannya dan zaman-zaman setelahnya, bahkan ajaran Kekristenan pun sedikit banyak dipengaruhi juga oleh pemikiran filsafat Plato. Salah satu teori yang terkenal yang dipaparkan oleh kedua filsuf ini adalah mengenai pneuma (jiwa). Keduanya menguraikan teorinya masing-masing tentang jiwa dengan sangat baik (menurut saya). Sokrates memulai ajarannya dengan metode dialog. Bagi Sokrates metode ini dapat membantu seseorang untuk dapat menemukan jawabannya sendiri dari sebuah pertanyaan (mencari kebenaran). Metode ini kemudian disebut dengan seni kebidanan. Layaknya seorang bidan yang bertugas membantu seorang ibu dalam persalinan, demikian juga Sokrates dengan metodenya bertugas untuk membantu seseorang dalam melahirkan pemikirannya sendiri untuk memecahkan sebuah masalah. Disini Sokrates bertugas untuk membidani jiwa-jiwa dalam arti, ia sendiri tidak menyampaikan pengetahuan, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaannya ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain.[1] Nah, dengan kata lain Sokrates mau menjelaskan bahwa ada sisi manusia yang lain (yakni jiwa) yang perlu dibentuk sedemikian rupa dengan pendidikan dan pengetahuan agar dapat menghasilkan manusia-manusia yang “baik”. Tidak hanya itu, dalam apologia Sokrates juga menjelaskan kepada para hakim di Athena untuk mengutamakan jiwa mereka dan bukan kesehatan, kekayaan, kehormatan atau hal-hal lain yang tidak sebanding dengan jiwa. Menurutnya, tujuan tertinggi kehidupan manusia adalah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Disini Sokrates menerangkan kata “jiwa” sebagai psykhē yang waktu itu dimengerti sebagai jiwa dalam arti “inti sari kepribadian manusia”. Dengan ini dijelaskan bahwa tujuan kehidupan manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia), yang berarti kesempurnaan; atau lebih tepatnya berarti “punya daimồn (jiwa) yang baik”.[2].


Plato juga menjelaskan pemikirannnya tentang jiwa. Menurutnya, jiwa bersifat baka dalam arti bahwa jiwa tidak akan mati pada saat kematian badan melainkan bersifat kekal, karena sudah mengalami suatu pra-eksistensi. Pemahaman ini sama seperti teorinya tentang ide, sehingga menurut Plato jiwa juga dapat disebut dengan ide. Plato menjelaskan bahwa jiwa yang sifatnya pra-eksistensi telah ada, dan telah mengenal dunia ide sebelum bersatu dengan manusia dalam jasmaninya. Nah ketika jiwa dan jasmaninya bersatu (manusia) maka pengetahuan tentang ide-ide itu menjadi kabur (termasuk ide tentang kebenaran), namun pengetahuan itu tidak lantas hilang begitu saja melaikan tinggal dalam jiwa manusia dan dapat diingat kembali. Diatas telah saya jelaskan bahwa Sokrates mengartikan jiwa sebagai bagian bagian dalam diri manusia yang harus di bentuk dengan pengetahuan agar dapat menjadikannya sebagai manusia yang “baik”. Menurut saya manusia yang baik disini berarti manusia dengan akhlak yang baik. Plato dalam ajarannya tentang Negara juga mengemukakan hal yang sama dengan Sokrates, bahwa tujuan manusia adalah eudaimonia (hidup yang baik).[3]

Dari penjelasan diatas dapat saya simpulkan bahwa orang yang berpengetahuan dengan sendirinya juga berakhlak baik, orang yang mengetahui hukum tentu akan menaatinya. Namun yang menjadi permasalahannya adalah ketika orang tersebut tahu namun tidak melakukan kebenaran itu. Disini konsep tentang jiwa dipertanyakan lagi, menurut Plato jiwa tahu tentang ide kebenaran itu, Sokrates pun juga kurang lebih menjelaskan hal yang sama bahwa jiwalah yang mengarahkan manusia ke arah kebenaran (dengan pengetahuan tentu saja), namun manusia juga memiliki kebebasan dan keinginan, hal inilah yang terkadang membuat manusia “buta” akan kebenaran itu. Ia lebih memilih untuk melanggar peraturan untuk memuaskan keinginan badaninya walaupun pada akhirnya kebutuhan jiwanya tidak terpenuhi. Konsep pemahaman Sokrates dan Plato mengenai pneuma memang terdapat kesamaan sebab pada dasarnya Plato memang belajar hal ini dari Sokrates, namun tidak dapat disangkal bahwa ada perbedaan diantara keduanya. Plato lebih menekankan bahwa jiwa pada dasarnya sudah tahu ide tentang kebenaran, hanya saja ia lupa. Sedangkan Sokrates menekankan bahwa jiwa merupakan bagian yang perlu dididik (dengan metode kebidanan) agar dapat mengetahui kebenaran itu. Disini jelas bahwa pemahaman Sokrates lebih bersifat rasio dibandingkan dengan Plato.



[1] bdk. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius. 1999, p.106
[2] bdk. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius. 1999, p.108
[3] lih. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius. 1999, p.141

No comments:

Post a Comment