Wednesday, 2 April 2014

INDONESIA SEBAGAI NEGARA ISLAM??? Radikalisme Memperjuangkan Indonesia sebagai Negara Islam

I.       PENDAHULUAN

Salah satu masalah yang dihadapi oleh Negara yang mayoritas penduduk muslim pada awal pembentukannya adalah bagaimana mendudukkan agama dalam kehidupan bernegara. Selain Indonesia, Negara-negara di Timur Tengah, Afrika Utara, maupun Asia Selatan juga mengalami problem yang sama. Salah satu faktor penting dalam kaitan ini adalah posisi Islam dalam Negara. Terjadinya simpang pemahaman umat Islam dalam persoalan inilah yang banyak melahirkan gesekan antara mereka yang menginginkan Negara Islam, Islamisasi Negara, maupun Negara sekuler.

Di Indonesia sendiri, Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, muncul keinginan mendirikan Negara Islam. Islam dijadikan dasar Negara dan menuju berdirinya Negara Islam. Hal ini berlangsung (1) dengan terjadinya perdebatan antara para founding fathers dalam sidang BPUPKI; (2) Selain itu sebuah kompromi politik 22 juni 1945, dengan lahirnya Piagam Jakarta yang lalu dicantumkan dalam naskah resmi UUD, namun tidak jadi karena protes dari Indonesia Timur;  (3) perdebatan dalam sidang Konstituante tentang Negara Islam atau Negara Pancasila, hingga akhirnya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Majelis tertinggi ini dibubarkan; serta (4) pemberantasan DI TII, PROI dan Permesta juga merupakan usaha ke arah terbentuknya Negara Islam. Hal ini menguat seiring dengan jatuhnya rezim Orde Baru.[1] Berikut adalah pembahasan saya mengenai isu-isu yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia mengenai NII (Negara Islam Indonesia), dan beberapa pandangan-pandangan yang membantu menjelaskan issue ini.

II.    ISUE NII (NEGARA ISLAM INDONESIA)
Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa waktu yang lalu, bahkan hingga saat ini Isue mengenai NII (Negara Islam Indonesia) masih cukup marak di perbincangkan di kalangan masyarakat. Baik di kalangan masyarakat muslim mau pun penganut agama lain di Indonesia. Di kalangan masyarakat Kristen sendiri issue tentang NII ini cukup meresahkan masyarakat awam, takut kalau-kalau saja Indonesia benar-benar akan menjadi Negara Islam sehingga muncul berbagai macam komentar lantas mau dikemanakan masyarakat lain yang tidak beragama Islam?

Seperti yang telah dijelaskan di atas, ide tentang Negara Islam di Indonesia pada mulanya sudah banyak di bahas bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dimulai ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu dekat dengan mendirikan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang membahas bentuk dasar Negara dan bentuk pemerintahan. Perdebatan berlangsung ketika para the founding fathers yang tergabung dalam BPUPKI sedang membahas bentuk dasar Negara dan bentuk pemerintahan. Dari 62 anggota BPUPKI, terbagi dua arus besar, golongan nasionalis sekuler yakni kelompok yang menentang kaitan antara Islam dan Negara dalam bentuk apa pun serta nasionalis Islami yakni kelompok yang mengkehendaki adanya kaitan formal antara Islam dan Negara (baik dalam bentuk Negara Islam, Islam sebagai agama Negara, atau Negara yang memberlakukan ajaran Islam). Namun, dari jumlah itu, hanya 25% saja yang dianggap mewakili kepentingan Islam, selebihnya mewakili pandangan nasionalisme sekuler yang dalam hal ini enggan membawa agama dalam masalah kenegaraan.[3]

Setelah melalui beberapa proses yang panjang, KH. A. Wahid Hasyim bersama Abikusno Tjokrosujosi (Sarekat Islam), Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), Agus Salim (PII) kemudian mempelopori disahkannya Piagam Jakarta. Kempat orang ini secara ideologis bersebrangan dengan kelompok nasionalis sekuler seperti Soekarno, M.Hatta, M.Yamin, A.Soebardjo, serta AA.Maramis yaneg keberatan dengan tujuh kata yang berbunyi “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada alinea keempat pembukaan UUD itu.[4] Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan. Kata kerja “menjalankan” kemudian menjadi permasalahan, apakah kemudian Piagam Jakarta menuntut Negara untuk mengawasi pelaksanaan syariat? Atau Negara harus membuat undang-undang tersendiri bagi mereka yang beragama Islam? Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan penganut agama non-Islam masyarakat Indonesia.

Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang merumuskan sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingan saat itu. namun sayangnya umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang di sahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah dihapuskan Piagam Jakarta tersebut.

Diterimanya Pancasila sebagai asas dan ideologi Negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangankan ideologi Islam sebagai dasar Negara dalam pembukaan UUD 1945 harus mengalah dengan Pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuangan mayoritas (dilihat dari mayoritas agama di Indonesia) kemerdekaan, Pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat  bertentangan. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri; kedua, tentang makna penting Pancasila jika dibanding dengan agama.  Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan syariat Islam dirasa (di kawasan Indonesia Timur Indonesia) merupakan sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi kesatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.[5]

Tidak berhenti di situ saja, masih banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan agar Indonesia dapat menjadi Negara Islam. Dalam sidang untuk menguraikan dasar Negara dalam Konstituante juga terjadi perdebatan. Mohamad Natsir menegaskan bahwa hanya dua alternative yang dpat dijadikan dasar Negara yaitu ideologi Islam atau ideologi sekuler, dengan sebuah kaedah ia menegasakan bahwa Islam dalam kaitannya dengan ibadah semua dilarang kecuali yang diperintahkan, sedangkan yang terkait dengan kehidupan dunia semua dibolehkan kecuali yang dilarang. Dengan kata lain, ia mau menjelaskan bahwa Islam sebagai azas Negara buknlah aksi pembangkangan Negara, tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada siding pleno konstituante ia mengkehendaki Negara Indonesia ini berazaskan ideology Islam. “Negara demokrasi berdasarkan Islam”. Keinginannya ini bukan semata-mata karena Islam agama mayoritas di Indonesia melainkan ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat itu mempunyai sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara. Kelompok Islam dalam majelis Konstituante juga menegaskan bahwa Pancasila tidak dapat dibandingkan dengan Islam. Pancasila adalah produk manusia sedangkan Islam adalah ciptaan Allah. Achmad Zaini (NU) menegaskan bahwa Islam menjadi dasar Negara bukan hanya karena fanatisme, melainkan karena tuntutan dan kewajiban terhadap penegakan hukum Allah.[6] Hal ini tentu saja berbeda dengan pandangan kita tentang Pancasila. Ideologi Pancasila berasal dari kebudayaan dan masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Dengan kata lain, untuk itu Pancasila harus menjadi dasar Negara Repulik Indonesia, kalau bukan Pancasila yang menjadi dasar Negara berarti perjuangan persatuan bangsa Indonesia gagal, dan akibatnya perpecahan bangsa yang terjadi.

Perjuangan orang-orang atau kelompok tertentu untuk merealisasikan NII (Negara Islam Indonesia) di masa lampau, mau tidak mau tetap melekat pada kelompok tersebut (mungkin hingga saat ini). Tidak bisa dipungkiri bahwa keinginan tersebut masih berusaha diperjuangan oleh beberapa kalangan tertentu baik secara terang-terangan ataupun dengan kedok-kedok tertentu. Apalagi melihat issue ini kembali menyeruak akhir-akhir ini disebabkan karena kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang tidak merata; kemiskinan dimana-mana, pembangunan yang tersendat, kriminalitas merajalela, dll. Hanya saja, jika Negara Islam diciptakan di Indonesia maka sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini akan merasakan keterlibatan dalam Negara, karena cita-cita Negara Islam tidak sesuai dengan Negara kesatuan yang diharapkan bersama.

Namun, ada satu hal menarik yang disampaikan oleh Moh. Hatta. Menurutnya, sila-sila yang terdapat dalam Pancasila sudah cukup jelas menggambarkan Negara Indonesia itu; sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Di dalamnya terdapat prinsip spiritual dan etik yang memberikan bimbingan kepada semua rakyat bangsa Indonesia. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan kelanjutan dari sila pertama dalam praktek. Demikian pula halnya dengan sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi tujuan terakhir dari ideologi Pancasila. Dengan berpegang teguh pada filsafat ini, diharapkan agar pemerintah Negara Indonesia jangan sampai menyimpang dari jalan lurus bagi Negara dan masyarakat, ketertiban dunia dan persaudaraan antarbangsa.[7]

III.       REFLEKSI

Perbedaan agama (religius) dan politik dalam komunitas muslim tampak jelas dalam wacana Pancasila sebagai dasar Negara. Semenjak awal kemerdekaan hingga menjelang runtuhnya Orde Baru dinamika “Islam vs Pancasila” telah mempengaruhi sebagian besar dan wacana pemikiran politik Indonesia. Suatu hal yang wajar sepenjang sejarah kemerdekaan Indonesia wacana relasi Islam dan Negara mendapatkan komentar dan perdebatan di sana-sini, hal ini karena banyak pemikiran Islam yang bersifat subjektif dalam memahami isi Al-qur’an.

Radikalisme sangat berkaitan dengan fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar agama. Fundamentalisme adalah semacam ideologi yang menjadikan agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali kepada agama dihalangi oleh situasi politik yang mengelilingi masyarakat, serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syariat islam tanpa keharusan mendirikan Negara Islam, namun ada pula yang memperjuangkan berdrinya negra Islama di Indonesia, di samping ada yang memperjuangkan berdirinya kekhalifaan Islam.

Sebagian rakyat Indonesia berkeinginan menghidupkan syariah Islam dengan mewujudkan Negara Indonesia sebagai Negara Islam, tetapi dengan lahirnya Republik Indonesia harus disadari bahwa yang terpenting di dalamnya adalah baik Islam maupun Kristen, serta agama-agama lainnya tetap bisa menjalankan kewajiban beragamanya secara bebas. Dicantumkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dasar demokrasi (kedaulatan rakyat) dalam Pancasila memberikan pegangan kepada bangsa Indonesia untuk memberikan kebebasan dan kemerdekaan suatu golongan kepada golongan lain. Pertemuan dua prinsip ini diharapkan memberi adanya kompromi, keinginan penganut Muslim untuk menghidupkan syariat agamanya diberi jalan, tetapi prinsip demokrasi juga dipertahankan agar keinginan tadi tidak mendesak dan merugikan golongan lain yang seharusnya juga harus diberi kebebasan dalam menjalankan kewajiban agamanya.




[1] Soetapo, Djaka. Diktat Kuliah: Islam di Indonesia, p. 11

[2] Soetapo, Djaka. Diktat Kuliah: Islam di Indonesia, p. 11
[3] Prawoto Mangkusasmito. Perumusan Historis Rumusan Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi. Jakarta: Hudaya. 1970, p. 12
Lihat juga Bahtiar Effendi. Teologi Baru Politik Islam. Yogyakarta. Galang Press. 2001, p. vii
[4] B.J.Boland. Pergumulan Islam di Indonesia 1945 – 1972, p. 29
[5] Hatta,Muhammad. Memoir. Jakarta: Tintamas. 1978,p. 452-458
[6] Adnan Buyung Nasution. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: studi sosio-legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta:Grafiti Press. 1995, p.66

[7] Moh.Hatta. Pengertian Pancasila. Jakarta:Idayu Press. 1977,p. 17-18

No comments:

Post a Comment