PENDAHULUAN
Filsafat eksistensialisme pertama kali diperkenalkan
oleh Kierkegaard yang pada masanya sangat menentang semua pandangan yang justru
mengekang individu. Kierkegaard hendak mengembalikan nilai-nilai individual
manusia. Baginya, yang terpenting adalah eksistensi manusia personal. Bagi Kierkegaard,
eksistensi menunjuk pada cara berada yang membedakannya dari cara berada
makhluk-makhluk lain. Eksistensi berarti cara berada manusia yang otentik dan
meliputi totalitas diri sendiri dalam suatu pendirian atau sikap yang serius
tentang dirinya. Berada disini merupakan suatu tindakan yang menunjukkan
keautentikan diri individu ketika ia memilih dan menentukan apa yang akan ia
lakukan. Semuanya ini mengarahkan individu untuk menjadi semakin kongkret, yakni
menjadi diri sendiri. Menjadi diri sendiri disini maksudnya adalah menjadi
lebih tegas sebagai seorang individu yang tidak sekadar tenggelam dalam suatu
kelompok atau kerumunan. Karena kelompok atau kerumunan bersifat abstrak dan
menyembunyikan identitas sejati seorang. Jadi, dapat ditegaskan bahwa menjadi
diri sendiri berarti mentransendenkan universalitas demi individualitas.
Kierkegaard
menerangkan eksistensi dalam tiga tahap, yakni tahap estetis, tahap etis dan
tahap religius. Eksistensi tahap estetis
yakni bagaimana individu menghayati
kehidupannya tanpa menghiraukan tindakan-tindakan yang ia lakukan, entah itu baik
atau buruk. Motivasi terdalam bagi seorang manusia estetis adalah keinginan
untuk menikmati kesenangan-kesenangan inderawi dan perasaan-perasaannya. Hidup
manusia dalam tahap ini ditata menurut dorongan emosi yang bersifat langsung
dan spontan. Bagi manusia etis,
norma-norma moral merupakan pedoman menuju suatu kehidupan yang ideal, yaitu
keteraturan dalam hidup bersama. Di sini, pertimbangan rasio memainkan peranan
penting dalam memberikan bentuk dan konsistensi pada kehidupan. Obyektivitas
nilai moral universal menjadi standar bagi manusia etis untuk bertindak. Di
sini, manusia etis berada di persimpangan jalan di mana ia harus memilih, atau
tetap bertahan dalam tuntutan normatif atau memutuskan untuk beralih ke tahap
yang lebih tinggi, yakni tahap religius. Karakteristik eksistensi tahap religius ditandai dengan suatu loncatan iman, artinya individu
menyadari keterbatasannya dan menerima kehadiran Allah sebagai jaminan rasa
aman dan pengharapan (penyerahan diri kepada Allah). Pada tahap ini, iman
manusia berperan utama dan rasio dikesampingkan. Manusia religius mengambil
keputusan mengenai sikap dan tindakannya tidak berdasarkan keinginan inderawi,
tidak pula menurut norma-norma moral yang berlaku tetapi menurut imannya akan
Allah. Artinya, pilihan-pilihan dan tindakannya diputuskan dalam hubungan
personalnya dengan Allah yang ditemukan dalam kedalaman dirinya. Hubungan
tersebut amat personal sehingga tidak dapat dimasuki oleh orang atau instansi
luar manapun. Dengan kata lain, kehendak Allah menjadi pedoman bagi manusia
religius dalam menghidupi atau menjalankan pengalaman eksistensialnya.[1]
INDIVIDU SEBAGAI PEMERAN UTAMA
Untuk
bereksistensi, individu harus melibatkan kualitas dalam dirinya yang tidak lain
adalah partisipasi secara sadar dalam bertindak. Kesadaran yang menggerakkan
manusia untuk bertindak itulah yang membuat manusia bereksistensi. Dari sini
kita dapat mengandaikan individu yang bereksistensi sebagai pemain (actor)
dan bukan penonton (spectator) dalam pentas kehidupannya; Ia dianggap
sebagai pemeran penting atau pemeran utama dalam pentas kehidupannya. Setiap
individu harus tampil sungguh-sungguh sebagai seorang actor yang bebas
memilih makna hidupnya dan terlibat dalam setiap peran yang dimainkan.
Eksistensialime
mengajarkan individu untuk menjadi dirinya yang utuh. Anda akan jadi apa dimasa
depan, itu tergantung pilihan-pilihan Anda saat ini. Dalam hubungannya dengan
Pendidikan Kristiani saya rasa hal ini juga sudah disinggung dalam materi SCP,
dimana individu yang merupakan actor
ini adalah subjek (peserta didik) yang berhak memilih dan punya kebebasan dalam
menentukan apa yang akan ia lakukan dalam menjalani kehidupannya (ada dalam G5,
keputusan untuk hidup sesuai Iman Kristen). Dengan kata lain, disini
menunjukkan bahwa manusia hadir sebagai pelaku dalam sejarah hidupnya yang
tercermin dalam tindakannya didunia.
Untuk lebih
dalam melihat sisi Pendidikan Kristianinya, perlu kita perhatikan bahwa
individu disini bergerak sebagai agen Kristus dalam kehidupan sehari-harinya
dimana dengan pilihan-pilihan yang ia ambil diharapkan dapat menjadikan dia jauh
lebih baik dari sebelumnya. Untuk itu, setiap individu dituntut keberanian
untuk membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan fundamental yang memberi
arti bagi hidupnya. Disini manusia disadarkan kembali akan keberadaan dirinya
sebagai penentu nilai dan pengambil keputusan. Namun, yang menjadi tantangan bagi kita saat ini adalah bagaimana
kita menentukan pilihan-pilihan kita agar tetap sesuai dengan iman kristian
yang kita pegang.
Manusia yang
sungguh mengada bukanlah manusia penonton yang hanya menyaksikan, melainkan
manusia pelaku (actor) yang secara aktif dan kreatif memikirkan
pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan atas sikap dan perilakunya. Makna
hidupnya ditentukan dalam tindakan memilih dan memutuskan dengan komitmen yang
tegas. Untuk itu, dalam menyikapi tantangan dalam menentukan pilihan kita perlu
jeli dalam memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Dengan
demikian, kehendak bebas dan keputusan dalam menentukan sikap dan tindakan
sangatlah penting. Pilihan-pilihan atau keputusan-keputusan hidup pertama-tama
adalah tugas dan tanggung jawab setiap individu, sebab individu merupakan
subjek yang berperan penting dalam mengambil inisiatif dan berani secara
mandiri menentukan pilihan atau keputusan atas sikap dan tindakannya.
KESIMPULAN
Kierkegaard
melukiskan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas menghayati kehidupannya,
bebas menentukan pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan bagi sikap dan
perilakunya yang tentu saja nantinya dapat mempengaruhi hidupnya kedepan.
Menarik bahwa Kierkegaard melihat dinamika perkembangan eksistensi manusia
tersebut secara bertahap, artinya bahwa semakin menuju ke tahap yang lebih
tinggi, dari tahap estetis ke tahap etis dan memuncak pada tahap religius,
semakin manusia menemukan makna eksistensinya, walaupun tidak semua orang dapat
sampai pada tahap yang ketiga yakni tahan religius. Keunggulan lainnya bahwa
Kierkegaard memandang manusia beriman (manusia religius) sebagai manusia
sejati. Manusia beriman berarti manusia yang menyadari kelemahan dan
keterbatasannya dan mengakui kehadiran Allah sebagai jaminan bagi kepenuhan
hidupnya. Ia membuat pilihan dan mengambil keputusan bagi sikap dan tindakannya
berdasarkan iman personalnya akan Allah. Bagi Kierkegaard, di sinilah letak
makna eksistensi manusia beriman bahwa ia membuat pilihan dan mengambil
keputusan personal secara langsung di hadapan Allah dalam kedalaman dirinya tanpa
dimasuki oleh orang atau instansi manapun.
Selain itu, seperti
yang telah saya paparkan diatas, intinya adalah: manusia yang sungguh mengada
adalah manusia yang berperan sebagai actor yang aktif dan kreatif
menyiasati hidupnya dan bukan sekedar spectator. Itu berarti ia harus
sungguh-sungguh memerankan dirinya sebagai subyek yang mengambil inisiatif dan
berani secara mandiri menentukan keputusan atas sikap dan perilakunya. Inilah
yang disebut sebagai individu sebagai agen sejarah.
[1]
lih.
Hidya, Thomas. Kierkegaard dan pergulatan menjadi diri sendiri. Jakarta. Gramedia.
2004,p. 88-81
bdk. Mahmudah. Filsafat
eksistensialisme: telaah ajaran dan relevansinya dengan tujuan pendidikan di Indonesia Jurnal pemikitan alternatif pendidikan,p. 5