Thursday, 19 December 2013

MANUNGGALING KAWULA GUSTI Sebagai Pandangaan Hidup Yang Meng-universal

      I. PENDAHULUAN
Sebelum orang Jawa mengenal Allah dalam agama, mereka punya cara mengungkapkan religiusitasnya sendiri. Pusat yang paling dalam dari religiositas ini ialah adanya kepercayaan dan penyembahan terhadap roh-roh dan kekuatan gaib yang ada di sekitar kehidupannya, dan yang lazim disebut dengan animisme di satu pihak, dan kepercayaan serta penyembahan terhadap adanya daya-daya di sekitarnya, atau yang lazim disebut dengan sebutan dynamisme. Mereka meyakini bahwa keselamatan hidupnya bergantung pada kekuatan gaib dan kekuatan roh-roh di sekitarnya itu, dan karena itulah mereka kemudian menyikapinya dengan mengadakan berbagai ritual, seperti acara slametan, ziarah makam, doa-doa, sejaji dan sebagainya.[1] Bentuk-bentuk kegiatan seperti ini dianggap lebih praktis dalam pelaksanaannya. Kepercayaan seperti ini tentu saja mendorong manusia sedapat mungkin memanfaatkan daya-daya tersebut  bagi kehidupan sehari-hari dalam rangka menuju ke kehidupan yang diidamkan. Oleh karena itu benda-benda yang dipercayai memiliki kekuatan dan daya yang besar akan sangat dihormati, bahkan disembah. Oleh karena sifatnya praktis, dan tidak membutuhkan perenungan yang mendalam, maka kepercayaan seperti ini sangat mudah dijiwai dan dipraktekkan oleh masyarakat yang umumnya tidak memiliki tingkat intelektual yang tinggi.[2]

Kedua pandangan diatas ini meletakkan dasarnya pada konsep ke-esa-an segala sesuatu dalam adanya. Konsep ini merupakan salah satu jawaban atas keseluruhan realitas. Salah satu implikasinya, Tuhan yang berpribadi disangkal secara konsisten. Hal ini jelas bertentangan dengan theisme. Seperti yang telah disinggung diatas, monisme merupakan istilah yang diciptakan bagi setiap usaha untuk menafsirkan realitas berdasarkan satu prinsip saja dengan menghilangkan keragaman dan perbedaan. Kejamakan selalu dikembalikan kepada kesatuan (prinsip tunggal). Allah melebur dalam dunia. Sedangkan pantheisme merupakan ajaran yang menyamakan Allah dengan jagad raya. Tuhan dan dunia bukan merupakan dua hakikat yang terpisah. Ketunggalan berpangkal pada Tuhan dan dunia terlebur dalam Tuhan.[3]

Bisa dikatakan bahwa gejala monisme dan pantheisme bertolak pada pengalaman mistik yang hidup dalam masyarakat serta kondisi masyarakatnya itu sendiri. Terkadang masyarakat akan lebih mudah memahami yang ilahi lewat kondisi sosial dan ekonominya sehari-hari. Mereka cenderung akan menggabungkan pengalaman mistik disekitarnya untuk pemenuhan hasrat jiwa (kerinduan) pada kehidupan yang lebih baik. Bagian ini bisa kita umpamakan: “kemiskinan/kondisi ekonomi masyarakat (yang selalu bersimbiosis dengan kelaparan dan keterasingan dalam pergaulan) mengandung konotasi bagian dari pengalaman mistik, yaitu perjalanan persatuan dengan yang ilahi dan pemenuhan hasrat jiwa akan penghayatan langsung terhadap kebenaran sejati”.

II. ALLAH SEBAGAI TUJUAN AKHIR MANUSIA
Sama seperti pemahaman diatas mengenai mistik dan hal-hal gaib. Hanya saja pada bagian ini manusia sudah mulai melihat apa yang ia cari, bahwa tujuan akhir manusia pasti adalah Tuhannya. Mereka mulai beralih dari konsep monisme dan pantheisme untuk menemukan jawaban yang lebih logis dan valid tentang kehidupan ini. Agama tentu saja menjadi bagian penting. Masuknya agama-agama di tanah Jawa mulai memperkenalkan masyarakat kepada suatu kepercayaan tentang sang Ilahi sebagai awal dan akhir.

Dalam konsep Manunggaling kawula Gusti tentu saja pasti ada gambaran kepada siapa manusia itu bersatu. Manusia bersatu dengan Tuhannya. Sehingga pada akhirnya tujuan akhir manusia adalah kepada Tuhannya. Ini merupakan cita-cita manusia. Untuk itu manusia perlu mengenal Tuhannya secara lebih personal (manusia – Tuhannya). Para filsuf alam di zaman Yunani kuno melihat Tuhan lewat penyataannya dalam alam semesta ciptaannya. Aristoteles juga dalam etikanya mengemukakan bahwa tujuan tindakan baik manusia adalah keseimbangan batin dan kedalaman dimensi perasaannya – katentremaning ati – dan tujuan itu tercapai lewat sikap yang tidak berputar pada dirinya sendiri (sepi ing pamrih) serta lewat partisipasi dalam kehidupan komunitas (rame ing gawe). Seperti bagi Aristoteles, puncak segala kegiatan manusia adalah theoria, begitu pula bagi orang Jawa semadi dan laku tapalah yang menghasilkan manunggaling kawula Gusti.[4] Serta Plato yang juga mengemukakan bahwa hidup manusia akan semakin bernilai bila semakin ia seluruhnya terarah kepada nilai dasar, Sang Baik. Sang Baik itu oleh Plato kadang-kadang juga disebut Yang Ilahi. Karena itu, manusia menurut Plato akan mencapai puncak eksistensinya apabila ia terarah kepada Yang Illahi. Secara tidak langsung hal ini juga dapat kita mengerti dalam konsep manunggaling kawula Gusti dalam falsafah hidup Jawa.[5]

Frans Magnis Suseno menggambarkan kedekatan Allah dan manusia lewat mendidik suara hati, dan untuk mencapai kematangan itu, kita harus berusaha dalam dimensi kognitif dan afektif. Dalam dimensi kognitif kita harus berusaha agar suara hati  memberikan penilaian-penilaiannya berdasarkan pengertian yang tepat. Atau dengan kata lain, kita harus mendidik suara hati.  Terkadang perasaan moral (superego) dan anggapan-anggapan sangat mempengaruhi suara hati kita. Namun dengan mendidik suara hati kita berusaha untuk membebaskan diri dari prasangka-prasangka itu, agar kita dapat mengambil jarak terhadapnya dan menilainya dengan kritis. Mendidik suara hati sama dengan terus-menerus bersikap terbuka, mau belajar, mau mengerti seluk beluk masalah-masalah yang kita hadapi, mau memahami pertimbangan-pertimbangan etis yang tepat dan seperlunya membaharui pandangan-pandangan kita. Usaha untuk mendidik suara hati menuntut keterbukaan kita dan keinginan kita untuk belajar. Dua syarat ini memang tidak hanya penting bagi pendidikan suara hati saja, melainkan bagi perkembangan kepribadian kita pada umumnya. Kita harus terbuka dalam arti bahwa  kita tak pernah seakan-akan sudah jadi, pasti, tak terubahkan, mati secara rohani dan intelektual.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana membedakan suara hati dan suara Tuhan? Pertama, karena suara hati dapat keliru, sedangkan Allah tidak dapat keliru, maka sudah jelaslah bahwa suara hati tidak begitu saja boleh disamakan dengan suara Allah. Suara hati dengan amat jelas mencerminkan segala pengertian dan prasangka kita sendiri, sehingga jelas merupakan suara hati kita sendiri. Tetapi dalam pertanyaan itu termuat sesuatu yang betul. Dalam suara hati memang ada unsur yang tidak dapat diterangkan dari realitas kita manusia saja, yaitu kemutlakannya. Suara hati memuat kesadaran bahwa apa yang disadarinya sebagai kewajiban mutlak harus kita lakukan. Dari mana unsur mutlak dalam kesadaran kita? Yang mutlak hanya satu, Allah. Jadi kemutlakan suara hati menunjuk pada Allah.[6]

Kita dapat membayangkannya sebagai berikut. Suara hati memang merupakan kesadaran kita. Dengan segala keanehan dan keterbatasan kita masing-masing. Dan oleh karena itu, suara hati tidak mutlak benar. Namun karena penilaian kita sendiri yang menganggap bahwa kita mutlak terikat olehnya. Karena penilaian bahwa kita seakan-akan dihadapkan di depan takhta Allah. Seakan-akan Allah sebagai saksi. Sehingga meskipun penilaian kita keliru, namun jelas jujur dan sungguh-sungguh. Karena kita melakukannya dalam kesadaran bahwa Allah menyaksikannya.
Kedekatan Allah dengan umatnya dapat digamabarkan dengan berbagai macam ilustrasi dan bentuk. Yang jelas adalah pada dasarnya apa yang dibutuhkan manusia selama hidupnya adalah bertopang pada sesuatu yang ia anggap ilahi, yakni Allah sendiri. Walaupun dengan berbagai bentuk kepercayaan dan keyakinan tentang Allah itu sendiri. Dalam ajaran Kekristenan kita tentu saja diajarkan bahwa yang menjadi tujuan akhir manusia adalah kembali kepada penciptanya, Allahnya. Disanalah manusia mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang dicapai setelah kehidupan ini (bersama dengan Tuhan), untuk itu dalam ajaran Kekristenan manusia diajarkan untuk tidak hanya berfokus pada apa yang ada di dunia tetapi juga hidup sedemikian rupa sehingga sesudah hidup ini ia betul-betul bahagia. Jadi, hidup ini menjadi suatu perjalanan ke tujuan manusia yang sebenarnya, yakni kepada Tuhannya. Konsep inilah yang nantinya mengantarkan kita pada pengertian tentang Manunggaling kawula Gusti dalam pandangan hidup orang Jawa.

      III. MANUNGGALING KAWULA GUSTI
Mangunggaling Kawula Gusti merupakan salah satu pandangan hidup orang jawa yang sangat terkenal. Beberapa percaya konsep ini merupakan bagian yang paling sulit untuk dicapai manusia; dan memang benar. Bagian ini merupakan bagian dimana seseorang mencapai kesempurnaan dalam hidupnya. Kisah Dewaruci tetang perjalanan Bima untuk mencari Air kehidup-an merupakan salah satu contoh bagaimana manusia dapat bersatu dengan Tuhannya. Dari perkataan-perkataan Dewaruci kepada Bima itu menjadi jelas, bahwa konsep tentang air kehidupan itu sendiri berkaitan erat dengan menemukan jalan yang benar menuju kepada Allah. Dalam arti yang demikian, maka air kehidupan itu berhubungan erat dengan arti kehidupan yang sebenarnya. Dengan kata lain, mencari dan menemukan hidup yang sebenarnya, sama halnya dengan mencari keadaan hidup di dalam persekutuan yang benar dengan Sang Khalik.

Pencarian akan Sang Khalik itu tentu saja tidak mudah, untuk itu manusia perlu pedoman. Prinsip-prinsip hidup dalam etika Jawa banyak memberi jawaban yang mampu mengantarkan manusia pada tataran kehidupan yang sempurna seperti yang dicari-cari dalam manunggaling kawula Gusti. Pertanyaannya adalah bagaimana menemukan Sang Khalik itu?? Dalam pembahasan sebelumnya telah kita bahas mengenai paham dan kepercayaan masyarakat Jawa kuno tentang animisme dan dinamisme. Namun hal ini tentu saja tidak cukup untuk memberikan penjelasan tentang Sang Khalik itu. Kebanyakan orang timur memahami dan mengenal Allah lewat kehidupan spiritualnya; entah itu lewat meditasi, lewat alam sekitarnya, dll. Untuk itu, hal penting yang perlu kita ketahui adalah bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk spiritual. Di dalam diri manusia terdapat unsur Ilahi. Kita dilahirkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tuhan adalah pengetahuan yang tercetak yang dapat terlupakan/disangkal, tetapi tidak dapat dihapuskan.[7] Sebelum manusia mencapai apa yang disebut dengan manunggaling kawula Gusti, manusia harus mengenal siapa dirinya. Mengenal diri di sini penting dalam arti membebaskan manusia dari keterasingan diri sendiri. Jiwa yang telah terbebas dari beban raga dan beban dunia adalah jiwa yang telah menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Bahagia dan damai adalah ciri suasana surga. Jadi, manusia yang sudah dapat berperilaku seperti ini pada hakikatnya sudah menemukan surga. Sedangkan manusia yang masih terikat oleh kebutuhan balas budi bukanlah manusia penghuni surga karena masih dikungkung oleh orang lain dan menurutkan nafsu untuk menyenangkan orang lain. Hal ini agak bersebrangan dengan etika jawa yang menyatakan bahwa tekad dan sikap balas budi sebagaimana sikap Raden karena membela Kurawa melawan Pandawa serta sikap ragu-ragu menjalani takdir termasuk sikap terpuji dalam etika jawa.[8]

Manusia untuk dapat bersatu dengan Allahnya dan mencapai titik kebahagiaan sejati adalah dengan menghadirkan Tuhan dalam jiwanya. Sepi ing pamrih merupakan salah satu cara menuju manunggaling kawula Gusti. Dengan berusaha untuk semakin membebaskan diri dari cengkraman kekuatan-kekuatan irrasional dari dalam diri kita. Penguasaan oleh kekuatan-kekuatan itu dalam bahasa jawa disebut pamrih. Manusia tidak dapat menjalani dirinya sendiri, dalam arti menguasai diri, kecuali jika ia menjadi sepi ing pamrih, bebas dari pamrih. Manusia yang bebas dari pamrih tidak lagi perlu gelisah dan prihatin tentang dirinya sendiri, ia semakin bebas dari nafsu ingin memiliki, ia mengontrol nafsu-nafsu dan emosi-emosinya. Karena ia sepi ing pamrih, ia dapat semakin rame ing gawe, artinya sanggup untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang menantangnya.

Dalam tradisi kerohanian barat pun apa yang disebut Sepi ing pamrih juga dikenal dengan 3 upaya, yaitu :
1.      recta itentio” (maksud yang lurus), membuat kita sanggup untuk mengejar apa yang memang kita rencanakan tanpa dibelokkan ke kiri atau ke kanan.
2.      ordination affectuum” (pengaturan emosi-emosi), kita tidak membiarkan diri begitu saja digerakkan oleh nafsu-nafsu, emosis, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan kita, melainkan semua dorongan itu dapat diatur sehingga mendukung dan tidak mengacaukan sikap tanggung jawab kita.
3.      purification cordis” (pemurnian hati), dengan tujuan agar kita menjadi manusia baik, tanpa kepalsuan sampai keakar-akar kepribadian. Bagaikan air dalam yang jernih sampai ke dasar. Segala apa yang jahat, miring, kotor, nafsu-nafsu seperti dendam, dan iri tidak dapat berkembang dalam kejernihan itu. Orang yang murni tidak dapat dikalahkan oleh sesuatu apapun, jadi ia menjadi kuat. Sekaligus daya penilaiannya menjadi jernih sehingga ia sanggup untuk melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat daripada orang yang mata hatinya masih digelapkan oleh kepentingan dan nafsu.[9]

Usaha mencapai kesempurnaan hidup adalah ciri khas pada kehidupan manusia. Ia selalu menuju ke arah itu, sadar atau tidak sadar. Hal ini disebabkan getaran jiwa manusia dan getaran alam sama. Keduanya dikuasai oleh hukum alam yang sama, seperti yang kecil dan lemah selalu dikuasai oleh yang besar dan kuat. Hal ini dilambangkan seperti bersatunya jiwa manusia dan Allahnya.[10] Saya rasa untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan manusia memang benar-benar harus menemukan jati dirinya, kehidupannya yang paling dalam, yang bisa manusia temukan ketika ia dapat mengendalikan diri dari berbagai hawa nafsunya, mampu menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk, mampu hidup “suci” dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran dunia. Dengan mengetahui kehidupan manusia yang paling dalam ini, maka ia dapat mengetahui apa yang harus ia perbuat dalam dunia ini dan apayang tidak. Demikianlah maka keseluruhan hidup masyarakat Jawa selanjutnya akan diatur dan diarahkan oleh kehidupan batinnya, yang pada hakekatnya bersifat Ilahi. Pada titik inilah manusia dapat dikatakan bahwa ia telah mencapai tataran hidup manunggaling kawula Gusti. Inilah kesempurnaan hidup itu, yang sering dilukiskan dengan lukisan curiga manjing warangka; yang menggambarkan kesatuan antara Tuhan, manusia dan alam semesta.

Seno Sastroamidjojo mengemukakan bahwa manusia dalam usahanya mencapai kesempurnaan hidup baiklah dimulai dengan memperbaiki cara hidupnya di dunia. Hal ini perlu diutamakan. Jangan hanya mengincar kehidupan akhirat saja, sedangkan nilai kehidupan sehari-hari dilupakan begitu saja. Menurutnya, untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia perlu menyingkirkan nafsu jahat, sifat angkara murka, serta mampu mengendalikan keinginan dagingnya. Dengan begitu manusia tersebut dalam keadaan “Tata, Titi, Tentrem, Kartaraharja” (tertib, tenang/tentram, makmur aman).[11]

Kebutuhan utama yang harus terpenuhi dalam manunggaling kawula Gusti adalah kebutuhannya terhadap Sang khalik. Dalam setiap agama pasti juga menekankan hal yang sama. Manunggaling kawula Gusti bila ditinjau dari pemahaman Kristen tentu saja lebih mengarahkan kita pada penyerahan diri kepada Tuhan. Penyerah diri dalam Kristen bukan dalam arti pasif, namun aktif. Penyerahan diri maksudnya selain berserah manusia juga dituntut untuk tetap melakukan kewajibannya sebagai orang beriman. Diyakini bahwa kemuliaan, kewibawaan, ketentraman, kebahagiaan, dan keselamatan lahir bathin hanya dapat dicapai dengan menjaga hubungan yang selaras antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam semesta. Tugas mulia manusia dalam kehidupan ini adalah membuat ketenangan diri dan menjaga keserasian alam semesta. Seperti dalam kisah Dewaruci, bila manusia telah mencapai tataran hidup ini, maka ia di sebutkan telah menemukan air kehidupan itu sendiri.[12]

      IV. REFLEKSI
Menurut saya pandangan ini juga pasti sangat di cita-citakan bukan hanya oleh orang Jawa, tapi semua orang; saat dimana ketika manusia dapat menyatu dengan Allahnya, ketika hidupnya mengalami kebahagiaan yang sempurna bersama Allahnya.

Pandangan ini sangat menarik, dimana secara tidak langsung juga memperlihatkan kesamaan dengan ajaran filsafat yang menyatakan bahwa kebagaiaan merupakan tujuan akhir manusia. Bagian yang memperlihatkan kesamaan tersebut adalah jalan menuju tujuan akhir itu. Keduanya, baik ajaran filsafat mau pun falsafah Jawa tentang manunggaling kawula Gusti salah satunya ditempuh dengan ketenangan hati yang di dapatkan dari kemampuan manusia untuk mengendalikan keinginan-keinginan, serta hawa nafsu duniawi. Walaupun dengan bentuk penghayatan yang berbeda satu sama lain, keduanya memiliki visi yang sama yang mengantarkan manusia kepada hidup yang sempurna menurut pandangan masing-masing ajaran.

Pemahaman ini juga tentu saja berkembang secara global, sadar atau tidak setiap orang yang menghayati upayanya dalam mencari kesempurnaan hidup secara tidak langsung mengaplikasikan falsafah hidup orang Jawa ini.  Contoh yang bisa kita temukan ada dalam ajaran filsafat Plato dan Aristoteles, dimana keduanya menekankan keseimbangan batin dan hidup yang terarah pada Sang Baik (Yang Ilahi) sebagai bagian dari perwujudan hidup yang sempurna. 




[1] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2001,p. 85-90
[2] Bahan ajar kuliah Pdt.Yusak Tridarmanto
[3] Zoetmulder, PJ. Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1995,p. 1-4
[4] Franz Magnis-Suseno. 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta:Kanisius. 1997,p. 42
[5] Ibid,p. 24
[6] Franz Magnis-Suseno. Etika Dasar: masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta:Kanisius. 1998,p. 76-78

[7] Karasu, T.Bryan. Berdamai dengan Hati. Jakarta: Prenada Media. 2003,p. 194
[8] Sujamto. Sabda Pandhita Ratu. Semarang: Dahara Prize. 2000,p. 45
[9] Franz Magnis-Suseno. Etika Dasar: masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta:Kanisius. 1998,p. 80-81
[10] Sastroamidjojo, Seno. Gagasan tentang Hakekat Hidup dan Kehidupan Manusia. Jakarta: Bhratara. 1972,p. 49
[11] Sastroamidjojo, Seno. Gagasan tentang Hakekat Hidup dan Kehidupan Manusia. Jakarta: Bhratara. 1972,p. 52-53
[12] Bahan ajar kuliah Pdt.Yusak Tridarmanto

Tafsir Yesaya 51: 1 - 8 "Syair Penghiburan"

1Dengarkanlah Aku, hai kamu yang mengejar apa yang benar, hai kamu yang mencari TUHAN! Pandanglah gunung batu yang dari padanya kamu terpahat, dan kepada lobang penggalian batu yang dari padanya kamu tergali.
2Pandanglah Abraham, bapa leluhurmu, dan Sara yang melahirkan kamu; ketika Abraham seorang diri, Aku memanggil dia, lalu Aku memberkati dan memperbanyak dia.
3Sebab TUHAN menghibur Sion, menghibur segala reruntuhannya; Ia membuat padang gurunnya seperti taman Eden dan padang belantaranya seperti taman TUHAN. Di situ terdapat kegirangan dan sukacita, nyanyian syukur dan lagu yang nyaring.
Yesaya 51:1 – 8 memuat 3 bait syair pendek (ay. 1-3, 4-6, dan 7-8). Ayat pertama dibuka dengan kata yang menunjukkan perintah, dengarkanlah Aku. Westermann mengemukakan bahwa kata perintah, dengarkanlah Aku dalam ayat 1 sama dengan ayat 7 (Ibr: שִׁמְע֥וּ , Syim’u) dimana keduanya merujuk kepada ajakan untuk mendengar berita yang akan disampaikan oleh Deutro-Yesaya. Kata apa yang benar (TB LAI) Ibr: sedeq (adil, benar) dalam ayat 1 menurut Westerman diartikan sebagai pembebasan, deliverance. Hal ini dihubungkan dengan apa yang tertulis dalam pasal 50:10, sehingga ada perbedaan antara mereka yang telah mengenal Allah dan “memiliki torah dalam hatinya” (ay.7) dengan mereka yang mengejar keselamatan dan mencari TUHAN (mereka yang mencari TUHAN ini menurut EGS bisa dibandingkan dengan tradisi ibadah Israel yang terdapat dalam Mazmur, dimana Israel dicari dan mencari TUHAN); sebab menurut Westermann kata dengarkanlah Aku dalam Ayat 1 dialamatkan kepada “orang-orang yang takut akan TUHAN” dimana kata takut sendiri merujuk pada ketaatan umat pada nubuat Hamba Allah (yang dalam perkembangannya kemudian digunakan juga oleh kaum proselit), yang dijelaskan dalam pasal 50:10a. Jadi kata mencari TUHAN dalam ayat 1 kemungkinan besar ditujukan kepada mereka yang “berjalan dalam kegelapan” karena mereka tidak tahu akan cahaya keselamatan. Melihat kemungkinan ini, maka tidak bisa disamakan dengan mereka yang dimaksud dalam ayat 7.[1]
Banyaknya terjemahan kata yang bisa menggambarkan kata sedeq membuat teks ini memiliki berbagai macam interpretasi; entah itu mencari pembebasan, keselamatan atau keadilan, kebenaran. North sendiri menerangkan bahwa “kebenaran” yang dikejar manusia itu adalah kebenaran di dalam TUHAN. Dialah kebenaran sekaligus Juruslamat.[2] Apa yang dikemukakan North kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan oleh Marie-Claire Barth, bahwa mereka itu mengejar “sedeq”, keadilan/kebenaran yang TUHAN kerjakan, yakni keselamatan. Whybray sendiri mengemukakan bahwa kata sedeq disini lebih cocok diartikan sebagai righteousness dari pada deliverance atau salvation. Ini dibuktikan dengan penggunaan kata kerja pursue (mengejar) yang disejajarkan dengan kata seek the LORD yang mengantarkan kita pada sense of desiring to know and do the righteous will of God (menunjukkan keinginan/hasrat untuk tahu dan melakukan kebenaran seturut dengan kehendak Allah).[3] Bila dihubungkan dengan pasal 50:10, maka janji yang dibuat disana juga ditujukan kepada mereka yang mengejar keselamatan dan mencari TUHAN.
Kata mereka yang mengejar kebenaran dan mencari TUHAN diatas, mengajak kita untuk melihat metafora batu (makkebet) dan tambang (bôr)/lobang penggalian yang disampaikan oleh Deutro-Yesaya dengan hubungannya sebagai keturunan Abraham dan Sara di ayat 2 (metafora Abraham sebagai batu dan Sara sebagai tambang) yang pembuktian bahwa TUHAN tetap menyertai mereka. Menurut Whybray, hal ini berdasarkan janji Allah kepada Abraham bahwa keturunannya akan menjadi bangsa yang hebat, dan inilah pemenuhan janji Allah di masa lalu itu “I blessed him and made him many”. Adanya penekanan pada janji TUHAN yang disampaikan oleh Deutro-Yesaya ini menunjukkan bahwa janji TUHAN tidak hanya berhenti pada Abraham saja, tetapi juga bagi keturunannya, umat Israel.[4] Kira-kira begitu juga dengan apa yang disampaikan oleh Childs bahwa penggambaran Abraham sebagai batu dan Sara sebagai tambang melukisakan keselamatan yang dijanjikan. Penggambaran Abraham seperti batu yang merupakan rumah pertama yang dibangun dan Sara seperti tambang dimana dari sanalah umat berasal menunjukkan bahwa sekalipun umat Israel “mandul” Allah tetap memberikan kehidupan, sama seperti kuasa Allah dalam hidup Abraham dan Sara.[5] Serta Westemann, bahwa metafora tersebut merupakan usaha yang dilakukan untuk menunjukkan bahwa Israel diharapkan mampu mendapat keturunan sama seperti yang dialami oleh Abraham dan Sara, sebagai bentuk tindakan penciptaan kembali atas bangsanya. Mengingat peristiwa Keluaran (Exodus) merupakan peristiwa penting bagi umat Israel, dimana peristiwa itu dipandang sebagai peristiwa ketika mereka dipilih oleh TUHAN untuk menjadi hambaNya.[6] Sedikit perbedaan yang disampaikan oleh North, menurutnya kata Ibr: בּ֖וֹר seharusnya diterjemahkan cistern (lubang tangki air di bawah tanah) dan bukan quarry (tambang penggalian). Walaupun hal ini tidak memberi pengaruh penting terhadap terjemahan kalimatnya, karena keduanya sama-sama memiliki arti yang merujuk kepada lubang galian di bawah tanah.[7]
Ayat 3 berisi tentang janji TUHAN atas penghiburan kepada Sion. Di sini bukan hanya manusianya saja yang diperbaharui, tetapi juga reruntuhan kotanya. Nubuat ini menunjukkan kemahakuasaan TUHAN yang membangun kembali Sion yang runtuh. Allah akan menolong mereka keluar dari pembuangan di Babilonia, serta membuat mereka sebagai bangsa yang makmur di Palestina, sama seperti gambaran TUHAN yang mengubah padang gurun menjadi Taman Eden, dan padang belantara menjadi taman TUHAN. Bukan hanya jalan menuju ke Yerusalem saja yang menjadi subur tetapi juga kotanya. Gambaran perubahan yang disampaikan oleh Deutro-Yesaya ini sangat luar biasa, melihat kondisi lahan di Timur Tengah yang memang hanya memiliki sedikit daerah subur. Di sini Deutro-Yesaya mau menunjukkan bahwa sekalipun daerah yang tidak mungkin ditumbuhi tanaman subur atau bahkan gersang akan diubah menjadi daerah subur. Penggambaran ini sama seperti sebagaimana dulu Abraham dijanjikan tanah sebagai tanda berkat, begitu juga Israel (yang juga disebut Sion) dianugrahi taman Eden, taman TUHAN (membawa mereka kembali kepada masa kejayaan, Golden Age) sebagai tempat kediaman yang sempurna yang menjadi tanda bahwa TUHAN tetap memberkati Israel.[8]
4Perhatikanlah suara-Ku, hai bangsa-bangsa, dan pasanglah telinga kepada-Ku, hai suku-suku bangsa! Sebab pengajaran akan keluar dari pada-Ku dan hukum-Ku sebagai terang untuk bangsa-bangsa.
5Dadalam sekejam mata keselamatan yang dari pada-Ku akan dekat, kelepasan yang Kuberikan  akan tiba, dan dengan tangan kekuasaan-Ku Aku akan memerintah bangsa-bangsa; kepada-Kulah pulau-pulau menanti-nanti, perbuatan tangan-Ku mereka harapkan.
6Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah ke bumi di bawah; sebab langit lenyap seperti asap, bumi memburuk seperti pakaian yang sudah using dan penduduknya akan mati seperti

nyamuk; tetapi kelepasan yang Kuberikan akan tetap untuk selama-lamanya, dan keselamatan yang dari pada-Ku tidak akan berakhir.
Pada bait kedua syair ini, yakni ayat 4 – 6 dialamatkan kepada orang-orang. Mereka dipanggil untuk mendengar dan memperhatikan apa yang disampaikan oleh Hamba TUHAN tentang nubuat yang menyatakan bahwa pembebasan yang dijanjikan itu sudah dekat (ayat 4-5) dan tidak ada yang dapat melawan (ayat 6). Kata my people (‘ammȋm) dan my nation (le’ûmmȋm) dalam ayat 4 merupakan kata khusus yang merujuk kepada Israel. Hal ini dilihat dari pesan yang ada, yakni hukum Allah yang akan menjadi terang untuk bangsa-bangsa. Ayat 5 memperlihatkan keselamatan yang dijanjikan itu. Childs mengemukakan bahwa efek dari janji dalam ayat ini memberi kesan bahwa Israel semakin  dipisahkan dari bangsa-bangsa (bdk.pasal 42:6; לְא֥וֹר גּוֹיִֽם; le’or ggoyim = terang untuk bangsa-bangsa), sebab hukum Allah yang ada menjadi terang bagi bangsa-bangsa sehingga dalam hal ini umat (yang diselamatkan ini) patut mengingat kembali sifat Allah yang menyelamatkan Israel. Pandangan ini meluas, dari yang hanya umat Israel saja menjadi lebih universal bagi orang-orang yang beriman kepada Allah.[9]
Gambaran bumi yang rusak dan semakin memburuk dalam ayat 6, menggambarkan apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta di dunia itu tidak abadi dan hanya sementara; dapat lenyap, hilang dan mati. Kata asap dan pakaian yang usang merupakan metafora biasa yang sering digunakan untuk menggambarkan hal-hal buruk (bdk pasal 50:9), begitu juga dengan metafor nyamuk (bdk.Keluaran 8:16). Untuk itu, jelaslah bahwa hanya keselamatan dari TUHAN saja yang dapat menyelamatkan manusia. Keselamatan dari TUHAN-lah yang abadi selamanya. Di sini kita bisa melihat pandangan apokaliptik yang kontras antara akhir zaman (kiamat) dan keselamatan dari Allah yang akan berlanjut untuk selamanya.[10] Dapat saya simpulkan bahwa keempat penafsir yang kita bahas memiliki pandangan yang sama terhadap tafsiran pada bagian ini. Keempatnya menekankan keselamatan yang hanya dapat ditemukan di dalam TUHAN (bdk. pasal 45,46; yang menyatakan bahwa dewa-dewa Babel tidak memberikan keselamatan seperti yang diberikan TUHAN).
7Dengarkanlah Aku, hai kamu yang mengetahui apa yang benar, hai bangsa yang menyimpan pengajaran-Ku dalam hatimu! Janganlah takut jika diaibkan oleh oleh manusia dan janganlah terkejut jika dinista oleh mereka.
8Sebab ngengat akan memakan mereka seperti memakan pakaian dan gegat akan memakan mereka seperti memakan kain bulu domba; tetapi keselamatan yang dari pada-Ku akan tetap untuk selama-lamanya dan kelepasan yang Kuberikan akan lanjut dari keturunan kepada keturunan.
Pada ayat 7 kata sedeq ditegaskan kembali, namun dengan makna yang lebih dalam dari ayat 1. Menurut North, penggunaan kata sedeq dalam ayat 7 ini lebih menekankan makna etisnya, khususnya “pengetahuan akan Allah” (da‘at’elohim), bukan dalam pengertian intelektual tetapi lebih kepada pengalaman nyata yang dialami “dengan sepenuh hati dan jiwa”. Tahu tentang kebenaran disini diartikan sebagai tahu bagaimana bertindak dengan benar, sesuai dengan kebenaran Allah (bagian ini dikhususkan kepada orang Israel, sebagai umat yang “dianggap” merupakan orang-orang yang tahu apa yang benar itu).[11] Penggambaran syair-syair yang terdapat  pada 2 ayat ini merupakan campuran dari syair-syair yang sering digunakan dalam metafor-metafor puisi dalam PL; beberapa diantaranya biasanya memiliki kata yang berbeda namun dengan arti yang sama. Contohnya kata “in whose heart is my law” dapat juga kita temukan dalam Yeremia 31:33 (bdk.pasal 42:4,6), atau dua kata “will eat them like wool” yang memiliki arti yang sama dengan “eat them up”.
Pada kedua ayat ini Deutro-Yesaya sekali lagi menegaskan bahwa TUHAN menyertai kehidupan umatNya. Hal ini terlihat dari nubuat Deutro-Yesaya, bahwa mereka yang menyimpan pengajaran TUHAN di dalam hatinya akan mendapatkan keselamatan dan pembebasan yang abadi untuk selamanya. Childs menambahkan bahwa hal-hal yang tidak ilahi pasti akan hilang, tetpi keselamatan dari TUHAN kekal. Untuk itu umat diharapkan tidak takut kepada cemooh/diaibkan/dinista orang lain, sebab mereka adalah orang yang selalu menyimpan pengajaran dalam hatinya yang selalu mendapat keselamatan dari TUHAN.[12]


[1] lih. Westermann, Clauss. Deutro-Isaiah. London: SCM Press Ltd. 1969,p. 234
[2] lih. North, Christopher. The Second Isaiah. Oxford, Clarendon Press. 1964,p. 208
[3] lih. Whybray, R.M. Isaiah 40-66. London: Marshal, Morgan & Scott Publication. 1975,p. 154-155
[4] Ibid,p. 155
[5] Childs, Brevard. Isaiah. Louisville: Westminster John Knox Press. 2001,p. 402
[6] Westermann,p. 230
[7] North,p. 206
[8] bdk. Whybray p. 155, Childs p.402, Claire Barth p. 284
[9] Childs p.402
[10] North p.210, Childs p. 402, Westermann p.235-236, Whybray p. 156-157
[11] North, p. 210
[12] Westermann p. 236-237, Childs p. 402

Thursday, 12 December 2013

Dosa dan Pengampunan dalam Dialog Doa Bapa Kami dan Fatiḫa

            I. PENDAHULUAN
Setiap agama pasti memiliki konsep dosa dan pengampunan, begitu juga dengan kedua agama besar di Indonesia; Islam dan Kristen. Konsep dosa dan pengampunan merupakan bagian yang tak dapat dilepaskan dari kehidupan setiap umat beragama. Dosa adalah sebuah tindakan yang dilakukan sengaja atau tidak sengaja dan dianggap salah serta tidak sesuai dengan ajaran dan hukum sebuah agama, sedangkan pengampunan/taubat berarti kembali kepadaNya. Kedua kata ini saling terkait. Ketika seseorang berbuat dosa, maka dengan taubat ia mendapatkan pengampunan dari Allahnya. Dalam tugas akhir ini saya akan mencoba membahas kedua konsep ini (dosa dan pengampunan) dengan mendialogkan doa Bapa Kami dan Fatiḫa sebagai dasarnya.

      II. DOSA DAN PENGAMPUNAN ALLAH DI DALAM ISLAM DAN KRISTEN[1]
Fatiḫa dipanjatkan oleh penganutnya dengan tujuan untuk merayakan rasa syukur kepada sang Pencipta sebagai Allah yang pemurah. Begitu juga dengan doa Bapa Kami yang dipanjatkan oleh penganutnya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah sebagai Bapa yang mengasihi dan mengampuni. Ajaran Islam memberikan tiga cara memahami pengampunan Allah. Semuanya didasarkan pada pengajaran Qur’an dan Hadith, tetapi pada aspek-aspek yang berbeda tentangnya. Begitu juga halnya dengan apa yang dipahami oleh orang Kristen tentang pengampunan  Allah, diantaranya yakni kemahakuasaan Ilahi, keadilan dan anugrah. Dimana ketiga hal ini relevan bagi pengampunan Ilahi dalam pengertian Islam maupun Kristen.
Islam
Pemahaman I (menurut ahli teologi Murji’i[2]): Allah adalah Maha Kuasa; Ia pada akhirnya akan mengampuni semua orang Muslim. Dalam pemahaman ini dipahami bahwa atribut tertinggi Allah adalah kemahakuasaanNya. Allah itu maha kuasa, pemurah serta adil. Ia berdiri sendiri dan tidak tergantung oleh siapa dan apa pun itu. Ia punya hak untuk melakukan apa yang Ia sukai dan tak seorang pun yang dapat melawan kehendak serta keputusanNya. Karena Ia adalah Tuhan yang Maha Kuasa, maka manusia sebagai makhluk ciptaanNya harus tunduk di bawah kuasaNya. Segala apa yang dilakukan oleh manusia baik atau buruk ditentukan oleh kemahakuasaanNya. Untuk itu, Ia punya hak untuk mengampuni dan menghukum siapa pun yang Ia kehendaki.

Keesaan Allah merupakan salah satu dari doktrin inti ajaran Islam. Untuk itu dosa karena shrik (menyembah allah lain selain Allah) tidak dapat diampuni dan akan dihukum masuk ke dalam neraka. Namun ada pengecualian ketika mereka mau bertobat dan masuk Islam. Pada bagian ini sering terjadi kesalapahaman antara Islam dan Kristen. Islam memahami konsep Trinitas dalam ajaran Kristen sebagai tritheisme (percaya kepada 3 allah), yang sebenarnya tidak seperti itu. Dalam ajaran Kristen konsep Trinitas,  Allah tetap satu (Esa) namun dengan 3 pribadi (Bapa, Anak, dan Roh Kudus).

Kita kembali lagi pada pemahaman Islam bahwa Allah itu Esa dan berkuasa. Dari pemahaman ini orang-orang muslim percaya bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka apabila mereka bertobat, tetapi jikalau tidak, tak ada satu pun yang bisa menghalangi kehendak Allah atas hal tersebut pada hari penghakimanNya. Berikutnya, Allah itu pemurah. Islam mengajarkan bahwa anugrah Allah jauh lebih besar dari pada murkaNya. Anugrah Allah digambarkan bahwa Allah tidak akan menghukum orang-orang Muslim yang tidak taat dengan hukuman kekal. Setelah membayar dosa-dosanya, mereka akan keluar dari neraka dan akan pergi ke surge dimana mereka akan menikmati kebahagiaan kekal bersama-sama dengan saudara-saudara Muslim yang lain. Hal ini juga sangat jelas di singgung dalam doa syafaat Nabi Muhammad yang memohon pengampunan bagi orang-orang Muslim yang tidak taat dan tidak menyesali dosa-dosa mereka kepada Allah.[3]

Pemahaman II (menurut ahli teologi Mu’tazili[4]): Allah adalah adil; Ia akan mengampuni orang-orang Muslim yang taat saja. Pada bagian ini dipahami bahwa atribut Allah adalah keadilan, selanjutnya barulah anugrah dan kemahakuasaanNya. Dikatakan bahwa pada hari penghakiman nanti Allah akan menghakimi setiap orang menurut keadilanNya yang sempurna, dan orang-orang Muslim tidak akan diistimewakan karena iman mereka, mereka akan diperlakukan sama seperti orang-orang non-Muslim. Mereka akan dibenarkan apabila mereka melakukan apa yang benar di mata Allah, dan salah bila mereka melakukan apa yang tidak berkenan bagi Allah. Dalam hal ini para pakar teologi Mu’tazili menjelaskan berbedaan antar dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. Hadith menunjukkan dosa-dosa besar seperti politheisme, ilmu sihir, membunuh, merampas kekayaan milik anak yatim, mengambil bungan atau riba, desersi dari tugas-tugas keagamaan, dan secara salam menuduh perempuan Muslim yang sudah bersuami melakukan tindakan amoral seksual. Tradisi lain juga memandang dosa besar seperti pemberontakan kepada orang tua, kesaksian palsu, menyerang orang-orang yang sedang dalam perjalanan ke Makkah, minum anggur, menyia-nyiakan anugrah Allah atau mengabaikan pengadilan Allah. Berbeda dengan dosa-dosa besar, dosa-dosa kecil dapat ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik, karena perbuatan yang baik dapat menghapuskan perbuatan yang jahat. Namun hal ini bukan berarti seseorang dapat dengan sengaja atau seenaknya melakukan dosa-dosa kecil ataupun besar, sebab pada akhirnya pengampunan atas dosa-dosa kembali lagi pada otoritas Allah. Di sini konsep tentang hukuman sementara dan doa Nabi yang telah dijelaskan diatas, ditolak dengan alasan bahwa Allah akan menyangkal keadilanNya jikalau Ia mengampuni dosa besar yang emmang layak unuk dihukum. 

Pemahaman III (Sufisme)[5]: Allah adalah pemurah; Ia akan mengampuni semua orang. Pada bagian ini atribut Allah yang penting adalah murah hati. Dikatakan bahwa  dalam hal ini Allah digambarkan sebagai “yang paling murah hati dari segala yang bermurah hati” dan “terbaik dari dari segala yang murah hati”. Kemurahan hati Allah bersifat inklusif, yang dinyatakan dalam pengampunannya tanpa batas terhadap orang-orang berdosa. Di sini dijelaskan bahwa tak satu dosa pun yang tidak terjangkau oleh pengampunan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa pengampunan Allah itu tanpa syarat dan tidak tergantung pada pertobatan manusia.
Kristen
Anugrah Allah ditunjukkan dalam kasihNya kepada umatNya. Sama seperti pemahaman Islam (Sufisme) tentang kemurahan hati Allah yang tak bersyarat dan universal, begitu juga konsep tentang kasih Allah dalam ajaran Kristen. Namun berbeda dengan pemahaman tentang nabi sebagai mediator kasih Allah. Dalam Kristen Yesus-lah yang menjadi wujud nyata kasih Allah ke dunia; “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNyatidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus adalah mediator antara Allah dan manusia, sebab Dialah Anak Allah yang kekal yang telah menjadi manusia untuk menyelamatkan kita dari hukuman kekal lewat kematiaanNya di kayu salib. Sebab manusia adalah makhluk yang sudah tercemar oleh dosa sejak lahirnya. Untuk itulah lewat karya penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus yang mati dan bangkit, manusia dapat ditebus dari dosanya.

Sebagaimana kasih Allah yang tidak terbatas, begitu pula dengan keadilanNya. Dalam ajaran Kristen konsep tentang dosa kecil dan besar tidak ada. Dosa ya tetap dosa, dan untuk itu tetap ada hukumannya. Kita tidak dapat memisahkan antara apa yang kita lakukan dengan siapa kita ini; perbuatan kita mencermikan hakekat keberadaan kita; kita berdosa dan juga sekaligus pendosa. Dan untuk itu, hukuman dosa adalah maut, baik secara fisik maupun secara spiritual (Rm 6:23). Dari perspektif Alkitabiah, pengampunan dosa hanyalah merupakan salah satu aspek dari penyelamatan. Penyelamatan yang datang dari Allah lewat Yesus Kristus; mediator yang memperbaiki hubungan Allah dan umatNya yang telah rusak oleh karena dosa manusia itu sendiri. 

Yang terakhir adalah kemahakuasaan Allah. Sang pencipta dan Tuhan atas alam semesta. Dalam ajaran Kristen, kemahakuasaan Allah telah dinyatakan dalam kebangkitan Yesus Kristus dari maut. Pada bagian akhir doa Bapa Kami hal ini juga ditekankan “…dan Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.” Di sini kita bisa melihat dan merenungkan kemahakuasaan Allah yang tercermin dalam diri Yesus Kristus yang menyelamatkan manusia dari dosa. Maka untuk itu, kita patut mengucap syukur atas anugrah yang boleh kita terima.
                                                                                              
III. TANGGAPAN – TANGGAPAN  LAIN DARI AGAMA ISLAM DAN KRISTEN
Berdasarkan hasil diskusi saya dengan beberapa teman mahasiswa teologi dari Universitas Sunan Kalijaga, mereka banyak memberi tanggapan dan masukan yang menjelaskan tentang bagaimana konsep dosa dan pengampunan yang dipahami dalam Islam. Apa yang mereka jelaskan mengenai konsep dosa dalam Islam kurang lebih memiliki dasar yang sama dengan apa yang dipahami dalam Kristen; bahwa dosa adalah tindakan yang dilakukan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.[6] Yang menarik bagi saya adalah: (1).konsep tentang dosa seseorang yang telah meninggal dapat diampuni oleh karena doa-doa saudara dan sahabat-sahabatnya selama masih hidup, serta (2).konsep tentang neraka yang dihuni oleh orang berdosa selama menjalani masa hukumannya (kemudian setelah membayar dosanya di neraka ia dapat ikut masuk ke surga). Konsep ini sama seperti apa yang dipahami oleh orang-orang Kristen Katolik tentang api penyucian. Dalam ajaran gereja yang saat ini dipegang oleh Gereja Katolik Roma, dikenal apa yang disebut dengan purgatori yakni tempat antara dimana orang mati berada sebelum masuk surga. Disitu, orang yang mati menjalani penyucian. Maka, purgatori juga disebut dengan api penyucian. Sebenarnya ajaran ini hendak mengatakan bahwa untuk masuk ke surga yang suci, orang harus disucikan dulu. Penyucian bisa terjadi lewat pertobatan. Bila orang masih hidup, orang itu tentu bisa menerima penyucian lewat pertobatan yang dilayankan oleh gereja, tetapi bila ia sudah mati maka penyuciannya dilakukan dalam purgatori itu. Sebaliknya, dalam Kristen Protestan kita tidak menemukan konsep mengenai apa penyucian. Dalam Kristen Protestan orang-orang yang sudah mati masih harus menantikan saat tibanya penghakiman akhir itu. Tidak jelas disebutkan dimana mereka harus menjalani masa penantian, namun penjelasan yang sering diberikan adalah mereka berada di Firdaus[7] (tidak jelas dimana Firdaus itu berada).

Hal menarik lainnya adalah mengenai dosa besar dan dosa kecil dalam Islam. Dalam Kristen kita tidak mengenal dosa dalam ukuran besar atau kecilnya, yang ada adalah tentang doktrin gereja yang mengajarkan tentang dosa keturunan. Dalam Islam sendiri pengertian dosa besar dimengerti sebagai kesalahan besar terhadap Allah karena melanggar aturan pokok yang diancam dengan hukuman berat, dunia dan akhirat. Sedangkan dosa kecil dimengerti sebagai kesalahan ringan terhadap Allah berupa pelanggaran ringan mengenai hal-hal yang bukan pokok yang hanya diancam dengan siksaan ringan. Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah, apa ukuran dosa dapat dikatakan besar atau kecil? Banyak ahli-ahli teologi Islam juga memberi jawaban untuk hal ini, seperti misalnya bagi Ja’afar bin Mubasysyir yang mengatakan bahwa dosa besar itu ialah setiap niat yang digunakan untuk melakukan perbuatan dosa dan setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat dengan sengaja adalah dosa besar, atau beberapa pendapat-pendapat dari beberapa ulama yang mengatakan bahwa dosa besar dan dosa kecil dapat di lihat bila kita membandingkan kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh dosa-dosa tersebut. Apabila pada kenyataannya kerusakan yang ditimbulkan itu hanya sedikit, maka yang demikian itu adalah dosa kecil, tetapi bila kerusakan yang ditimbulkannya itu seimbang atau lebih besar, maka hal itu merupakan dosa besar.[8] Di Kristen pengertian dosa besar dan dosa kecil tidak ada dibahas, tidak ada yang nama dosa kecil atau dosa besar; dosa ya tetap dosa. Kamu tetap tidak akan dibenarkan apabila kamu terbukti melakukan tindakan salah dan tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Hanya saja seperti yang telah kita bahas diatas, karena kasih dan anugrah Allah sehingga Ia mengutus anakNya, Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia dari dosanya. Yang cukup fenomenal dalam dokrin Kekristenan adalah konsep tentang dosa keturunan yang dimiliki manusia sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Dalam ajaran Islam tidak ada yang namanya dosa keturunan. Ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Ia bertobat dan Allah mengampuni mereka. Setiap dosa yang dilakukan oleh manusia, dia sendirilah yang harus membayar dosa-dosanya. Sehingga dalam kasus Adam dan Hawa tidak ada dosa yang turunkan.

IV. REFLEKSI
Ajaran dan pemahaman kedua agama besar ini tentang dosa dan pengampunan cukup jelas memperlihatkan bahwa sebagai umat beragama dosa dan pengampunan menjadi sesuatu yang sangat populer bagi hidup manusia. Keduanya sama-sama memahami dosa sebagai bagian yang tak dapat terlepas dari kehidupan manusia, dan untuk itu manusia memerlukan pengampunan/tobat sebagai tanda penyesalannya yang tulus akan dosa yang telah ia lakukan.

Walaupun tidak bisa disangkal bahwa kedua agama besar ini punya konsep dan cara memahami yang berbeda tentang dosa. Setiap agama tentu saja memiliki pemahaman yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinan, dan inilah keanekaragaman yang patut kita syukuri dengan saling menghargai dan menghormati ajaran agama satu sama lain. Yang jelas kita ketahui bahwa keduanya menjelaskan dosa sebagai suatu tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah sedangkan pengampunan adalah apa yang diberikan Allah kepada umatNya sebagai tanda kasihNya bagi seluruh umat yang percaya kepadaNya.



[1] Berdasarkan buku : Moucarry, Chawkat (Terj: Pdt. Djaka Soetopo). Two Prayers for Today. 2007
[2] Wakil dari ortodoxi Islam 
[3] Doa Muhammad didasari atas hak istimewanya sebagai nabi terakhir, dan Allah telah mengampuni dosa-dosanya terlebih dahulu. Untuk itu sebagai hasil dari doa-doa nabi, Allah mengampuni dosa-dosa orang Muslim.
[4] Wakil dari ortodoxi Islam 
[5] Salah satu aliran mistik Islam yang sangat berpengaruh dalam komunitas Muslim
[6] Imam Al-Ghazali, Rahasia Taubat, terj. Muhammad Bagir. Bandung:Mizan Media Utama. 2003,p. 61
[7] Merujuk kepada Luk. 23:43
[8] Hasil diskusi dengan Erina (Mahasiswi teologi UIN Sunan Kalijaga angkatan 2010) pada hari Selasa, 10 Desember 2013