Thursday, 19 December 2013

MANUNGGALING KAWULA GUSTI Sebagai Pandangaan Hidup Yang Meng-universal

      I. PENDAHULUAN
Sebelum orang Jawa mengenal Allah dalam agama, mereka punya cara mengungkapkan religiusitasnya sendiri. Pusat yang paling dalam dari religiositas ini ialah adanya kepercayaan dan penyembahan terhadap roh-roh dan kekuatan gaib yang ada di sekitar kehidupannya, dan yang lazim disebut dengan animisme di satu pihak, dan kepercayaan serta penyembahan terhadap adanya daya-daya di sekitarnya, atau yang lazim disebut dengan sebutan dynamisme. Mereka meyakini bahwa keselamatan hidupnya bergantung pada kekuatan gaib dan kekuatan roh-roh di sekitarnya itu, dan karena itulah mereka kemudian menyikapinya dengan mengadakan berbagai ritual, seperti acara slametan, ziarah makam, doa-doa, sejaji dan sebagainya.[1] Bentuk-bentuk kegiatan seperti ini dianggap lebih praktis dalam pelaksanaannya. Kepercayaan seperti ini tentu saja mendorong manusia sedapat mungkin memanfaatkan daya-daya tersebut  bagi kehidupan sehari-hari dalam rangka menuju ke kehidupan yang diidamkan. Oleh karena itu benda-benda yang dipercayai memiliki kekuatan dan daya yang besar akan sangat dihormati, bahkan disembah. Oleh karena sifatnya praktis, dan tidak membutuhkan perenungan yang mendalam, maka kepercayaan seperti ini sangat mudah dijiwai dan dipraktekkan oleh masyarakat yang umumnya tidak memiliki tingkat intelektual yang tinggi.[2]

Kedua pandangan diatas ini meletakkan dasarnya pada konsep ke-esa-an segala sesuatu dalam adanya. Konsep ini merupakan salah satu jawaban atas keseluruhan realitas. Salah satu implikasinya, Tuhan yang berpribadi disangkal secara konsisten. Hal ini jelas bertentangan dengan theisme. Seperti yang telah disinggung diatas, monisme merupakan istilah yang diciptakan bagi setiap usaha untuk menafsirkan realitas berdasarkan satu prinsip saja dengan menghilangkan keragaman dan perbedaan. Kejamakan selalu dikembalikan kepada kesatuan (prinsip tunggal). Allah melebur dalam dunia. Sedangkan pantheisme merupakan ajaran yang menyamakan Allah dengan jagad raya. Tuhan dan dunia bukan merupakan dua hakikat yang terpisah. Ketunggalan berpangkal pada Tuhan dan dunia terlebur dalam Tuhan.[3]

Bisa dikatakan bahwa gejala monisme dan pantheisme bertolak pada pengalaman mistik yang hidup dalam masyarakat serta kondisi masyarakatnya itu sendiri. Terkadang masyarakat akan lebih mudah memahami yang ilahi lewat kondisi sosial dan ekonominya sehari-hari. Mereka cenderung akan menggabungkan pengalaman mistik disekitarnya untuk pemenuhan hasrat jiwa (kerinduan) pada kehidupan yang lebih baik. Bagian ini bisa kita umpamakan: “kemiskinan/kondisi ekonomi masyarakat (yang selalu bersimbiosis dengan kelaparan dan keterasingan dalam pergaulan) mengandung konotasi bagian dari pengalaman mistik, yaitu perjalanan persatuan dengan yang ilahi dan pemenuhan hasrat jiwa akan penghayatan langsung terhadap kebenaran sejati”.

II. ALLAH SEBAGAI TUJUAN AKHIR MANUSIA
Sama seperti pemahaman diatas mengenai mistik dan hal-hal gaib. Hanya saja pada bagian ini manusia sudah mulai melihat apa yang ia cari, bahwa tujuan akhir manusia pasti adalah Tuhannya. Mereka mulai beralih dari konsep monisme dan pantheisme untuk menemukan jawaban yang lebih logis dan valid tentang kehidupan ini. Agama tentu saja menjadi bagian penting. Masuknya agama-agama di tanah Jawa mulai memperkenalkan masyarakat kepada suatu kepercayaan tentang sang Ilahi sebagai awal dan akhir.

Dalam konsep Manunggaling kawula Gusti tentu saja pasti ada gambaran kepada siapa manusia itu bersatu. Manusia bersatu dengan Tuhannya. Sehingga pada akhirnya tujuan akhir manusia adalah kepada Tuhannya. Ini merupakan cita-cita manusia. Untuk itu manusia perlu mengenal Tuhannya secara lebih personal (manusia – Tuhannya). Para filsuf alam di zaman Yunani kuno melihat Tuhan lewat penyataannya dalam alam semesta ciptaannya. Aristoteles juga dalam etikanya mengemukakan bahwa tujuan tindakan baik manusia adalah keseimbangan batin dan kedalaman dimensi perasaannya – katentremaning ati – dan tujuan itu tercapai lewat sikap yang tidak berputar pada dirinya sendiri (sepi ing pamrih) serta lewat partisipasi dalam kehidupan komunitas (rame ing gawe). Seperti bagi Aristoteles, puncak segala kegiatan manusia adalah theoria, begitu pula bagi orang Jawa semadi dan laku tapalah yang menghasilkan manunggaling kawula Gusti.[4] Serta Plato yang juga mengemukakan bahwa hidup manusia akan semakin bernilai bila semakin ia seluruhnya terarah kepada nilai dasar, Sang Baik. Sang Baik itu oleh Plato kadang-kadang juga disebut Yang Ilahi. Karena itu, manusia menurut Plato akan mencapai puncak eksistensinya apabila ia terarah kepada Yang Illahi. Secara tidak langsung hal ini juga dapat kita mengerti dalam konsep manunggaling kawula Gusti dalam falsafah hidup Jawa.[5]

Frans Magnis Suseno menggambarkan kedekatan Allah dan manusia lewat mendidik suara hati, dan untuk mencapai kematangan itu, kita harus berusaha dalam dimensi kognitif dan afektif. Dalam dimensi kognitif kita harus berusaha agar suara hati  memberikan penilaian-penilaiannya berdasarkan pengertian yang tepat. Atau dengan kata lain, kita harus mendidik suara hati.  Terkadang perasaan moral (superego) dan anggapan-anggapan sangat mempengaruhi suara hati kita. Namun dengan mendidik suara hati kita berusaha untuk membebaskan diri dari prasangka-prasangka itu, agar kita dapat mengambil jarak terhadapnya dan menilainya dengan kritis. Mendidik suara hati sama dengan terus-menerus bersikap terbuka, mau belajar, mau mengerti seluk beluk masalah-masalah yang kita hadapi, mau memahami pertimbangan-pertimbangan etis yang tepat dan seperlunya membaharui pandangan-pandangan kita. Usaha untuk mendidik suara hati menuntut keterbukaan kita dan keinginan kita untuk belajar. Dua syarat ini memang tidak hanya penting bagi pendidikan suara hati saja, melainkan bagi perkembangan kepribadian kita pada umumnya. Kita harus terbuka dalam arti bahwa  kita tak pernah seakan-akan sudah jadi, pasti, tak terubahkan, mati secara rohani dan intelektual.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana membedakan suara hati dan suara Tuhan? Pertama, karena suara hati dapat keliru, sedangkan Allah tidak dapat keliru, maka sudah jelaslah bahwa suara hati tidak begitu saja boleh disamakan dengan suara Allah. Suara hati dengan amat jelas mencerminkan segala pengertian dan prasangka kita sendiri, sehingga jelas merupakan suara hati kita sendiri. Tetapi dalam pertanyaan itu termuat sesuatu yang betul. Dalam suara hati memang ada unsur yang tidak dapat diterangkan dari realitas kita manusia saja, yaitu kemutlakannya. Suara hati memuat kesadaran bahwa apa yang disadarinya sebagai kewajiban mutlak harus kita lakukan. Dari mana unsur mutlak dalam kesadaran kita? Yang mutlak hanya satu, Allah. Jadi kemutlakan suara hati menunjuk pada Allah.[6]

Kita dapat membayangkannya sebagai berikut. Suara hati memang merupakan kesadaran kita. Dengan segala keanehan dan keterbatasan kita masing-masing. Dan oleh karena itu, suara hati tidak mutlak benar. Namun karena penilaian kita sendiri yang menganggap bahwa kita mutlak terikat olehnya. Karena penilaian bahwa kita seakan-akan dihadapkan di depan takhta Allah. Seakan-akan Allah sebagai saksi. Sehingga meskipun penilaian kita keliru, namun jelas jujur dan sungguh-sungguh. Karena kita melakukannya dalam kesadaran bahwa Allah menyaksikannya.
Kedekatan Allah dengan umatnya dapat digamabarkan dengan berbagai macam ilustrasi dan bentuk. Yang jelas adalah pada dasarnya apa yang dibutuhkan manusia selama hidupnya adalah bertopang pada sesuatu yang ia anggap ilahi, yakni Allah sendiri. Walaupun dengan berbagai bentuk kepercayaan dan keyakinan tentang Allah itu sendiri. Dalam ajaran Kekristenan kita tentu saja diajarkan bahwa yang menjadi tujuan akhir manusia adalah kembali kepada penciptanya, Allahnya. Disanalah manusia mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang dicapai setelah kehidupan ini (bersama dengan Tuhan), untuk itu dalam ajaran Kekristenan manusia diajarkan untuk tidak hanya berfokus pada apa yang ada di dunia tetapi juga hidup sedemikian rupa sehingga sesudah hidup ini ia betul-betul bahagia. Jadi, hidup ini menjadi suatu perjalanan ke tujuan manusia yang sebenarnya, yakni kepada Tuhannya. Konsep inilah yang nantinya mengantarkan kita pada pengertian tentang Manunggaling kawula Gusti dalam pandangan hidup orang Jawa.

      III. MANUNGGALING KAWULA GUSTI
Mangunggaling Kawula Gusti merupakan salah satu pandangan hidup orang jawa yang sangat terkenal. Beberapa percaya konsep ini merupakan bagian yang paling sulit untuk dicapai manusia; dan memang benar. Bagian ini merupakan bagian dimana seseorang mencapai kesempurnaan dalam hidupnya. Kisah Dewaruci tetang perjalanan Bima untuk mencari Air kehidup-an merupakan salah satu contoh bagaimana manusia dapat bersatu dengan Tuhannya. Dari perkataan-perkataan Dewaruci kepada Bima itu menjadi jelas, bahwa konsep tentang air kehidupan itu sendiri berkaitan erat dengan menemukan jalan yang benar menuju kepada Allah. Dalam arti yang demikian, maka air kehidupan itu berhubungan erat dengan arti kehidupan yang sebenarnya. Dengan kata lain, mencari dan menemukan hidup yang sebenarnya, sama halnya dengan mencari keadaan hidup di dalam persekutuan yang benar dengan Sang Khalik.

Pencarian akan Sang Khalik itu tentu saja tidak mudah, untuk itu manusia perlu pedoman. Prinsip-prinsip hidup dalam etika Jawa banyak memberi jawaban yang mampu mengantarkan manusia pada tataran kehidupan yang sempurna seperti yang dicari-cari dalam manunggaling kawula Gusti. Pertanyaannya adalah bagaimana menemukan Sang Khalik itu?? Dalam pembahasan sebelumnya telah kita bahas mengenai paham dan kepercayaan masyarakat Jawa kuno tentang animisme dan dinamisme. Namun hal ini tentu saja tidak cukup untuk memberikan penjelasan tentang Sang Khalik itu. Kebanyakan orang timur memahami dan mengenal Allah lewat kehidupan spiritualnya; entah itu lewat meditasi, lewat alam sekitarnya, dll. Untuk itu, hal penting yang perlu kita ketahui adalah bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk spiritual. Di dalam diri manusia terdapat unsur Ilahi. Kita dilahirkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tuhan adalah pengetahuan yang tercetak yang dapat terlupakan/disangkal, tetapi tidak dapat dihapuskan.[7] Sebelum manusia mencapai apa yang disebut dengan manunggaling kawula Gusti, manusia harus mengenal siapa dirinya. Mengenal diri di sini penting dalam arti membebaskan manusia dari keterasingan diri sendiri. Jiwa yang telah terbebas dari beban raga dan beban dunia adalah jiwa yang telah menemukan kebahagiaan dan kedamaian. Bahagia dan damai adalah ciri suasana surga. Jadi, manusia yang sudah dapat berperilaku seperti ini pada hakikatnya sudah menemukan surga. Sedangkan manusia yang masih terikat oleh kebutuhan balas budi bukanlah manusia penghuni surga karena masih dikungkung oleh orang lain dan menurutkan nafsu untuk menyenangkan orang lain. Hal ini agak bersebrangan dengan etika jawa yang menyatakan bahwa tekad dan sikap balas budi sebagaimana sikap Raden karena membela Kurawa melawan Pandawa serta sikap ragu-ragu menjalani takdir termasuk sikap terpuji dalam etika jawa.[8]

Manusia untuk dapat bersatu dengan Allahnya dan mencapai titik kebahagiaan sejati adalah dengan menghadirkan Tuhan dalam jiwanya. Sepi ing pamrih merupakan salah satu cara menuju manunggaling kawula Gusti. Dengan berusaha untuk semakin membebaskan diri dari cengkraman kekuatan-kekuatan irrasional dari dalam diri kita. Penguasaan oleh kekuatan-kekuatan itu dalam bahasa jawa disebut pamrih. Manusia tidak dapat menjalani dirinya sendiri, dalam arti menguasai diri, kecuali jika ia menjadi sepi ing pamrih, bebas dari pamrih. Manusia yang bebas dari pamrih tidak lagi perlu gelisah dan prihatin tentang dirinya sendiri, ia semakin bebas dari nafsu ingin memiliki, ia mengontrol nafsu-nafsu dan emosi-emosinya. Karena ia sepi ing pamrih, ia dapat semakin rame ing gawe, artinya sanggup untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang menantangnya.

Dalam tradisi kerohanian barat pun apa yang disebut Sepi ing pamrih juga dikenal dengan 3 upaya, yaitu :
1.      recta itentio” (maksud yang lurus), membuat kita sanggup untuk mengejar apa yang memang kita rencanakan tanpa dibelokkan ke kiri atau ke kanan.
2.      ordination affectuum” (pengaturan emosi-emosi), kita tidak membiarkan diri begitu saja digerakkan oleh nafsu-nafsu, emosis, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan kita, melainkan semua dorongan itu dapat diatur sehingga mendukung dan tidak mengacaukan sikap tanggung jawab kita.
3.      purification cordis” (pemurnian hati), dengan tujuan agar kita menjadi manusia baik, tanpa kepalsuan sampai keakar-akar kepribadian. Bagaikan air dalam yang jernih sampai ke dasar. Segala apa yang jahat, miring, kotor, nafsu-nafsu seperti dendam, dan iri tidak dapat berkembang dalam kejernihan itu. Orang yang murni tidak dapat dikalahkan oleh sesuatu apapun, jadi ia menjadi kuat. Sekaligus daya penilaiannya menjadi jernih sehingga ia sanggup untuk melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat daripada orang yang mata hatinya masih digelapkan oleh kepentingan dan nafsu.[9]

Usaha mencapai kesempurnaan hidup adalah ciri khas pada kehidupan manusia. Ia selalu menuju ke arah itu, sadar atau tidak sadar. Hal ini disebabkan getaran jiwa manusia dan getaran alam sama. Keduanya dikuasai oleh hukum alam yang sama, seperti yang kecil dan lemah selalu dikuasai oleh yang besar dan kuat. Hal ini dilambangkan seperti bersatunya jiwa manusia dan Allahnya.[10] Saya rasa untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan manusia memang benar-benar harus menemukan jati dirinya, kehidupannya yang paling dalam, yang bisa manusia temukan ketika ia dapat mengendalikan diri dari berbagai hawa nafsunya, mampu menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk, mampu hidup “suci” dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran dunia. Dengan mengetahui kehidupan manusia yang paling dalam ini, maka ia dapat mengetahui apa yang harus ia perbuat dalam dunia ini dan apayang tidak. Demikianlah maka keseluruhan hidup masyarakat Jawa selanjutnya akan diatur dan diarahkan oleh kehidupan batinnya, yang pada hakekatnya bersifat Ilahi. Pada titik inilah manusia dapat dikatakan bahwa ia telah mencapai tataran hidup manunggaling kawula Gusti. Inilah kesempurnaan hidup itu, yang sering dilukiskan dengan lukisan curiga manjing warangka; yang menggambarkan kesatuan antara Tuhan, manusia dan alam semesta.

Seno Sastroamidjojo mengemukakan bahwa manusia dalam usahanya mencapai kesempurnaan hidup baiklah dimulai dengan memperbaiki cara hidupnya di dunia. Hal ini perlu diutamakan. Jangan hanya mengincar kehidupan akhirat saja, sedangkan nilai kehidupan sehari-hari dilupakan begitu saja. Menurutnya, untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia perlu menyingkirkan nafsu jahat, sifat angkara murka, serta mampu mengendalikan keinginan dagingnya. Dengan begitu manusia tersebut dalam keadaan “Tata, Titi, Tentrem, Kartaraharja” (tertib, tenang/tentram, makmur aman).[11]

Kebutuhan utama yang harus terpenuhi dalam manunggaling kawula Gusti adalah kebutuhannya terhadap Sang khalik. Dalam setiap agama pasti juga menekankan hal yang sama. Manunggaling kawula Gusti bila ditinjau dari pemahaman Kristen tentu saja lebih mengarahkan kita pada penyerahan diri kepada Tuhan. Penyerah diri dalam Kristen bukan dalam arti pasif, namun aktif. Penyerahan diri maksudnya selain berserah manusia juga dituntut untuk tetap melakukan kewajibannya sebagai orang beriman. Diyakini bahwa kemuliaan, kewibawaan, ketentraman, kebahagiaan, dan keselamatan lahir bathin hanya dapat dicapai dengan menjaga hubungan yang selaras antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam semesta. Tugas mulia manusia dalam kehidupan ini adalah membuat ketenangan diri dan menjaga keserasian alam semesta. Seperti dalam kisah Dewaruci, bila manusia telah mencapai tataran hidup ini, maka ia di sebutkan telah menemukan air kehidupan itu sendiri.[12]

      IV. REFLEKSI
Menurut saya pandangan ini juga pasti sangat di cita-citakan bukan hanya oleh orang Jawa, tapi semua orang; saat dimana ketika manusia dapat menyatu dengan Allahnya, ketika hidupnya mengalami kebahagiaan yang sempurna bersama Allahnya.

Pandangan ini sangat menarik, dimana secara tidak langsung juga memperlihatkan kesamaan dengan ajaran filsafat yang menyatakan bahwa kebagaiaan merupakan tujuan akhir manusia. Bagian yang memperlihatkan kesamaan tersebut adalah jalan menuju tujuan akhir itu. Keduanya, baik ajaran filsafat mau pun falsafah Jawa tentang manunggaling kawula Gusti salah satunya ditempuh dengan ketenangan hati yang di dapatkan dari kemampuan manusia untuk mengendalikan keinginan-keinginan, serta hawa nafsu duniawi. Walaupun dengan bentuk penghayatan yang berbeda satu sama lain, keduanya memiliki visi yang sama yang mengantarkan manusia kepada hidup yang sempurna menurut pandangan masing-masing ajaran.

Pemahaman ini juga tentu saja berkembang secara global, sadar atau tidak setiap orang yang menghayati upayanya dalam mencari kesempurnaan hidup secara tidak langsung mengaplikasikan falsafah hidup orang Jawa ini.  Contoh yang bisa kita temukan ada dalam ajaran filsafat Plato dan Aristoteles, dimana keduanya menekankan keseimbangan batin dan hidup yang terarah pada Sang Baik (Yang Ilahi) sebagai bagian dari perwujudan hidup yang sempurna. 




[1] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2001,p. 85-90
[2] Bahan ajar kuliah Pdt.Yusak Tridarmanto
[3] Zoetmulder, PJ. Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1995,p. 1-4
[4] Franz Magnis-Suseno. 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta:Kanisius. 1997,p. 42
[5] Ibid,p. 24
[6] Franz Magnis-Suseno. Etika Dasar: masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta:Kanisius. 1998,p. 76-78

[7] Karasu, T.Bryan. Berdamai dengan Hati. Jakarta: Prenada Media. 2003,p. 194
[8] Sujamto. Sabda Pandhita Ratu. Semarang: Dahara Prize. 2000,p. 45
[9] Franz Magnis-Suseno. Etika Dasar: masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta:Kanisius. 1998,p. 80-81
[10] Sastroamidjojo, Seno. Gagasan tentang Hakekat Hidup dan Kehidupan Manusia. Jakarta: Bhratara. 1972,p. 49
[11] Sastroamidjojo, Seno. Gagasan tentang Hakekat Hidup dan Kehidupan Manusia. Jakarta: Bhratara. 1972,p. 52-53
[12] Bahan ajar kuliah Pdt.Yusak Tridarmanto

No comments:

Post a Comment