I. PENDAHULUAN
Sebelum orang
Jawa mengenal Allah dalam agama, mereka punya cara mengungkapkan
religiusitasnya sendiri. Pusat yang paling dalam dari religiositas ini ialah
adanya kepercayaan dan penyembahan terhadap roh-roh dan kekuatan gaib yang ada
di sekitar kehidupannya, dan yang lazim disebut dengan animisme di satu pihak,
dan kepercayaan serta penyembahan terhadap adanya daya-daya di sekitarnya, atau
yang lazim disebut dengan sebutan dynamisme. Mereka meyakini bahwa keselamatan
hidupnya bergantung pada kekuatan gaib dan kekuatan roh-roh di sekitarnya itu,
dan karena itulah mereka kemudian menyikapinya dengan mengadakan berbagai
ritual, seperti acara slametan,
ziarah makam, doa-doa, sejaji dan sebagainya.[1]
Bentuk-bentuk kegiatan seperti ini dianggap lebih praktis dalam pelaksanaannya.
Kepercayaan seperti ini tentu saja mendorong manusia sedapat mungkin
memanfaatkan daya-daya tersebut bagi
kehidupan sehari-hari dalam rangka menuju ke kehidupan yang diidamkan. Oleh
karena itu benda-benda yang dipercayai memiliki kekuatan dan daya yang besar
akan sangat dihormati, bahkan disembah. Oleh karena sifatnya praktis, dan tidak
membutuhkan perenungan yang mendalam, maka kepercayaan seperti ini sangat mudah
dijiwai dan dipraktekkan oleh masyarakat yang umumnya tidak memiliki tingkat
intelektual yang tinggi.[2]
Kedua pandangan
diatas ini meletakkan dasarnya pada konsep ke-esa-an segala sesuatu dalam
adanya. Konsep ini merupakan salah satu jawaban atas keseluruhan realitas.
Salah satu implikasinya, Tuhan yang berpribadi disangkal secara konsisten. Hal
ini jelas bertentangan dengan theisme. Seperti yang telah disinggung diatas,
monisme merupakan istilah yang diciptakan bagi setiap usaha untuk menafsirkan
realitas berdasarkan satu prinsip saja dengan menghilangkan keragaman dan
perbedaan. Kejamakan selalu dikembalikan kepada kesatuan (prinsip tunggal).
Allah melebur dalam dunia. Sedangkan pantheisme merupakan ajaran yang
menyamakan Allah dengan jagad raya. Tuhan dan dunia bukan merupakan dua hakikat
yang terpisah. Ketunggalan berpangkal pada Tuhan dan dunia terlebur dalam
Tuhan.[3]
Bisa dikatakan
bahwa gejala monisme dan pantheisme bertolak pada pengalaman mistik yang hidup
dalam masyarakat serta kondisi masyarakatnya itu sendiri. Terkadang masyarakat
akan lebih mudah memahami yang ilahi lewat kondisi sosial dan ekonominya
sehari-hari. Mereka cenderung akan menggabungkan pengalaman mistik disekitarnya
untuk pemenuhan hasrat jiwa (kerinduan) pada kehidupan yang lebih baik. Bagian ini
bisa kita umpamakan: “kemiskinan/kondisi ekonomi masyarakat (yang selalu
bersimbiosis dengan kelaparan dan keterasingan dalam pergaulan) mengandung
konotasi bagian dari pengalaman mistik, yaitu perjalanan persatuan dengan yang
ilahi dan pemenuhan hasrat jiwa akan penghayatan langsung terhadap kebenaran
sejati”.
II. ALLAH SEBAGAI TUJUAN AKHIR MANUSIA
Sama seperti
pemahaman diatas mengenai mistik dan hal-hal gaib. Hanya saja pada bagian ini
manusia sudah mulai melihat apa yang ia cari, bahwa tujuan akhir manusia pasti
adalah Tuhannya. Mereka mulai beralih dari konsep monisme dan pantheisme untuk
menemukan jawaban yang lebih logis dan valid tentang kehidupan ini. Agama tentu
saja menjadi bagian penting. Masuknya agama-agama di tanah Jawa mulai
memperkenalkan masyarakat kepada suatu kepercayaan tentang sang Ilahi sebagai
awal dan akhir.
Dalam konsep Manunggaling kawula Gusti tentu saja
pasti ada gambaran kepada siapa manusia itu bersatu. Manusia bersatu dengan
Tuhannya. Sehingga pada akhirnya tujuan akhir manusia adalah kepada Tuhannya.
Ini merupakan cita-cita manusia. Untuk itu manusia perlu mengenal Tuhannya
secara lebih personal (manusia – Tuhannya). Para filsuf alam di zaman Yunani
kuno melihat Tuhan lewat penyataannya dalam alam semesta ciptaannya. Aristoteles
juga dalam etikanya mengemukakan bahwa tujuan tindakan baik manusia adalah
keseimbangan batin dan kedalaman dimensi perasaannya – katentremaning ati – dan tujuan itu tercapai lewat sikap yang tidak
berputar pada dirinya sendiri (sepi ing
pamrih) serta lewat partisipasi dalam kehidupan komunitas (rame ing gawe). Seperti bagi
Aristoteles, puncak segala kegiatan manusia adalah theoria, begitu pula bagi orang Jawa semadi dan laku tapalah
yang menghasilkan manunggaling kawula
Gusti.[4] Serta
Plato yang juga mengemukakan bahwa hidup manusia akan semakin bernilai bila
semakin ia seluruhnya terarah kepada nilai dasar, Sang Baik. Sang Baik itu oleh
Plato kadang-kadang juga disebut Yang Ilahi. Karena itu, manusia menurut Plato
akan mencapai puncak eksistensinya apabila ia terarah kepada Yang Illahi.
Secara tidak langsung hal ini juga dapat kita mengerti dalam konsep manunggaling kawula Gusti dalam falsafah
hidup Jawa.[5]
Frans Magnis
Suseno menggambarkan kedekatan Allah dan manusia lewat mendidik suara hati, dan
untuk mencapai kematangan itu, kita harus berusaha dalam dimensi kognitif dan
afektif. Dalam dimensi kognitif kita harus berusaha agar suara hati memberikan penilaian-penilaiannya berdasarkan
pengertian yang tepat. Atau dengan kata lain, kita harus mendidik suara hati. Terkadang perasaan moral (superego) dan
anggapan-anggapan sangat mempengaruhi suara hati kita. Namun dengan mendidik
suara hati kita berusaha untuk membebaskan diri dari prasangka-prasangka itu,
agar kita dapat mengambil jarak terhadapnya dan menilainya dengan kritis.
Mendidik suara hati sama dengan terus-menerus bersikap terbuka, mau belajar,
mau mengerti seluk beluk masalah-masalah yang kita hadapi, mau memahami
pertimbangan-pertimbangan etis yang tepat dan seperlunya membaharui pandangan-pandangan
kita. Usaha untuk mendidik suara hati menuntut keterbukaan kita dan keinginan
kita untuk belajar. Dua syarat ini memang tidak hanya penting bagi pendidikan
suara hati saja, melainkan bagi perkembangan kepribadian kita pada umumnya.
Kita harus terbuka dalam arti bahwa kita
tak pernah seakan-akan sudah jadi, pasti, tak terubahkan, mati secara rohani
dan intelektual.
Sekarang yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana membedakan suara hati dan suara Tuhan?
Pertama, karena suara hati dapat keliru, sedangkan Allah tidak dapat keliru,
maka sudah jelaslah bahwa suara hati tidak begitu saja boleh disamakan dengan
suara Allah. Suara hati dengan amat jelas mencerminkan segala pengertian dan
prasangka kita sendiri, sehingga jelas merupakan suara hati kita sendiri.
Tetapi dalam pertanyaan itu termuat sesuatu yang betul. Dalam suara hati memang
ada unsur yang tidak dapat diterangkan dari realitas kita manusia saja, yaitu
kemutlakannya. Suara hati memuat kesadaran bahwa apa yang disadarinya sebagai
kewajiban mutlak harus kita lakukan.
Dari mana unsur mutlak dalam kesadaran kita? Yang mutlak hanya satu, Allah.
Jadi kemutlakan suara hati menunjuk pada Allah.[6]
Kita dapat
membayangkannya sebagai berikut. Suara hati memang merupakan kesadaran kita.
Dengan segala keanehan dan keterbatasan kita masing-masing. Dan oleh karena
itu, suara hati tidak mutlak benar. Namun karena penilaian kita sendiri yang
menganggap bahwa kita mutlak terikat olehnya. Karena penilaian bahwa kita
seakan-akan dihadapkan di depan takhta Allah. Seakan-akan Allah sebagai saksi.
Sehingga meskipun penilaian kita keliru, namun jelas jujur dan sungguh-sungguh.
Karena kita melakukannya dalam kesadaran bahwa Allah menyaksikannya.
Kedekatan Allah
dengan umatnya dapat digamabarkan dengan berbagai macam ilustrasi dan bentuk.
Yang jelas adalah pada dasarnya apa yang dibutuhkan manusia selama hidupnya
adalah bertopang pada sesuatu yang ia anggap ilahi, yakni Allah sendiri.
Walaupun dengan berbagai bentuk kepercayaan dan keyakinan tentang Allah itu
sendiri. Dalam ajaran Kekristenan kita tentu saja diajarkan bahwa yang menjadi
tujuan akhir manusia adalah kembali kepada penciptanya, Allahnya. Disanalah
manusia mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang dicapai setelah
kehidupan ini (bersama dengan Tuhan), untuk itu dalam ajaran Kekristenan
manusia diajarkan untuk tidak hanya berfokus pada apa yang ada di dunia tetapi
juga hidup sedemikian rupa sehingga sesudah hidup ini ia betul-betul bahagia.
Jadi, hidup ini menjadi suatu perjalanan ke tujuan manusia yang sebenarnya,
yakni kepada Tuhannya. Konsep inilah yang nantinya mengantarkan kita pada
pengertian tentang Manunggaling kawula
Gusti dalam pandangan hidup orang Jawa.
III. MANUNGGALING
KAWULA GUSTI
Mangunggaling
Kawula Gusti merupakan salah satu pandangan hidup orang jawa yang sangat
terkenal. Beberapa percaya konsep ini merupakan bagian yang paling sulit untuk
dicapai manusia; dan memang benar. Bagian ini merupakan bagian dimana seseorang
mencapai kesempurnaan dalam hidupnya. Kisah Dewaruci tetang perjalanan Bima
untuk mencari Air kehidup-an merupakan salah satu contoh bagaimana manusia
dapat bersatu dengan Tuhannya. Dari perkataan-perkataan Dewaruci kepada Bima
itu menjadi jelas, bahwa konsep tentang air kehidupan itu sendiri berkaitan
erat dengan menemukan jalan yang benar menuju kepada Allah. Dalam arti yang
demikian, maka air kehidupan itu berhubungan erat dengan arti kehidupan yang
sebenarnya. Dengan kata lain, mencari dan menemukan hidup yang sebenarnya, sama
halnya dengan mencari keadaan hidup di dalam persekutuan yang benar dengan Sang
Khalik.
Pencarian akan
Sang Khalik itu tentu saja tidak mudah, untuk itu manusia perlu pedoman.
Prinsip-prinsip hidup dalam etika Jawa banyak memberi jawaban yang mampu
mengantarkan manusia pada tataran kehidupan yang sempurna seperti yang dicari-cari
dalam manunggaling kawula Gusti.
Pertanyaannya adalah bagaimana menemukan Sang Khalik itu?? Dalam pembahasan
sebelumnya telah kita bahas mengenai paham dan kepercayaan masyarakat Jawa kuno
tentang animisme dan dinamisme. Namun hal ini tentu saja tidak cukup untuk
memberikan penjelasan tentang Sang Khalik itu. Kebanyakan orang timur memahami
dan mengenal Allah lewat kehidupan spiritualnya; entah itu lewat meditasi,
lewat alam sekitarnya, dll. Untuk itu, hal penting yang perlu kita ketahui adalah
bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk spiritual. Di dalam diri manusia
terdapat unsur Ilahi. Kita dilahirkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tuhan
adalah pengetahuan yang tercetak yang dapat terlupakan/disangkal, tetapi tidak
dapat dihapuskan.[7]
Sebelum manusia mencapai apa yang disebut dengan manunggaling kawula Gusti, manusia harus mengenal siapa dirinya.
Mengenal diri di sini penting dalam arti membebaskan manusia dari keterasingan
diri sendiri. Jiwa yang telah terbebas dari beban raga dan beban dunia adalah
jiwa yang telah menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Bahagia dan damai adalah ciri
suasana surga. Jadi, manusia yang sudah dapat berperilaku seperti ini pada
hakikatnya sudah menemukan surga. Sedangkan manusia yang masih terikat oleh
kebutuhan balas budi bukanlah manusia penghuni surga karena masih dikungkung
oleh orang lain dan menurutkan nafsu untuk menyenangkan orang lain. Hal ini
agak bersebrangan dengan etika jawa yang menyatakan bahwa tekad dan sikap balas
budi sebagaimana sikap Raden karena membela Kurawa melawan Pandawa serta sikap
ragu-ragu menjalani takdir termasuk sikap terpuji dalam etika jawa.[8]
Manusia untuk
dapat bersatu dengan Allahnya dan mencapai titik kebahagiaan sejati adalah
dengan menghadirkan Tuhan dalam jiwanya. Sepi
ing pamrih merupakan salah satu cara menuju manunggaling kawula Gusti. Dengan berusaha untuk semakin
membebaskan diri dari cengkraman kekuatan-kekuatan irrasional dari dalam diri
kita. Penguasaan oleh kekuatan-kekuatan itu dalam bahasa jawa disebut pamrih. Manusia tidak dapat menjalani
dirinya sendiri, dalam arti menguasai diri, kecuali jika ia menjadi sepi ing pamrih, bebas dari pamrih. Manusia yang bebas dari pamrih
tidak lagi perlu gelisah dan prihatin tentang dirinya sendiri, ia semakin bebas
dari nafsu ingin memiliki, ia mengontrol nafsu-nafsu dan emosi-emosinya. Karena
ia sepi ing pamrih, ia dapat semakin rame ing gawe, artinya sanggup untuk
memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang menantangnya.
Dalam tradisi
kerohanian barat pun apa yang disebut Sepi
ing pamrih juga dikenal dengan 3 upaya, yaitu :
1.
“recta
itentio” (maksud yang lurus), membuat kita sanggup untuk mengejar apa yang
memang kita rencanakan tanpa dibelokkan ke kiri atau ke kanan.
2. “ordination affectuum” (pengaturan
emosi-emosi), kita tidak membiarkan diri begitu saja digerakkan oleh
nafsu-nafsu, emosis, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan kita, melainkan
semua dorongan itu dapat diatur sehingga mendukung dan tidak mengacaukan sikap
tanggung jawab kita.
3. “purification cordis” (pemurnian hati),
dengan tujuan agar kita menjadi manusia baik, tanpa kepalsuan sampai
keakar-akar kepribadian. Bagaikan air dalam yang jernih sampai ke dasar. Segala
apa yang jahat, miring, kotor, nafsu-nafsu seperti dendam, dan iri tidak dapat
berkembang dalam kejernihan itu. Orang yang murni tidak dapat dikalahkan oleh
sesuatu apapun, jadi ia menjadi kuat. Sekaligus daya penilaiannya menjadi
jernih sehingga ia sanggup untuk melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan
lebih tepat daripada orang yang mata hatinya masih digelapkan oleh kepentingan
dan nafsu.[9]
Usaha mencapai
kesempurnaan hidup adalah ciri khas pada kehidupan manusia. Ia selalu menuju ke
arah itu, sadar atau tidak sadar. Hal ini disebabkan getaran jiwa manusia dan
getaran alam sama. Keduanya dikuasai oleh hukum alam yang sama, seperti yang
kecil dan lemah selalu dikuasai oleh yang besar dan kuat. Hal ini dilambangkan
seperti bersatunya jiwa manusia dan Allahnya.[10] Saya
rasa untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan manusia memang benar-benar
harus menemukan jati dirinya, kehidupannya yang paling dalam, yang bisa manusia
temukan ketika ia dapat mengendalikan diri dari berbagai hawa nafsunya, mampu
menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk, mampu hidup “suci” dan tidak
mudah diombang-ambingkan oleh berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran dunia. Dengan
mengetahui kehidupan manusia yang paling dalam ini, maka ia dapat mengetahui
apa yang harus ia perbuat dalam dunia ini dan apayang tidak. Demikianlah maka
keseluruhan hidup masyarakat Jawa selanjutnya akan diatur dan diarahkan oleh
kehidupan batinnya, yang pada hakekatnya bersifat Ilahi. Pada titik inilah
manusia dapat dikatakan bahwa ia telah mencapai tataran hidup manunggaling kawula Gusti. Inilah
kesempurnaan hidup itu, yang sering dilukiskan dengan lukisan curiga manjing
warangka; yang menggambarkan kesatuan antara Tuhan, manusia dan alam semesta.
Seno
Sastroamidjojo mengemukakan bahwa manusia dalam usahanya mencapai kesempurnaan
hidup baiklah dimulai dengan memperbaiki cara hidupnya di dunia. Hal ini perlu
diutamakan. Jangan hanya mengincar kehidupan akhirat saja, sedangkan nilai
kehidupan sehari-hari dilupakan begitu saja. Menurutnya, untuk mencapai kesempurnaan
hidup manusia perlu menyingkirkan nafsu jahat, sifat angkara murka, serta mampu
mengendalikan keinginan dagingnya. Dengan begitu manusia tersebut dalam keadaan
“Tata, Titi, Tentrem, Kartaraharja”
(tertib, tenang/tentram, makmur aman).[11]
Kebutuhan utama
yang harus terpenuhi dalam manunggaling
kawula Gusti adalah kebutuhannya terhadap Sang khalik. Dalam setiap agama
pasti juga menekankan hal yang sama. Manunggaling
kawula Gusti bila ditinjau dari pemahaman Kristen tentu saja lebih
mengarahkan kita pada penyerahan diri kepada Tuhan. Penyerah diri dalam Kristen
bukan dalam arti pasif, namun aktif. Penyerahan diri maksudnya selain berserah
manusia juga dituntut untuk tetap melakukan kewajibannya sebagai orang beriman.
Diyakini bahwa kemuliaan, kewibawaan, ketentraman, kebahagiaan, dan keselamatan
lahir bathin hanya dapat dicapai dengan menjaga hubungan yang selaras antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam semesta.
Tugas mulia manusia dalam kehidupan ini adalah membuat ketenangan diri dan
menjaga keserasian alam semesta. Seperti dalam kisah Dewaruci, bila manusia
telah mencapai tataran hidup ini, maka ia di sebutkan telah menemukan air
kehidupan itu sendiri.[12]
IV. REFLEKSI
Menurut saya
pandangan ini juga pasti sangat di cita-citakan bukan hanya oleh orang Jawa,
tapi semua orang; saat dimana ketika manusia dapat menyatu dengan Allahnya,
ketika hidupnya mengalami kebahagiaan yang sempurna bersama Allahnya.
Pandangan ini
sangat menarik, dimana secara tidak langsung juga memperlihatkan kesamaan
dengan ajaran filsafat yang menyatakan bahwa kebagaiaan merupakan tujuan akhir
manusia. Bagian yang memperlihatkan kesamaan tersebut adalah jalan menuju
tujuan akhir itu. Keduanya, baik ajaran filsafat mau pun falsafah Jawa tentang manunggaling kawula Gusti salah satunya ditempuh
dengan ketenangan hati yang di dapatkan dari kemampuan manusia untuk
mengendalikan keinginan-keinginan, serta hawa nafsu duniawi. Walaupun dengan
bentuk penghayatan yang berbeda satu sama lain, keduanya memiliki visi yang
sama yang mengantarkan manusia kepada hidup yang sempurna menurut pandangan
masing-masing ajaran.
Pemahaman ini
juga tentu saja berkembang secara global, sadar atau tidak setiap orang yang
menghayati upayanya dalam mencari kesempurnaan hidup secara tidak langsung
mengaplikasikan falsafah hidup orang Jawa ini. Contoh yang bisa kita temukan ada dalam ajaran
filsafat Plato dan Aristoteles, dimana keduanya menekankan keseimbangan batin
dan hidup yang terarah pada Sang Baik (Yang Ilahi) sebagai bagian dari
perwujudan hidup yang sempurna.
[1] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama. 2001,p. 85-90
[2] Bahan ajar kuliah Pdt.Yusak
Tridarmanto
[3] Zoetmulder, PJ. Manunggaling
Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. 1995,p. 1-4
[4]
Franz
Magnis-Suseno. 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai
Abad ke-19. Yogyakarta:Kanisius. 1997,p. 42
[5] Ibid,p. 24
[6]
Franz
Magnis-Suseno. Etika Dasar: masalah-masalah pokok filsafat
moral. Yogyakarta:Kanisius. 1998,p. 76-78
[7] Karasu, T.Bryan. Berdamai
dengan Hati. Jakarta: Prenada Media. 2003,p. 194
[8] Sujamto. Sabda Pandhita Ratu.
Semarang: Dahara Prize. 2000,p. 45
[9] Franz
Magnis-Suseno. Etika Dasar: masalah-masalah pokok filsafat
moral. Yogyakarta:Kanisius. 1998,p. 80-81
[10] Sastroamidjojo, Seno. Gagasan
tentang Hakekat Hidup dan Kehidupan Manusia. Jakarta: Bhratara. 1972,p. 49
[11] Sastroamidjojo,
Seno. Gagasan tentang Hakekat Hidup dan Kehidupan
Manusia. Jakarta: Bhratara. 1972,p. 52-53
[12] Bahan ajar kuliah Pdt.Yusak
Tridarmanto
No comments:
Post a Comment