Seperti yang kita ketahui, Sokrates dan Plato
merupakan 2 pemikir besar dalam sejarah filsafat barat, yang mana hasil
pemikiran-pemikirannya banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran di zamannya dan
zaman-zaman setelahnya, bahkan ajaran Kekristenan pun sedikit banyak
dipengaruhi juga oleh pemikiran filsafat Plato. Salah satu teori yang terkenal
yang dipaparkan oleh kedua filsuf ini adalah mengenai pneuma (jiwa). Keduanya
menguraikan teorinya masing-masing tentang jiwa dengan sangat baik (menurut
saya). Sokrates memulai ajarannya dengan metode dialog. Bagi Sokrates metode
ini dapat membantu seseorang untuk dapat menemukan jawabannya sendiri dari
sebuah pertanyaan (mencari kebenaran). Metode ini kemudian disebut dengan seni
kebidanan. Layaknya seorang bidan yang bertugas membantu seorang ibu dalam
persalinan, demikian juga Sokrates dengan metodenya bertugas untuk membantu
seseorang dalam melahirkan pemikirannya sendiri untuk memecahkan sebuah masalah.
Disini Sokrates bertugas untuk membidani jiwa-jiwa dalam arti, ia sendiri tidak
menyampaikan pengetahuan, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaannya ia membidani
pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain.[1]
Nah, dengan kata lain Sokrates mau menjelaskan bahwa ada sisi manusia yang lain
(yakni jiwa) yang perlu dibentuk sedemikian rupa dengan pendidikan dan
pengetahuan agar dapat menghasilkan manusia-manusia yang “baik”. Tidak hanya
itu, dalam apologia Sokrates juga menjelaskan kepada para hakim di Athena untuk
mengutamakan jiwa mereka dan bukan kesehatan, kekayaan, kehormatan atau hal-hal
lain yang tidak sebanding dengan jiwa. Menurutnya, tujuan tertinggi kehidupan
manusia adalah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Disini Sokrates
menerangkan kata “jiwa” sebagai psykhē
yang waktu itu dimengerti sebagai jiwa dalam arti “inti sari kepribadian manusia”. Dengan ini dijelaskan bahwa tujuan
kehidupan manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia),
yang berarti kesempurnaan; atau lebih tepatnya berarti “punya daimồn (jiwa) yang baik”.[2].
Plato juga menjelaskan pemikirannnya tentang jiwa. Menurutnya,
jiwa bersifat baka dalam arti bahwa jiwa tidak akan mati pada saat kematian
badan melainkan bersifat kekal, karena sudah mengalami suatu pra-eksistensi.
Pemahaman ini sama seperti teorinya tentang ide, sehingga menurut Plato jiwa juga
dapat disebut dengan ide. Plato menjelaskan bahwa jiwa yang sifatnya
pra-eksistensi telah ada, dan telah mengenal dunia ide sebelum bersatu dengan
manusia dalam jasmaninya. Nah ketika jiwa dan jasmaninya bersatu (manusia) maka
pengetahuan tentang ide-ide itu menjadi kabur (termasuk ide tentang kebenaran),
namun pengetahuan itu tidak lantas hilang begitu saja melaikan tinggal dalam
jiwa manusia dan dapat diingat kembali. Diatas telah saya jelaskan bahwa
Sokrates mengartikan jiwa sebagai bagian bagian dalam diri manusia yang harus
di bentuk dengan pengetahuan agar dapat menjadikannya sebagai manusia yang
“baik”. Menurut saya manusia yang baik disini berarti manusia dengan akhlak
yang baik. Plato dalam ajarannya tentang Negara juga mengemukakan hal yang sama
dengan Sokrates, bahwa tujuan manusia adalah eudaimonia (hidup yang baik).[3]
Dari penjelasan diatas dapat saya simpulkan bahwa
orang yang berpengetahuan dengan sendirinya juga berakhlak baik, orang yang mengetahui
hukum tentu akan menaatinya. Namun yang menjadi permasalahannya adalah ketika
orang tersebut tahu namun tidak melakukan kebenaran itu. Disini konsep tentang
jiwa dipertanyakan lagi, menurut Plato jiwa tahu tentang ide kebenaran itu,
Sokrates pun juga kurang lebih menjelaskan hal yang sama bahwa jiwalah yang
mengarahkan manusia ke arah kebenaran (dengan pengetahuan tentu saja), namun
manusia juga memiliki kebebasan dan keinginan, hal inilah yang terkadang
membuat manusia “buta” akan kebenaran itu. Ia lebih memilih untuk melanggar
peraturan untuk memuaskan keinginan badaninya walaupun pada akhirnya kebutuhan
jiwanya tidak terpenuhi. Konsep pemahaman Sokrates dan Plato mengenai pneuma
memang terdapat kesamaan sebab pada dasarnya Plato memang belajar hal ini dari
Sokrates, namun tidak dapat disangkal bahwa ada perbedaan diantara keduanya.
Plato lebih menekankan bahwa jiwa pada dasarnya sudah tahu ide tentang
kebenaran, hanya saja ia lupa. Sedangkan Sokrates menekankan bahwa jiwa
merupakan bagian yang perlu dididik (dengan metode kebidanan) agar dapat
mengetahui kebenaran itu. Disini jelas bahwa pemahaman Sokrates lebih bersifat
rasio dibandingkan dengan Plato.
No comments:
Post a Comment