I.
PENDAHULUAN
Salah satu masalah yang dihadapi
oleh Negara yang mayoritas penduduk muslim pada awal pembentukannya adalah
bagaimana mendudukkan agama dalam kehidupan bernegara. Selain Indonesia,
Negara-negara di Timur Tengah, Afrika Utara, maupun Asia Selatan juga mengalami
problem yang sama. Salah satu faktor penting dalam kaitan ini adalah posisi
Islam dalam Negara. Terjadinya simpang pemahaman umat Islam dalam persoalan
inilah yang banyak melahirkan gesekan antara mereka yang menginginkan Negara
Islam, Islamisasi Negara, maupun Negara sekuler.
Di Indonesia sendiri, Negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, muncul keinginan mendirikan Negara Islam.
Islam dijadikan dasar Negara dan menuju berdirinya Negara Islam. Hal ini
berlangsung (1) dengan terjadinya perdebatan antara para founding fathers dalam sidang BPUPKI; (2) Selain itu sebuah
kompromi politik 22 juni 1945, dengan lahirnya Piagam Jakarta yang lalu
dicantumkan dalam naskah resmi UUD, namun tidak jadi karena protes dari
Indonesia Timur; (3) perdebatan dalam
sidang Konstituante tentang Negara Islam atau Negara Pancasila, hingga akhirnya
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Majelis tertinggi ini dibubarkan; serta (4)
pemberantasan DI TII, PROI dan Permesta juga merupakan usaha ke arah
terbentuknya Negara Islam. Hal ini menguat seiring dengan jatuhnya rezim Orde
Baru. Berikut
adalah pembahasan saya mengenai isu-isu yang berkembang di kalangan masyarakat
Indonesia mengenai NII (Negara Islam Indonesia), dan beberapa
pandangan-pandangan yang membantu menjelaskan issue ini.
II.
ISUE
NII (NEGARA ISLAM INDONESIA)
Tidak bisa dipungkiri bahwa
beberapa waktu yang lalu, bahkan hingga saat ini Isue mengenai NII (Negara
Islam Indonesia) masih cukup marak di perbincangkan di kalangan masyarakat.
Baik di kalangan masyarakat muslim mau pun penganut agama lain di Indonesia. Di
kalangan masyarakat Kristen sendiri issue tentang NII ini cukup meresahkan
masyarakat awam, takut kalau-kalau saja Indonesia benar-benar akan menjadi
Negara Islam sehingga muncul berbagai macam komentar lantas mau dikemanakan
masyarakat lain yang tidak beragama Islam?
Seperti yang telah dijelaskan di
atas, ide tentang Negara Islam di Indonesia pada mulanya sudah banyak di bahas
bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dimulai ketika Jepang
menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu dekat dengan mendirikan
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang
membahas bentuk dasar Negara dan bentuk pemerintahan. Perdebatan berlangsung
ketika para the founding fathers yang
tergabung dalam BPUPKI sedang membahas bentuk dasar Negara dan bentuk
pemerintahan. Dari 62 anggota BPUPKI, terbagi dua arus besar, golongan
nasionalis sekuler yakni kelompok yang menentang kaitan antara Islam dan Negara
dalam bentuk apa pun serta nasionalis Islami yakni kelompok yang mengkehendaki
adanya kaitan formal antara Islam dan Negara (baik dalam bentuk Negara Islam,
Islam sebagai agama Negara, atau Negara yang memberlakukan ajaran Islam).
Namun, dari jumlah itu, hanya 25% saja yang dianggap mewakili kepentingan
Islam, selebihnya mewakili pandangan nasionalisme sekuler yang dalam hal ini
enggan membawa agama dalam masalah kenegaraan.
Setelah melalui beberapa proses
yang panjang, KH. A. Wahid Hasyim bersama Abikusno Tjokrosujosi (Sarekat
Islam), Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), Agus Salim (PII) kemudian mempelopori
disahkannya Piagam Jakarta. Kempat orang ini secara ideologis bersebrangan
dengan kelompok nasionalis sekuler seperti Soekarno, M.Hatta, M.Yamin,
A.Soebardjo, serta AA.Maramis yaneg keberatan dengan tujuh kata yang berbunyi “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” pada alinea keempat pembukaan UUD itu.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan. Kata kerja “menjalankan” kemudian
menjadi permasalahan, apakah kemudian Piagam Jakarta menuntut Negara untuk
mengawasi pelaksanaan syariat? Atau Negara harus membuat undang-undang
tersendiri bagi mereka yang beragama Islam? Hal ini tentu saja tidak sesuai
dengan penganut agama non-Islam masyarakat Indonesia.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI
menyetujui Piagam Jakarta yang merumuskan sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”, kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam
politik dalam kepentingan saat itu. namun sayangnya umat Islam terpaksa harus
kecewa karena dalam UUD 1945 yang di sahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata
telah dihapuskan Piagam Jakarta tersebut.
Diterimanya Pancasila sebagai asas
dan ideologi Negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus
menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan
lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangankan ideologi Islam sebagai dasar
Negara dalam pembukaan UUD 1945 harus mengalah dengan Pancasila. Keinginan
keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuangan mayoritas
(dilihat dari mayoritas agama di Indonesia) kemerdekaan, Pancasila sendiri menyimpan
dua faktor yang sangat bertentangan.
Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri; kedua, tentang makna penting
Pancasila jika dibanding dengan agama.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu
bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang
mewajibkan umat Islam menjalankan syariat Islam dirasa (di kawasan Indonesia
Timur Indonesia) merupakan sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.
Maka demi kesatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan
kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak
kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Tidak berhenti di situ saja, masih
banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk
mempertahankan agar Indonesia dapat menjadi Negara Islam. Dalam sidang untuk
menguraikan dasar Negara dalam Konstituante juga terjadi perdebatan. Mohamad
Natsir menegaskan bahwa hanya dua alternative yang dpat dijadikan dasar Negara
yaitu ideologi Islam atau ideologi sekuler, dengan sebuah kaedah ia menegasakan
bahwa Islam dalam kaitannya dengan ibadah semua dilarang kecuali yang
diperintahkan, sedangkan yang terkait dengan kehidupan dunia semua dibolehkan
kecuali yang dilarang. Dengan kata lain, ia mau menjelaskan bahwa Islam sebagai
azas Negara buknlah aksi pembangkangan Negara, tetapi lebih pada penghidupan
demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada siding pleno konstituante ia
mengkehendaki Negara Indonesia ini berazaskan ideology Islam. “Negara demokrasi
berdasarkan Islam”. Keinginannya ini bukan semata-mata karena Islam agama
mayoritas di Indonesia melainkan ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan
kehidupan bermasyarakat itu mempunyai sifat yang sempurna dalam menjamin
kerukunan beragama dan bernegara. Kelompok Islam dalam majelis Konstituante
juga menegaskan bahwa Pancasila tidak dapat dibandingkan dengan Islam.
Pancasila adalah produk manusia sedangkan Islam adalah ciptaan Allah. Achmad
Zaini (NU) menegaskan bahwa Islam menjadi dasar Negara bukan hanya karena
fanatisme, melainkan karena tuntutan dan kewajiban terhadap penegakan hukum
Allah. Hal
ini tentu saja berbeda dengan pandangan kita tentang Pancasila. Ideologi
Pancasila berasal dari kebudayaan dan masyarakat Indonesia yang beraneka ragam.
Dengan kata lain, untuk itu Pancasila harus menjadi dasar Negara Repulik
Indonesia, kalau bukan Pancasila yang menjadi dasar Negara berarti perjuangan
persatuan bangsa Indonesia gagal, dan akibatnya perpecahan bangsa yang terjadi.
Perjuangan orang-orang atau
kelompok tertentu untuk merealisasikan NII (Negara Islam Indonesia) di masa
lampau, mau tidak mau tetap melekat pada kelompok tersebut (mungkin hingga saat
ini). Tidak bisa dipungkiri bahwa keinginan tersebut masih berusaha diperjuangan
oleh beberapa kalangan tertentu baik secara terang-terangan ataupun dengan
kedok-kedok tertentu. Apalagi melihat issue ini kembali menyeruak akhir-akhir
ini disebabkan karena kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang tidak
merata; kemiskinan dimana-mana, pembangunan yang tersendat, kriminalitas
merajalela, dll. Hanya saja, jika Negara Islam diciptakan di Indonesia maka
sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama dan
yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama lain sebaik
mungkin, kelompok kecil ini akan merasakan keterlibatan dalam Negara, karena
cita-cita Negara Islam tidak sesuai dengan Negara kesatuan yang diharapkan
bersama.
Namun, ada satu hal menarik yang
disampaikan oleh Moh. Hatta. Menurutnya, sila-sila yang terdapat dalam
Pancasila sudah cukup jelas menggambarkan Negara Indonesia itu; sila Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Di
dalamnya terdapat prinsip spiritual dan etik yang memberikan bimbingan kepada
semua rakyat bangsa Indonesia. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
merupakan kelanjutan dari sila pertama dalam praktek. Demikian pula halnya
dengan sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima, Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia menjadi tujuan terakhir dari ideologi Pancasila.
Dengan berpegang teguh pada filsafat ini, diharapkan agar pemerintah Negara
Indonesia jangan sampai menyimpang dari jalan lurus bagi Negara dan masyarakat,
ketertiban dunia dan persaudaraan antarbangsa.
III.
REFLEKSI
Perbedaan agama (religius) dan
politik dalam komunitas muslim tampak jelas dalam wacana Pancasila sebagai
dasar Negara. Semenjak awal kemerdekaan hingga menjelang runtuhnya Orde Baru
dinamika “Islam vs Pancasila” telah mempengaruhi sebagian besar dan wacana
pemikiran politik Indonesia. Suatu hal yang wajar sepenjang sejarah kemerdekaan
Indonesia wacana relasi Islam dan Negara mendapatkan komentar dan perdebatan di
sana-sini, hal ini karena banyak pemikiran Islam yang bersifat subjektif dalam memahami
isi Al-qur’an.
Radikalisme sangat berkaitan dengan
fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar
agama. Fundamentalisme adalah semacam ideologi yang menjadikan agama sebagai
pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Fundamentalisme akan diiringi
oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali kepada agama
dihalangi oleh situasi politik yang mengelilingi masyarakat, serta tidak
mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi
syariat islam tanpa keharusan mendirikan Negara Islam, namun ada pula yang
memperjuangkan berdrinya negra Islama di Indonesia, di samping ada yang
memperjuangkan berdirinya kekhalifaan Islam.
Sebagian rakyat Indonesia
berkeinginan menghidupkan syariah Islam dengan mewujudkan Negara Indonesia
sebagai Negara Islam, tetapi dengan lahirnya Republik Indonesia harus disadari
bahwa yang terpenting di dalamnya adalah baik Islam maupun Kristen, serta
agama-agama lainnya tetap bisa menjalankan kewajiban beragamanya secara bebas.
Dicantumkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dasar demokrasi (kedaulatan
rakyat) dalam Pancasila memberikan pegangan kepada bangsa Indonesia untuk memberikan
kebebasan dan kemerdekaan suatu golongan kepada golongan lain. Pertemuan dua
prinsip ini diharapkan memberi adanya kompromi, keinginan penganut Muslim untuk
menghidupkan syariat agamanya diberi jalan, tetapi prinsip demokrasi juga
dipertahankan agar keinginan tadi tidak mendesak dan merugikan golongan lain
yang seharusnya juga harus diberi kebebasan dalam menjalankan kewajiban
agamanya.